News Update

Tan Malaka, Hidup Kesepian Mati Kesepian.


Gambar Atas : Tan Malaka di rumah Achmad Soebardjo September, 1945. Perhatikan jam tangannya yang diikat di separuh lengannya.


Tan Malaka, Hidup Kesepian Mati Kesepian

Tan Malaka adalah anak dari wilayah yang selalu gelisah, wilayah yang membutuhkan intelektualitas sekaligus pencerahan spiritual. Ia tumbuh di Alam Minangkabau dimana adatnya memberikan tempat pada akal sekaligus hidup dalam alam agama. Tan Malaka berdiri di dua tempat ini.

Ia adalah pelajar yang cerdas bahkan teramat cerdas. Ia sekolah di Kweekschool, sekolah Raja untuk menjadi guru. Tan Malaka kecil menjadi murid yang paling cerdas di sekolahnya atas rekomendasi Tuan Fabius ke Nederlaand dan sekolah di Rijkskweekschool, disana Tan Malaka hidup dengan beberapa orang Belanda dari kalangan sosial rendah. Saat Tan Malaka sekolah di Belanda, Eropa sedang dicekam suasana gelisah karena pertarungan wilayah antara Jerman, Prusia, Perancis dan Rusia. Gerak gerik awal Revolusi Rusia sudah menjalari banyak intelektual di eropa, di Belanda sendiri berkembang aliran besar Sosialis Demokrat atau dikenal Sosdem, Tan Malaka banyak bergaul dengan orang-orang Sosdem bahkan teman indekost-nya sendiri seorang Belgia penganut Sosdem banyak bertukar pikiran bahkan dari teman Belgia-nya ini Tan Malaka mendapat surat kabar Sosdem.

Tan Malaka orang yang sangat kritis dan rasional, dan ia memilih jalur Lenin untuk mendapatkan titik hidup teori Marxisme. Ia membacai tulisan-tulisan Lenin tentang revolusi, percepatan sejarah dan segala macam aplikasi dari sebuah revolusi. Tan Malaka terpikat. Ia memutuskan untuk membebaskan bangsanya. Tan Malaka adalah orang pertama dari Hindia Belanda yang secara berkesadaran penuh bahwa suatu saat Hindia Belanda akan membentuk peradaban baru, ia sendiri menamai peradaban itu sebagai Peradaban Aslia (Asia-Australia Raya) dan pusatnya di Indonesia.

Tan Malaka pulang ke Indonesia dan ia diarahkan untuk bekerja di sebuah perkebunan di Deli bernama Senembah. Saat itu di Deli banyak perkebunan jumlahnya berkisar sampai 500 buah, seluruh perkebunan berjalan lancar dibawah integrasi pengaturan pemerintahan Hindia Belanda yang rapi, sistem pengangkutan ada dibawah Maskapai Deli-Spoor. Jaringan ini membuat Deli sebagai pusat perkebunan di dunia. Disinilah Tan Malaka menganatomi kehidupan dilihat dari kelas-kelas sosial. Tan Malaka mencatat bahwa untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah maka ada satu hal yang harus dijadikan bargain : "Daya Tawar Kebodohan" Pemerintah Hindia Belanda harus menjadikan kuli-kuli kontrak sebagai manusia bodoh, terikat dan berwawasan sempit. Mereka harus memeras keringat untuk hidup, sehingga mereka tidak lagi bisa memahami makna kehidupan dan pembebasan pada manusia. Oleh pihak perkebunan Tan Malaka diperintah untuk mendirikan satu pendidikan yang hanya artifisial sebagai 'desa Potemkin' desa Potemkin adalah julukan bagi sebuah desa yang diatur bagus supaya Raja yang melihatnya senang, desa jenis ini banyak dibikin pada masa Tsar Katharina dan hanya digunakan untuk menyenangkan Tsarina.

Namun Tan Malaka selalu menolak segala hal yang artifisial ia orang hakikat, ia selalu bekerja pada situasi-situasi penuh esensi. Tan Malaka memberontak dan diusir dari perkebunan Deli. Ia ke Batavia (Jakarta), di Batavia ia bertemu dengan kelompok kiri yang baru tumbuh di lingkaran Sneevliet. Nasib membawanya sebagai pemimpin PKI, bahkan Tan Malaka diakui sebagai salah satu pemimpin Komunis terbesar di Asia. Ia bertemu dengan Stalin dan banyak pejabat di Komunis Moskow, tapi ia melihat ada sesuatu yang salah di Stalin, ia melihat begitu banyak penyimpangan. Ia berpikir : "Teori Marx adalah teori yang menjauhkan manusia pada keterasingan, keterasingan dirinya pada lingkungan, keterasingan manusia pada pikirannya dan keterasingan manusia pada gerak sejarah. Tapi kenapa Stalin justru memenjarakan manusia hanya demi sebuah gerak sejarah' Tan Malaka berpikir tapi ia belum mendapat jawab.

Ia pulang ke Jawa disana ia langsung berkantor di Semarang, saat itu sedang ramai perpecahan di tubuh Sarekat Islam (SI), suatu malam Tan Malaka dibawa ke Prambanan oleh sekelompok orang. Para pemimpin PKI berteriak pada pertemuan sangat rahasia " Kita Memberontak sekarang juga sebagai katalisator, sebagai pemicu pemberontakan besar di Asia Tenggara" tandas salah satu pemimpin Komunis. Tapi Tan Malaka justru berdiri "Saya menolak" Tan Malaka kontan dibenci dan dia dijauhi oleh kelompok Moskow. Namun nama Tan Malaka sudah terlanjur menjadi ikon PKI.

Adalah sebuah takdir sejarah di negeri ini PKI selalu saja mengalami jebakan gerakan konyol dan gerakan 1926/27 di Silungkang, Banten, Semarang dan Prambanan adalah rangkaian gerakan paling kacau yang justru merugikan gerakan yang sudah dibangun banyak elemen. Polisi Belanda punya kesempatan mengacau gerakan dengan main keras. Dan Tan Malaka menjadi buronan nomor satu Agen Polisi Belanda.

Agen Polisi Rahasia Hindia Belanda di Bogor mengontak Pemerintahan Inggris di Singapura dan Perwakilan Amerika Serikat di untuk memburu Tan Malaka setelah Tan Malaka berhasil lari dari penjara Belanda. Maka dimulailah episode perburuan paling mencekam sepanjang sejarah Indonesia modern.

Tan Malaka dihadapkan situas hidup-mati, temannya Soebakat ditembak mati di Singapura, ia sendiri dikejar dimana-mana. Penolong Tan Malaka yang paling utama justru media massa. Di Manila nama Tan Malaka menjadi headline surat kabar, pemerintahan Manila mendesak agar Tan Malaka dibebaskan dari buruan perwakilan Amerika Serikat di wilayah Manila. Lalu Tan Malaka melarikan diri ke Hongkong disana Tan Malaka berhasil ditangkap lalu media massa Hongkong, media Inggris bersimpati pada Tan Malaka dan mengirimkan surat ke pemerintahan London untuk membebaskan Tan Malaka. Kesal dengan situasi formal yang diserang Media akhirnya Polisi Belanda dan Inggris ingin menghabisi Tan Malaka diluar jalur hukum, keputusan inilah yang kemudian menjadi efek terbesar gangguan jiwa Tan Malaka yang terlalu paranoid. Setiap pagi palu kematian sudah di depan matanya, dan kita sendiri tak mungkin membayangkan bisa hidup dengan situasi kepribadian seperti itu.

Tan Malaka banyak mengalami kisah hidup yang naik turun, ia terjebak pada perang Shanghai-Jepang, ia terjebak pada perang Dunia dan akhirnya ia balik ke Jawa. Baliknya Tan Malaka ke Jawa ini mirip perjalanan Lenin dari Bern ke Moskow dengan kereta api yang kerap diingat dalam sejarah sebagai 'perjalanan revolusi' Tan Malaka balik dari Singapura ke Jawa dengan hanya perahu kecil ditengah badai, taruhannya adalah kematian. Tan Malaka menghadapi itu demi sebuah pembebasan, pembebasan bangsanya.

Tan Malaka sampai di Djakarta tanpa memiliki apa-apa, namun ia punya kepandaian, ia pandai menjadi guru, ia seorang poliglot, bisa banyak bahasa ia mengajar bahasa Inggris, Belanda kepada orang-orang yang membutuhkan. Ia mengontrak rumah separuh kandang kambing di bilangan Rawajati, Kalibata (belakang pabrik sepatu bata) ia sering merenung di danau dekat Rawajati (sekarang danau pemakaman Kalibata) disana ia merenung tentang hakikat pembebasan. Ia menulis Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika). Ia merinci hakikat gerak alam, ia mengarahkan seluruh situasi pada soal-soal rasional ia menghantam tahayul dan tanpa referensi apapun ia sudah mencantumkan segala ingatannya di kepala pada dasarnya ia bukan saja seorang jenius, otaknya fotografis.

Suatu saat Tan Malaka membaca buku di perpustakaan nasional (sekarang Musium Gadjah). Profesor Purbacaraka berteriak di depan ruang baca "Apakah ada yang bisa menjadi penerjemah bagi pekerjaan saya" Tan Malaka menunjukkan tangannya. Ia bekerja menjadi penerjemah dari bahasa Belanda ke Bahasa Inggris untuk pekerjaan Prof. Purbacakaraka, ahli bahasa Jawa Kuno pertama di Indonesia.

Dari Purbacaraka, Tan Malaka direkomendasikan ke Bayah, Banten disana Tan Malaka berkarier sangat cepat ia menjadi kepala di wilayah tambang batubara Bayah, ia menjadi penolong banyak Romusha yang tersiksa. Ia membangun sistem masyarakat disana, dan yang terpenting ia membangun jaringan. Jaringan inilah yang kemudian menjadi senjata bagi dirinya untuk menyusun perjuangannya. Suatu saat datanglah Bung Karno dan Bung Hatta. Tan Malaka yang dikenal di Bayah dengan nama Ilyas Husein berdebat dengan Bung Karno disana, dan Bung Karno tak tau siapa itu Ilyas Husein sebenarnya, dalam perdebatan itu Bung Karno dikalahkan oleh Tan Malaka. Dan pertanyaan yang gagal dijawab oleh Bung Karno dari Tan Malaka : "Apakah sebuah kemerdekaan akan menjamin kemenangan terakhir?" Bila Bung Karno berpikir kemenangan awal, maka Tan Malaka berpikir kemenangan akhir. Dan bagi Tan Malaka kemenangan akhir itu adalah 'Beralihnya secara total hak Indonesia ke tangan rakyat Indonesia bukan ke tangan elite atau tangan yang separuh terjajah' kemenangan akhir itu adalah 'Revolusi Sosial'.

Kemerdekaan Indonesia berkumandang. Nama Tan Malaka melegenda, penulis cerita Matu Mona seorang wartawan dari Medan menuliskan beberapa buku yang teramat laris 'Patjar Merah'. Nama Tan Malaka melegenda. Para pemuda yang menjadi agen-agen revolusi kemerdekaan mulai tidak puas dengan Bung Karno, Bung Karno memenangkan hati rakyat bukan hati Pemuda. Kaum Radikal bertarung di jalan-jalan. Dibawah kepemimpinan Pandu Kartawiguna, Maruto, Chaerul Saleh, Adam Malik, Sidik Kertapati dan banyak juga preman-preman Jakarta macam Nurali, Haji Amat Geblek dan Sjafei . Jakarta berlumur darah. Kaum pemuda Radikal dimarahi Bung Karno agar jangan maen kokang senjata, tapi pemuda malah menertawai Bung Karno. Disini kaum muda menemui idola baru, dan idola itu adalah Tan Malaka. Diam-diam Tan Malaka datang ke Djakarta ke rumah sahabatnya Achmad Soebardjo, disana Tan Malaka juga ditengarai menjalin cinta dengan Jo Paramitha Soebardjo - kemenakan Achmad Soebardjo-. Jaringan Banten adalah titik awal Tan Malaka bergerak : Jalur Achmad Soebardjo-Tjeq Mamad.

Bila Bung Karno mencari jalur resmi, maka Tan Malaka memilih jalur perang abadi. Bagi Bung Karno semua hal adalah gertak dan diplomasi tapi bagi Tan Malaka semua soal adalah perang betulan. Dan sepanjang masa revolusi ini Tan Malaka serta Sukarno seperti dua matahari kembar yang meledak di banyak tempat. Revolusi Sosial di Solo, Penculikan Perdana Menteri Sjahrir, Penangkapan Jenderal Dharsono, Perang Srambatan sampai pada konflik Amir-Sjahrir di Madiun dimana Tan Malaka digunakan Hatta untuk hantam Amir di Solo. Tapi sekali lagi Tan Malaka tetaplah pejuang yang selalu ditinggal sendirian. Ia ditinggal PKI, ia ditinggal Sukarno, ia ditinggal Sjahrir dan terakhir ia sendirian lalu ditembak mati oleh pasukan Djawa Timur.

Tan Malaka pemimpi yang kesepian, hidup dalam kesepian dan penulis cerita yang sunyi.

ANTON

Kisah Raden Saleh di London


Raden Saleh Syarif Bustaman diundang ke istana Buckingham sebagai pelukis Istana kelas satu. Raden Saleh yang melukis semua pose Ratu, termasuk saat Ratu menikah dengan Pangeran Albert pada tahun 1860-an. Raden Saleh disediakan ruangan di samping Istana Buckingham dan melukis hampir semua istana sang Ratu. Kemudian setelah perayaan Pameran Kristal yang diadakan Pangeran Albert, Raden Saleh pulang membawa uang yang banyak dari Ratu Victoria. Uang itu dibelikan lahan yang luas di Cikini dan dijadikan rumah Raden Saleh.

Rumah Raden Saleh di Tjikini merupakan rumah dengan penerangan lampu pijar pertama di Batavia, lalu dijadikan titik nol oleh pengembang Bouwplow di Menteng. Kemudian dijadikan kebun binatang dan oleh Ali Sadikin rumah itu menjadi Taman Ismail Marzuki.

Anehnya, di dekat rumah itu ada sebuah rumah kecil yang sering digunakan oleh Van Der Post, Perwira Intel Inggris sekaligus orang kepercayaan Mountbatten untuk bertemu dengan Sutan Sjahrir. Atas pengaruh Van Der Post, Inggris tidak mau campur untuk urusan dengan Belanda yang berniat menjajah Indonesia. Van Der Post adalah dukunnya Pangeran Charles. Saat Pangeran Charles ke Jakarta, yang dicarinya adalah Poppy Sjahrir isteri Sjahrir dan ia membawa surat pribadi Van Der Post pada isteri Sjahrir, lalu Pangeran Charles bilang : "Poppy adalah wanita terbaik di dunia di mata saya".

Sukarno dan Irian Barat




Pada satu pagi di Bulan November 1959 Sukarno membaca laporan sebuah riset lama karya Juan Jacques Dozy yang merupakan referensi dari perpustakaan Belanda. Lalu ia mendengar adanya sebuah sinyalemen gerakan bisnis dari pengusaha Amerika Serikat Forbes Wilson yang akan mengeksplorasi Irian Barat. Sebenarnya masalah Papua Barat ini menjadi ganjalan pikiran Sukarno, karena ia merasa negaranya sudah terkepung dimana-mana, menurut analisa geopolitiknya : di utara Indonesia masih bercokol Inggris dengan Malaya dan di timur masih bercokol Belanda di Papua Barat. Ia belajar dari sejarah, pertemuan antara Inggris dan Belanda akan menjadi bentuk Kolonialisme, dan pertemuan mereka itu jelas akan mengepung pulau-pulau inti Nusantara. Lalu ketika ia mendengar bahwa pengusaha-pengusaha Amerika Serikat berminat terhadap masalah Papua Barat dan menemukan sumber cadangan raksasa di Papua Barat, insting geopolitik Sukarno bergerak cepat. Masalah Papua Barat jika didiamkan akan menjadikan Indonesia masuk ke dalam jurang penjajahan baru, yaitu tereksploitasinya Sumber Daya Alam.

Sementara di sisi lain, Bisnis bergerak cepat. Forbes Wilson pada 1 Februari 1960 melalui Freeport Sulphur dan East Burneo Company membuat kontrak kerjasama eksplorasi biji tembaga di Papua Barat. Selama beberapa bulan Wilson menjelajah kawasan Erstberg. Wilson terperancat menyaksikan kekayaan biji tembaga yang terhampar luas di permukaan tanah.

“Inilah keajaiban yang sulit ditemukan di manapun,” tulis Wilson di The Conquest of Cooper Mountain. “Sekitar 40 sampai 50 persen biji besi dan 3 persen tambang serta masih terdapat perak dan emas. Angka tiga persen itu saja sudah cukup menguntungkan bagi industri tambang. Tiga belas juta ton biji tembaga di permukaan tanah dengan kedalaman 100 meter. Jika untuk memproses 5.000 ton biji tembaga/hari dibutuhkan investasi 60 juta dollar AS, dengan rincian biaya produksi 16 sen dollar/poin.

Sementara harga jual 35 sen/poin, maka dalam tiga tahun saja inventasi itu sudah lunas,” tulis Wilson di The Conqust of Cooper Mountain. Deposit tembaga lebih besar bukan hanya Erstberg tetapi juga Gressberg. Freeport menyebut di areal Gressberg ini tersimpan cadangan tembaga sebesar 40,3 milyar pon dan emas 52, 1 juta ons. Doposit ini mempunyai nilai jual 77 milyar dollar As dan hingga 45 tahun ke depan masih menguntungkan.

Namun Freeport mengurungkan niatnya segera mengeksploitasi Erstberg. Sementara itu, hubungan Indonesia dan Belanda (yang lebih dulu menguasai Papua Barat) itu sangat genting dan mendekati perang terbuka. Pada tahun 1961 presiden AS John F Kennedy mengutus Ellsworth Bunker sebagai negosiator untuk menekan Belanda dan mengelabui PBB untuk Papua masuk ke dalam Indonesia.
Lalu Sukarno pada 19 Desember 1961 ditengah hujan deras yang mengguyur kota Yogyakarta mengumumkan rencana serangan militer untuk menguasai Papua Barat. Ia sebut Operasi itu adalah Trikora. Kemudian setelah pidato yang membakar semangat rakyat, ia kembali ke Jakarta dan memanggil Jenderal Nasution untuk menyelesaikan semua tahapan perang. Di ruang kerjanya Nasution rapat dengan staf-nya.

Akhirnya diputuskan Indonesia harus mendapat suplai senjata baru. Nasution menghubungi kontak-kontak penjualan senjata di Amerika Serikat, namun AS menolak membantu. Dinas Intelijen AS menilai, bila Indonesia berperang dengan Belanda maka Papua Barat akan jatuh ke tangan Indonesia ataupun bila Belanda berhasil mempertahankannya maka legitimasi dunia Internasional akan sah jatuh ke tangan Belanda. Diam-diam AS ingin menguasai Papua Barat melihat potensi sumber daya alamnya yang begitu luar biasa.

Pada bulan Desember 1960, Jendral Nasution pergi ke Moskwa, Uni Soviet, dan akhirnya berhasil mengadakan perjanjian jual-beli senjata dengan pemerintah Uni Soviet senilai 2,5 miliar dollar Amerika dengan persyaratan pembayaran jangka panjang. Setelah pembelian ini, TNI mengklaim bahwa Indonesia memiliki angkatan udara terkuat di belahan bumi selatan. Amerika Serikat tidak mendukung penyerahan Papua bagian barat ke Indonesia karena Bureau of European Affairs di Washington, DC menganggap hal ini akan "menggantikan penjajahan oleh kulit putih dengan penjajahan oleh kulit coklat". Tapi pada bulan April 1961, Robert Komer dan McGeorge Bundy mulai mempersiapkan rencana agar PBB memberi kesan bahwa penyerahan kepada Indonesia terjadi secara legal. Walaupun ragu, presiden John F. Kennedy akhirnya mendukung hal ini karena iklim Perang Dingin saat itu dan kekhawatiran bahwa Indonesia akan meminta pertolongan pihak komunis Soviet bila tidak mendapat dukungan AS.

Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain 41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30 pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-19, 20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, 12 kapal selam kelas Whiskey, puluhan korvet, dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari jenis pesawat pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1 Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.

Akhirnya Papua Barat bisa direbut, dengan sumber daya alam yang amat kaya itu Sukarno bermimpi akan membangun bangsanya menjadi bangsa terkuat di Asia. Dengan politik regionalnya ingin menguasai Asia Tenggara, dengan menguasai Asia Tenggara semua jalur dagang dan jalur ekonomi akan dikuasai Indonesia. Program ekonomi Sukarno adalah menguasai kekayaan alam dahulu setelah itu menyalurkannya untuk kesejahteraan umum.

Di bawah Sukarno Indonesia berpotensi menjadi Negara terkaya nomor empat sedunia. Tapi sejarah berkata lain, dan kini terus bermunculan agen-agen asing yang terus menghembus-hembuskan argument untuk memusuhi Pemikiran dan Jalan Politik Sukarno yang tujuan mereka hanya satu : Penguasaan Sumber Daya Alam jatuh ke asing dan tidak adanya saluran untuk kesejahteraan umum.

Kisah Sukarno dan Rencana Pembangunan Semanggi dan Stadion Senayan



Di depan maket Stadion Senayan Bung Karno menunjuk-nunjukkan tongkatnya ke maket rencana Stadion "Ini...ini akan jadi Stadion terbesar di dunia, ini adalah awal bangsa kita menjadi bintang pedoman bangsa-bangsa di dunia, semua olahraga dari negara-negara di dunia ini, berlomba disini. Kita tunjukkan pada dunia, Indonesia bangsa yang besar, yang mampu maju ke muka memimpin pembebasan bangsa-bangsa di dunia menuju dunia barunya".

Lalu Sukarno memanggil pematung Sunarso dan berkata : "Coba dari arah lurus ini, kamu buat Patung Selamat Datang, disinilah patung yang akan jadi gerbang bangsa kita, awal dari mula sejarah berpikir kita. Djakarta akan jadi kota dunia, ini impianku, dari Stadion Senayan ini akan dilingkari pusat-pusat kebudayaan, kita akan melahirkan bukan saja atlet-atlet handal tapi pelukis-pelukis jempolan, penari-penari kelas dunia, dan penyanyi-penyanyi yang lagunya bisa membangkitkan suara surga dari tanah Nusantara. Cobalah Sunarso aku ingin lihat karyamu, patung-patungmu akan memberi jiwa bagi bangkitnya bangsa kita ke muka dunia Internasional. Monumenmu yang kau bangun adalah kehormatan".

Kemudian Bung Karno diperlihatkan maket jalan Semanggi : "Semanggi ini perlambang bunga yang imbang, dari susunan daunnya dan batangnya. Ini seperti bangsa kita yang menyukai keindahan, dan taukah kamu...eh Bandrio, eh Jenderal Suprayogi, eh Sutami....keindahan itu adalah keseimbangan" kata Bung Karno dengan mata penuh kemenangan.

Pidato Bung Karno Menemukan Jiwa Revolusi Kita




Saja berdiri dihadapan saudara-saudara, dan berbitjara kepada saudara-saudara diseluruh tanah-air, bahkan djuga kepada saudara-saudara bangsa Indonesia jang berada diluar tanah-air, untuk bersama-sama dengan saudara-saudara memperingati, merajakan, mengagungkan, mengtjamkan Proklamasi kita jang keramat itu.

Dengan tegas saja katakan "mengtjamkan". Sebab, hari ulang-tahun ke-empatbelas daripada Proklamasi kita itu harus benar-benar membuka halaman baru dalam sedjarah Revolusi kita, halaman baru dalam sedjarah Perdjoangan Nasional kita.

1959 menduduki tempat jang istimewa dalam sedjarah Revolusi kita itu. Tempat jang unik! Ada tahun jang saya namakan "tahun ketentuan", - a year of decision. Ada tahun jang saja sebut "tahun tantangan", - a year of challenge. Istimewa tahun jang lalu saja namakan "tahun tantangan. Tetapi buat tahun 1959 saja akan beri sebutan lain. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita, - sesudah pengalaman pahit hampir sepuluh tahun- , kembali kepada Undang-Undang-Dasar 1945, - Undang-Undang-Dasar Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun dalam mana kita kembali kepada djiwa Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun penemuan kembali Revolusi. Tahun 1959 adalah tahun "Rediscovery of our Revolution".

Oleh karena itulah maka tahun 1959 menduduki tempat jang istimewa dalam sedjarah Perdjoangan Nasional kita, satu tempat jang unik!

Seringkali telah saja djelaskan tentang tingkatan-tingkatan Revolusi kita ini.

1945 - 1950. Tingkatan physical Revolution. Dalam tingkatan ini kita merebut dan mempertahankan apa jang kita rebut itu, jaitu kekuasaan, dari tangannja fihak imperialis, kedalam tangan kita sendiri. Kita merebut dan mempertahankan kekuasaan itu dengan segenap tenaga rochaniah dan djasmaniah jang ada pada kita, - dengan apinja kitapunja djiwa dan dengan apinja kitapunya bedil dan meriam. Angkasa Indonesia pada waktu itu adalah laksana angkasa kobong, bumi Indonesia laksana bumi tersiram api. Oleh karena itu maka pada periode 1945 - 1950 adalah periode Revolusi phisik. Periode ini, periode merebut dan mempertahankan kekuasaan, adalah periode Revolusi politik.

1950 - 1955. Tingkatan ini saja namakan tingkatan "survival". Survival artinja tetap hidup, tidak mati. Lima tahun physical revolution tidak membuat kita rebah, lima tahun bertempur, menderita, berkorban-badaniah, lapar, kedjar-kedjaran dengan maut, tidak membuat kita binasa. Badan penuh dengan luka-luka, tetapi kita tetap berdiri. Dan antara 1950 - 1955 kita sembuhkanlah luka-luka itu, kita sulami mana jang bolong, kita tutup mana jang djebol. Dan dalam tahun 1955 kita dapat berkata, bahwa tertebuslah segala penderitaan jang kita alami dalam periode Revolusi phisik.

1956. Mulai dengan tahun ini kita ingin memasuki satu periode baru. Kita ingin memasuki periodenja Revolusi sosial-ekonomis, untuk mentjapai tudjuan terachir daripada Revolusi kita, jaitu satu masjarakat adil dan makmur, "tata-tentrem-kerta-rahard
ja".
Tidakkah demikian saudara-saudara? Kita berevolusi, kita berdjoang, kita berkorban, kita berdansa dengan maut, toh bukan hanja untuk menaikkan bendera Sang Merah Putih, bukan hanja untuk melepaskan Sang Garuda Indonesia terbang diangkasa? "Kita bergerak", demikian saja tuliskan dalam risalah "Mentjapai Indonesia Merdeka" hampir tigapuluh tahun jang lalu - : "Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena kita ingin hidup lebih lajak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena "ideaal" sadja, kita bergerak karena ingin tjukup makanan, ingin tjukup pakaian, ingin tjukup tanah, ingin tjukup perumahan, ingin tjukup pendidikan, ingin tjukup minimum seni dan cultuur, - pendek kata kita bergerak kerena ingin perbaikan nasib didalam segala bagian-bagiannja dan tjabang-tjabangnja. Perbaikan nasib ini hanjalah bisa datang seratus procent, bilamana masjarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Sebab stelsel inilah jang sebagai kemladean tumbuh diatas tubuh kita, hidup dan subur daripada tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnja masjarakat kita. - Oleh karena itu, maka pergerakan kita itu haruslah suatu pergerakan jang ketjil-ketjilan. - Pergerakan kita itu haruslah suatu pergerakan jang ingin merobah samasekali sifatnya masjarakat"....

Pendek-kata, dari dulu-mula tudjuan kita ialah satu masjarakat jang adil dan makmur.

Masjarakat jang demikian itu tidak djatuh begitu-sadja dari langit, laksana embun diwaktu malam. Masjarakat jang demikian itu harus kita perdjoangkan, masjarakat jang demikian itu harus kita bangun. Sedjak tahun 1956 kita ingin memasuki alam pembangunan. Alam pembangunan Semesta. Dan saudara-saudara telah sering mendengar dari mulut saja, bahwa untuk pembangunan Semesta itu kita harus mengadakan perbekalan-perbekalan dan peralatan-peralatan lebih dahulu, - dalam bahasa asingnya: mengadakan "invesment-invesment" lebih dahulu. Sedjak tahun 1956 mulailah periode invesment. Dan sesudah periode invesment itu selesai, mulailah periode pembangunan besar-besaran. Dan sesudah pembangunan besar-besaran itu, mengalamilah kita Inja-Allah subhanahu wa ta ála alamnja masjarakat adil dan makmur, alamnja masjarakat "murah sandang murah pangan", "subur kang sarwa tinadur, murah kang sarwa tinuku".

Saudara-Saudara! Djika kita menengok kebelakang, maka tampaklah dengan djelas, bahwa dalam tingkatan Revolusi Phisik, segala perbuatan kita dan segala tekad kita mempunjai dasar dan tudjuan jang tegas-djelas buat kita semua: melenjapkan kekuasaan Belanda dari bumi Indonesia, mengenjahkan bendera tiga warna dari bumi Indonesia. Pada satu detik, djam sepuluh pagi, tanggal 17 Agustus, tahun 1945, Proklamasi diutjapkan, - tetapi lima tahun lamanja Djiwa Proklamasi itu tetap berkobar-kobar, tetap berapi-api, tetap murni mendjiwai segenap fikiran dan rasa kita, tetap murni menghikmati segenap tindak-tanduk kita, tetap murni mewahjui segenap keichlasan dan kerelaan kita untuk menderita dan berkorban. Undang-Undang-Dasar 1945, - Undang-Undang-Dasar Proklamasi - , benar-benar ternjata Undang-Undang-Dasar Perdjoangan, benar-benar ternjata satu pelopor daripada alat-Perdjoangan! Dengan Djiwa Proklamasi dan dengan Undang-Undang-Dasar Proklamasi itu, perdjoangan berdjalan pesat, malah perdjoangan berdjalan laksana lawine jang makin lama makin gemuruh dan tá tertahan, menjapu bersih segala penghalang!

Padahal lihat! alat-alat jang berupa perbendaan (materiil) pada waktu itu serba kurang, serba sederhana, serba dibawah minimum! Keuangan tambal-sulam, Angkatan Perang tjompang-tjamping, kekuasaan politik djatuh-bangun, daerah de facto Republik Indonesia kadang-kadang hanja seperti selebar pajung. Tetapi Djiwa Proklamasi dan Undang-Undang-Dasar Proklamasi mengikat dan membakar semangat seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Marauke! Itulah sebabnja kita pada waktu itu achirnja menang. Itulah sebabnja kita pada waktu itu achirnja berhasil pengakuan kedaulatan, - bukan souvereiniteits-overdracht tetapi souvereiniteits-erkenning - , pada tanggal 27 Desember 1949.

Demikianlah gilang-gemilangnja periode Revolusi phisik.

Dalam periode jang kemudian, jaitu dalam periode survival, sedjak tahun 1950, maka modal perdjoangan dalam arti perbendaan (materiil) agak lebih besar daripada sebelumnja. Keuangan kita lebih longgar, Angkatan Perang kita tidak tjompang-tjamping lagi; kekuasaan politik kita diakui oleh sebagian besar dunia Internasional; kekuasaan de facto kita melebar sampai daerah dimuka pintu gerbang Irian Barat. Tetapi dalam arti modal-mental, maka modal-perdjoangan kita itu mengalami satu kemunduran. Apa sebab?

Pertama oleh karena djiwa, sesudah berachirnja sesuatu perdjoangan phisik, selalu mengalami satu kekendoran; kedua oleh karena pengakuan kedaulatan itu kita beli dengan berbagai matjam kompromis.

Kompromis, tidak hanja dalam arti penebusan dengan kekajaan materiil, tetapi lebih djahat daripada itu: kompromis dalam arti mengorbankan Djiwa Revolusi, dengan segala akibat daripada itu:

Dengan Belanda, melalui K.M.B., kita mesti mentjairkan Djiwa-revolusi kita; di Indonesia sendiri, kita harus berkompromis dengan golongan-golongan jang non-revolusioner: golongan-golongan blandis, golongan-golongan reformis, golongan-golongan konservatif, golongan-golongan kontra-revolusioner, golongan-golongan bunglon dan tjetjunguk-tjetjunguk. Sampai-sampai kita, dalam mengorbankan djiwa revolusi ini, meninggalkan Undang-Undang-Dasar 1945 sebagai alat perdjoangan.

Saja tidak mentjela K.M.B., sebagai taktik perdjoangan. Saja sendiri dulu mengguratkan apa jang saja "tracée baru" untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Tetapi saja tidak menjetudjui orang jang tidak menjadari adanja bahaja-bahaja penghalang Revolusi jang timbul sebagai akibat daripada kompromis K.M.B. itu. Apalagi orang jang tidak menjadari bahwa K.M.B. adalah satu kompromis! Orang-orang jang demikian itu adalah orang-orang jang pernah saja namakan orang-orang possibilis, orang-orang jang pada hakekatnya tidak dinamis-revolusioner, bahkan maungkin kontra-revolusioner. Orang-orang jang demikian itu sedikitnja adalah orang-orang jang beku, orang-orang jang tidak mengerti maknanja "taktik", orang-orang jang mentjampur-bawurkan taktik dan tudjuan, orang-orang jang djiwanja "mandek".

Orang-orang jang demikian itulah, disamping sebab-sebab lain, meratjuni djiwa bangsa Indonesia sedjak tahun 1950 dengan ratjunnja reformisme. Merekalah jang mendjadi salah satu sebab kemunduran modal mental daripada Revolusi kita sedjak 1950, meskipun dilapangan peralatan materiil kita mengalami sedikit kemadjuan. Kalau tergantung daripada mereka, kita sekarang masih hidup dalam alam K.M.B.! Masih hidup dalam alam Uni Indonesia-Belanda! masih hidup dalam alam suprimasi modal belanda!

Mereka berkata, bahwa kita harus selalu tunduk kepada perdjandjian internasional, sampai lebur-kiamat kita tidak boleh menjimpang daripadanja! Mereka berkata, bahwa kita tidak boleh merobah negara federal ála van Mook, tidak boleh menghapuskan Uni, oleh karena kita telah menandatangani perdjandjian K.M.B. "Setia kepada aksara, setia kepada aksara!, demikianlah wijsheid jang mereka keramatkan. Njatalah mereka sama sekali tdak mengerti apa jang dinamakan Revolusi. Njatalah mereka tidak mengerti bahwa Revolusi djustru mengingkari aksara! Dan, njatalah mereka tidak mengerti , - oleh karena mereka memang tidak ahli revolusi -, bahwa modal pokok bagi tiap-tiap revolusi nasional menentang imperialisme-kolonialisme ialah Kosentrasi Kekuatan Nasional, dan bukan perpetjahan kekuatan nasional. Meskipun kita menjetudjui pemberian autonomi-daerah seluas-luasnja sesuai dengan motto kita Bhineka Tunggal Ika, maka federasi á la van Mook harus kita tidak setiai, harus kita kikis-habis selekas-lekasnja, oleh karena federalisme á la van Mook itu adalah pada hakekatnja alat pemetjah-belah kekuatan nasional. Djahatnja politik pemetjah-belahan ini ternjata sekali sedjak tahun 1950 itu, dan mentjapai klimaksnja dalam pemberontakan P.R.R.I.-Permesta dua tahun jang lalu, dan oleh karenanja harus kita gempur-hantjur habis-habisan, sampai hilang lenjap P.R.R.I.-Permesta itu sama sekali!

Ja, sekali lagi: Persetudjuan internasional tidak berarti satu barang jang langgeng dan abadi. Ia harus memberi kemungkinan untuk setiap waktu menghadapi revisi. Apalagi, djika persetudjuan itu mengandung unsur-unsur jang bertentangan dengan keadilan manusia, - dilapangan politikkah, dilapangan ekonomikah, dilapangan militerkah -, maka wadjib persetudjuan tersebut direvisi pada waktu perimbangan kekuatan berobah. Misalnja pendjadjahan terhadap bangsa lain, meski tadinja ia disetudjui dalam sesuatu perdjandjian internasional sekalipun, ta' dapat diterima sebagai suatu hukum jang mutlak dan abadi, jang harus dibenarkan terus menerus sampai keachir zaman.Tidak!, ia harus ditjela setadjam-tadjamnja, ditentang mati-matian, ditiadakan selekas mungkin. Tidak boleh kita membiarkan langgeng dan abadi sesuatu hukum jang berdasarkan penguasaan silemah oleh sikuat.

Saudara-saudara, saja masih dalam membitjarakan periode survival. Selama kita masih dalam periode survival ini, maka segala kompromis dan reformisme jang saja sebutkan tadi tidak begitu disedari akan akibatnja. Ja, mungkin terasa kadang-kadang, bahwa djalannja pertumbuhan agak serat, tetapi keseratan ini makin lama makin diartikan sebagai satu kekurangan atau tjatjat jang memang melekat pada bangsa Indonesia sendiri, satu kekurangan atau tjatjat jang memang "inhaerent" kepada bangsa Indonesia sendiri, - bukan sebagai akibat daripda sesuatu kompromis, atau akibat sesuatu reformisme, atau akibat sesuatu possibilisme, pendek kata bukan sebagai akibat pengorbanan djiwa Revolusi. Segala kematjetan dan keseratan di "verklaar" dengan kata "memang kita ini belum tjukup matang, memang kita ini masih sedikit Inlander", Sinisme lantas timbul! Kepertjajaan kepada kemampuan bangsa sendiri gojang. Djiwa Inlander jang memandang rendah kepada bangsa sendiri dan memandang agung kepada bangsa asing muntjul disana-sini terutama sekali dikalangan kaum intelektuil. Padahal semuanja sebenarnja adalah abibat daripada kompromis!

Masuk kita kedalam periode invesment. Didalam periode inilah, - periode voorbeidingnja revolusi sosial-ekonomi - , makin tampaklah akibat-akibat djelek daripada kompromis 1949 itu. Terasalah oleh seluruh masjarakat - ketjuali masjarakatnja orang-orang pemakan nangka tanpa terkena getahnja nangka, masjarakatnja orang-orang jang "arrivés" , masjarakatnja sipemimpin mobil sedan dan sipemimpin penggaruk lisensi -, terasalah oleh seluruh rakjat bahwa djiwa, dasar, dan tudjuan Revolusi jang kita mulai dalam tahun 1945 itu kini dihinggapi oleh penjakit -penjakit dan dualisme-dualisme jang berbahaja sekali.

Dimana djiwa Revolusi itu sekarang? Djiwa Revolusi sudah mendjadi hampir padam, sudah mendjadi dingin ta'ada apinja. Dimana Dasar Revolusi itu sekarang? Dasar Revolusi itu sekarang tidak karuan mana letaknja, oleh karena masing-masing partai menaruhkan dasarnja sendiri, sehingga dasar Pantja Sila pun sudah ada jang meninggalkannja. Diaman tdjuan revolusi itu sekarang? Tudjuan Revolusi, - jaitu masyarakat jang adil dan makmur -, kini oleh orang-orang jang bukan putra-revolusi diganti dengan politik liberal dan ekonomi liberal. Diganti dengan politik liberal, dimana suara rakjat banyak dieksploitir, ditjatut, dikorup oleh berbagai golongan. Diganti dengan ekonomi liberal, dimana berbagai golongan menggaruk kekajaan hantam-kromo, dengan mengorbankan kepentingan rakjat.

Segala penjakit dan dualisme itu tampak menondjol terang djelas dalam periode invesment itu! Terutama sekali penjakit dan dualisme empat rupa jang sudah saja sinjalir beberapa kali: dualisme antara pemerintah dan pimpinan Revolusi; dualisme dalam outlook kemasjarakatan: masjarakat adil dan makmurkah, atau masjarakat kapitaliskah? dualisme "Revolusi sudah selesaikah" atau "Revolusi belum selesaikah"? dualisme dalam demokrasi, - demokrasi untuk rakjatkah, atau Rakjat untuk demokrasikah?

Dan sebagai saja katakan, segala kegagalan-kegagalan, segala keseratan-keseratan, segala kematjetan-kematjetan dalam usaha-usaha kita jang kita alami dalam periode survival dan invesment itu, tidak semata-mata desebabkan oleh kekurangan-kekurangan atau ketololan-ketololan jang inhaerent melekat kepada bangsa Indonesia sendiri, tidak disebabkan oleh karena bangsa Indonesia memang bangsa jang tolol, atau bangsa jang bodoh, atau bangsa jang tidak mampu apa-apa, - tidak! - , segala kegagalan, keseratan, kematjetan itu pada pokoknja adalah disebabkan oleh karena kita, sengadja atau tidak sengadja, sedar atau tidak sedar, telah menjeléwéng dari Djiwa, dari Dasar, dan dari Tudjuan Revolusi!

Kita telah mendjalankan kompromis, dan kompromis itu telah menggerogoti kitapunja Djiwa sendiri!

Insjafilah hal ini, sebab, itulah langkah pertama untuk menjehatkan perdjoangan kita ini.

Dan kalau kita sudah insjaf, marilah kita, sebagai sudah saja andjurkan, memikirkan mentjari djalan-keluar, memikirkan mentjari way-out, - think and re-think, make and re-make, , shape and re-shape. Buanglah apa jang salah, bentuklah apa jang harus dibentuk! Beranilah membongkar segala alat-alat jang tá tepat, - alat-alat maretiil dan alat-alat mental -. beranilah membangun alat-alat jang baru untuk meneruskan perdjoangan diatas rel Revolusi. Beranilah mengadakan "retooling for the future". Pendek kata, beranilah meninggalkan alam perdjoangan setjara sekarang, dan beranilah kembali samasekali kepada Djiwa Revolusi 1945

Apa Itu Marhaen?




Bagi sebagian besar orang dan bahkan intelektual sejarah mengartikan Marhaen Bung Karno sebagai akronim dari : Marx, Hegel dan Engels. Padahal menurut Sukarno sendiri Marhaen adalah nama orang, ini sama saja dengan Doel, Ahmad atau Bodin yang jamak dalam masyarakat Indonesia.

Lalu apa itu Marhaen? sebuah kelas sosial yang kerap diucapkan Sukarno sebagai pendukung terbesar garis politiknya. Sukarno berkata "Marhaen adalah orang yang punya modal tapi teramat kecilnya, ia punya gerobak sendiri, ia punya pacul sendiri dan ia punya tanah sendiri, tapi amat kecil, amat terbatas ia tidak mungkin disejahterakan oleh sistem" itulah Marhaen dalam pengertian Sukarno. Dan oleh Sukarno pula "Di Indonesia tidak ada kelas buruh yang murni, tidak ada kelas borjuis yang murni, mayoritas di Indonesia adalah Marhaen dan masyarakat Indonesia tidak mengenal pertentangan kelas seperti yang dipikirkan oleh para pengikut Marx". tentunya Sukarno agak sedikit mendangkalkan makna penentangan kelas Marxian, tapi sebagai sebuah struktur penjelasan ekonomi modal maka pemikiran Sukarno sangat luar biasa.

Sukarno menghendaki ekonomi modal yang kuat, negara bisa menjalankan revolusi sosialnya tanpa harus merampas hak-hak modal rakyat. Negara menjadi agen kesejahteraan umum, para dokter bekerja untuk kebaktian pada kesehatan masyarakat bukan uang, para guru bekerja sebagai bagian kebaktian bekerja untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bukan uang, dan para intelektual kita merumuskan masalah-masalah kehidupan untuk pencerahan bukan uang itulah makna kehidupan bagi Sukarno, dan Marhaen sebagai penopang ekonomi dari lautan masyarakat ini menjadi peran utama dalam distribusi kesejahteraan masyarakat, mereka mudah mendapat modal dari Bank Negara, anak-anak mereka sekolah gratis, kesehatan gratis dan negara menjadi sponsor utama pencerdasan masyarakat, negara menghindari dirinya menjadi agen kekerasan sekaligus menahan serbuan taktik penjajahan modal asing, atau menggelembungnya raksasa pengusaha nasional yang ingin mengakuisisi negara.

Inilah arti penting menghidupkan kembali apinya Sukarnoisme.


Anton Djakarta 2011.

Mengukur Imajinasi Sukarno



Mempelajari Sukarno adalah sebuah imajinasi, sebuah degup yang mungkin tidak akan pernah berhenti. Sukarno dibesarkan oleh ilmu pengetahuan cara barat, tapi ia selalu berpikir dan bertindak dengan cara-cara Jawa. Orang Jawa tidak pernah menggunakan rasio-rasio yang terukur untuk membangun tindakan, mereka lebih mengedepankan insting-insting yang dipercayainya, mereka membangun tindakan dari rangkaian insting itu. Mustahil mempelajari Sukarno dan apa yang dilakukannya tanpa kita melibatkan banyak unsur kultural, sejarah kekuasaan Jawa, psikologis kekuasaan Jawa, cara orang Jawa melihat masa depan, cara orang Jawa mendalami siklus jaman dan yang terpenting dialektika jaman yang bekerja.

Puncak kerja Sukarno adalah tahun 1960-an, yang oleh sejarawan Orde Baru dilabur sebagai tahun kebangkrutan Indonesia. Tapi sadarkah kita? di tahun-tahun itu Indonesia berada pada puncak sejarahnya. Puncak keagungannya? Militer kita terbesar nomor lima di dunia, pengaruh diplomasi kita meliputi hampir separuh dunia. Di luar Amerika Serikat dan Sovjet Uni, Indonesia-lah yang paling berperan dalam dunia politik internasional.

Kemiskinan di masa Sukarno yang diberitakan oleh media-media barat ini tak lebih antrean minyak tanah pada masa SBY, bahkan PKI yang kerap memprotes tindakan pemerintah oleh sejarawan Orde Baru dianggap sebagai penyebab lesunya ekonomi. Analisa ini menjadi lucu karena PKI berada diluar struktur pemerintahan. Ekonomi Indonesia tidak morat-marit sama sekali di Jaman Bung Karno, bahkan bila kita melihat secara EVA (Economics Value Added) rangkaian kinerja Sukarno tahun 1960-1965 memiliki nilai tinggi di masa depan, yaitu apa? -adanya penguasaan secara penuh modal nasional-. Sukarno dengan tahapan-tahapannya mengarahkan negara untuk menguasai modal nasional secara utuh. Dengan penguasaan modal nasional maka ia bermimpi : Biaya kesehatan dibiayai gratis, sekolah anak-anak bangsa gratis, dia bisa membiayai anggaran militer yang kuat dan seluruh Indonesia dibangun pelabuhan-pelabuhan dagang yang kuat serta ramai dan menjadi jalur penting perdagangan dunia. Tapi ekonom cupet, sejarawah tolol banyak melihat sesuatu hanya satu scoupe, satu dimensi, gagal melihat sesuatu dengan gairah keseluruhan.

Di jaman Sukarno ketimpangan kekayaan nyaris tak ada. Anak Menteri dan anak rakyat biasa bersekolah di tempat yang sama, naik sepeda dengan merek yang sama, korupsi kalaupun ada jelas penyelesaiannya. Tidak ada kelompok atau orang yang berani korupsi dalam skala raksasa, karena kalau itu terjadi maka beresiko dihadapkan ke regu tembak.

Tapi masa Sukarno mungkin sudah lama berlalu, kita melewati sedemikian lama pengelabuan sejarah Orde Baru, dan sekelompok orang sekarang yang tak percaya bagaimana dunia sosialisme bekerja. Kita dipaksa untuk percaya bahwa Mall-Mall, Ruang Perbelanjaan Kapitalis, Rumah Sakit Mahal, Universitas Mahal adalah masa depan Indonesia, kita dipaksa percaya untuk itu.

Mimpi-mimpi Sukarno menjadi hantu yang menakutkan bagi mereka.............


Anton, 2011.

Beograd Masih Ingat Bung Karno



Perjumpaan secara tak sengaja dengan Miroslavic di Kafe Insomnia semakin meyakinkan bahwa nama besar Bung Karno, presiden RI pertama, benar-benar tinggal di hati rakyat Beograd, Serbia. Barangkali juga Bung Karno tidak hanya dikenang di Beograd, tetapi juga di kota-kota lainnya di seluruh Serbia atau malahan di seluruh wilayah bekas Yugoslavia.

Kafe Insomnia yang terletak di perempatan Jalan Strahinjica Bana 66a itu tidaklah besar. Gedung kafe itu berlantai dua. Di lantai bawah ada sekitar 20 kursi, demikian juga di lantai atas. Tetapi, di ruang kecil itu, nama besar Bung Karno bergaung begitu keras.

”Ah, dari Indonesia,” ujar Miroslavic begitu ramah. Lelaki kelahiran tahun 1942, yang pernah memiliki percetakan kertas undangan dan tanggalan, itu lalu dengan lancar bercerita tentang Bung Karno. ”Coba di zaman sekarang ini muncul kombinasi pemimpin seperti (Josip Broz) Tito, Bung Karno, (Gamal Abdul) Nasser, (Jawaharlal) Nehru, dan siapa lagi itu yang dari Ghana, saya lupa, pasti hebat sekali.”

”Saya masih ingat, walau waktu itu masih kecil, kunjungan Bung Karno ke sini, Beograd. Bung Karno sahabat Tito. Waktu itu kami berdiri di pinggir jalan sambil melambai-lambaikan bendera kedua negara. Keduanya hebat,” tuturnya lebih lanjut.

Nama Bung Karno memang selalu disebut-sebut di mana- mana. Begitu menginjakkan kaki di Beograd, yang pertama kali menyebut nama Bung Karno adalah Andri Hadi, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, yang memimpin delegasi Indonesia dalam dialog bilateral antarumat beragama (interfaith) Indonesia-Serbia. ”Kita tiba di negeri sahabatnya Bung Karno,” katanya saat itu.

Di Kedutaan Besar RI di Beograd, untuk kedua kalinya nama Bung Karno disebut. Kali ini oleh Dubes RI untuk Serbia Semuel Samson. ”Gedung KBRI ini berdiri di wilayah yang khusus, istimewa, tidak di kompleks korps diplomatik. Kita memperoleh tempat yang khusus dan luas karena eratnya persahabatan antara Bung Karno dan Tito,” jelas Semuel Samson.

”Anda harus berbangga, sekarang mengikuti seminar di tempat yang dulu digunakan juga oleh para pemimpin Gerakan Nonblok (GNB) untuk pertama kalinya bersidang. Yang lebih istimewa lagi, dan ini harus membuat Anda bangga, di sinilah dulu Bung Karno juga bersidang. Bung Karno pemimpin besar. Dia sahabat Tito, yang berarti juga sahabat kami. Kami, rakyat Serbia, dulu Yugoslavia, bangga akan dia,” ujar Radislav Z Milanovic begitu lancar, tanpa bisa diputus, di sela-sela dialog antar-umat beragama.

Dialog diselenggarakan di Palace of Serbia, sebuah gedung yang digunakan untuk menggelar Konferensi Pertama GNB tahun 1961. Milanovic, seorang senior eksekutif di perusahaan penerbangan Serbia, yang pernah beberapa kali ke Indonesia, mengaku sangat mengagumi Bung Karno.

Di dalam ruang sidang, Ljubodrag Dimic, seorang profesor doktor dari Universitas Beograd, yang menjadi salah satu pembicara dalam dialog, secara panjang lebar menjelaskan tentang persahabatan Indonesia lewat GNB. ”Bung Karno memainkan peran sangat besar dalam konferensi itu,” katanya. ”Soekarno memang tokoh besar. Anda, saudara-saudara kami dari Indonesia, harus berbangga memiliki tokoh sebesar dan sehebat Soekarno, sama seperti kami memiliki tokoh besar Tito,” lanjutnya.

Tokoh pemersatu

Yang diucapkan Dimic itu diulangi lagi oleh pemimpin Komunitas Islam Serbia, Imam Besar Adem Zilkic, saat menerima delegasi Indonesia di kompleks Masjid Bajrakli. ”Jarak antara Indonesia dan Serbia memang jauh. Secara geografis kita berada di tempat yang berjauhan, tetapi secara spiritual kita dekat. Kita memiliki hubungan spiritual yang dekat. Yang berjasa mempererat hubungan spiritual kita adalah Soekarno. Dia sahabat kami rakyat Serbia,” kata Adem Zilkic.

Dua jam kemudian, di Universitas Beograd, Rektor Universitas Beograd Branko Bogdanovic, menjelang acara penandatanganan naskah kesepahaman antara Universitas Beograd dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, lagi-lagi bercerita tentang kebesaran dan kehebatan Bung Karno. ”Presiden Soekarno menerima gelar doktor kehormatan dari universitas ini. Pemberian gelar itu, selain menunjukkan kehebatan Soekarno di bidang akademi, juga membuktikan betapa kami sangat menghormati tokoh besar itu,” katanya.

”Ya, Soekarno memang tokoh besar. Ia pahlawan yang kami banggakan. Berdosalah kami kalau ke Beograd tidak singgah ke universitas ini, tempat dulu Soekarno mendapat gelar doktor,” sambung Semuel Samson. Bahkan Dubes RI untuk Serbia ini menyebut, selama 20 tahun masa pemerintahannya, Bung Karno 20 kali mengunjungi Yugoslavia.

Dan Dekan Fakultas Teologi Ortodoks Universitas Beograd Artemije Irenej, seorang uskup Gereja Ortodoks Serbia, tidak ketinggalan memuji Bung Karno menjelang kuliah umum yang disampaikan oleh Pendeta Margaretha Maria Hendriks-Ririmasse, Heru Prakoso SJ, dan Komaruddin Hidayat.

Mengapa Bung Karno begitu dipuji dan dikagumi di Serbia? ”Itu menunjukkan kebesaran dan kehebatan Bung Karno sebagai tokoh GBN. Selain itu, Bung Karno juga dipandang sebagai pemimpin pendorong solidaritas, solidarity maker. Sebagai bangsa yang plural, Serbia sama dengan Indonesia, membutuhkan seorang pemersatu. Di sini, setelah Tito meninggal, Yugoslavia bubar, sementara setelah Bung Karno meninggal, Indonesia masih bersatu, masih utuh. Itu yang membuat mereka kagum kepada Indonesia, kagum kepada Bung Karno, sang pemersatu,” komentar Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komaruddin Hidayat.

Bung Karno memang tokoh besar. Dan, rakyat Serbia mengakuinya.

(trias kuncahyono dari Beograd, Serbia)

Tentang Rosihan



Ada sebuah buku yang aku suka sekali dan ini banyak menjadi drive ke sumber-sumber sejarah, judulnya "In Memoriam" dan ini karangan Rosihan Anwar. Cian, begitulah panggilan akrabnya adalah seorang pencatat waktu, bahkan mungkin satu-satunya orang di jaman kita ini yang mengenal begitu banyak orang dalam kronika republik. Ia pencatat kemanusiaan, banyak orang bilang dia arogan tapi faktanya ia disukai banyak orang. Ia mengenal Sukarno dan Sukarno sangat sayang padanya walaupun kemudian di satu waktu ia menyerang Sukarno setelah kematian bung besar itu. Tapi bagaimanapun Sukarno sudah mengajarinya bagaimana lekuk tubuh perawan atau yang bukan perawan hanya dari perspektif garis imajiner dua tangan dan dada.

Rosihan mengenal Suharto, bahkan pernah ikut dalam perjalanan hampir 8 jam dengan Suharto dan satu hal yang dicatat Rosihan adalah sikap diam yang luar biasa dari Suharto, Suharto bukan orang yang banyak bicara dan ini menjadi catatan Rosihan. Menjelang kematian Suharto, pernah minta pada Bob Hasan agar Rosihan datang, karena Suharto ingat saat mengunjungi Jenderal Sudirman di Wonosobo tempat gerilya sang Panglima itu. Namun Suharto pernah membredel koran Rosihan, "Pedoman" dan itu koran yang paling dicintai Rosihan, saat Ali Murtopo bertanya tentang nasib koran Rosihan, Harto menjawab singkat " Wis Pateni wae". Dan Rosihan selalu mengingat-ingat ucapan ganas Suharto ini.

Tapi sejarah tetaplah sebuah kenangan, pahit manis atau getir bak buah busuk selalu diingat dengan keadaan penyadaran, hanya orang yang bijak sajalah yang bisa mengingat masa lalu dan menjadi bahan kenangan yang baik, dan inilah yang dilakukan Rosihan. Ia bisa mengenang Pram dengan amat baik, bagaimana Pram bersikap kaku saling melotot tanpa bicara pada sebuah perpustakaan, atau saat Pram dengan tiba-tiba secara ramah merangkul Rosihan pada sebuah pertemuan, ini menunjukkan bahwa manusia tidak terpenjara oleh sikap kaku, ada kalanya ia berubah. Ada kalanya ia menyadari bahwa hubungan tak selalu dibuat beku.

Suatu saat Rosihan berjalan di depan jalan Surabaya dan menyaksikan banyak orang berkerumun di depan Kantor PDI pada sabtu yang kelam 27 Juli 1996, ketika penyerbuan Rosihan mundur ke belakang, ia menangis kerna bangsanya tak pernah jera untuk menghentikan kekerasan, kekerasan akar dari segala bentuk mundurnya peradaban.

Rosihan adalah manusia yang hidup dalam kehidupan, ia pandai menulis, ia pandai bertutur dan ia pandai berlagak di depan kamera. Ia pernah main film Jakarta The Big Village, ia selalu tertawa beradu akting dengan kawannya, ia juga pernah berperan di film Tjoet Nyak Dien, hanya saja kawannya bilang, Rosihan tak pernah bisa mengeluarkan karakter Rosihannya untuk menjadi karakter pemerannya, apa yang dilihat ya itulah Rosihan.

Bagi sebagian orang Rosihan Anwar adalah seorang PSI, Partai Sosialis Indonesia, partai elite intelektual yang selalu jadi jarum tajam bagi Sukarno juga Suharto. Ia sangat mengagumi Sjahrir dan Hatta tapi dilihat dari semua tulisannya, ia sesungguhnya pengagum Sukarno luar dalam. Yah, karena ia anak sejarah, yang dibesarkan jamannya, yang mengalami bagaimana lampu mati pada perayaan satu tahun republik ini merdeka pada sebuah istana tua di Yogya kemudian mencari senter memperbaiki sekering, Ia adalah sebuah saksi bagaimana Republik ini didirikan sekaligus ia menjadi saksi bagaimana bangsa ini ingin dibangun. Saat ini jiwanya telah terbang ke angkasa,menyatu dengan kawan-kawan lamanya, mungkin disana ia disambut Han Resink ataupun Pramoedya Ananta Toer, atau Usmar Ismail dan sahabatnya Chairil Anwar, tapi ia akan tetap menjadi memori..karena ia in memoriam selamanya bagi republik ini.

~Seorang wartawan bukanlah hanya pencatat fakta, ia juga mencatat manusia-manusia dan Rosihan telah melakukan dengan baik. Terima Kasih Pak Rosihan, Bangsa ini menangisi kepergianmu~

ANTON

Mengapa Yogyakarta Disebut Daerah Istimewa?


Gambar atas : Tampak Sri Sultan dan Hamengkubuwono IX
Menyambut delegasi asing untuk keperluan perundingan di Yogyakarta


Mengapa Yogyakarta Disebut Daerah Istimewa?

Pernyataan SBY yang kelewat dungu dan tidak memahami sejarah serta perasaan orang Yogya membuat banyak pihak meradang, begitu juga dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kenapa SBY bisa tidak mengerti sejarah Yogyakarta dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada waktu itu mempertaruhkan kedudukan politiknya, tidak mempedulikan tawaran Ratu Juliana yang akan memberikan kedudukan Sri Sultan HB X sebagai Pemimpin Koalisi Indonesia-Belanda dan Menggadaikan kekayaannya untuk berlangsungnya Pemerintahan Republik Indonesia. Generasi muda ada baiknya mengetahui asal usul kenapa Yogyakarta diberikan status wilayah Istimewa sebagai konsesi politik dan penghargaan Pemerintahan Republik Indonesia terhadap peranan rakyat Yogya yang gantung leher mempertaruhkan eksistensi Republik Indonesia.

Tak lama setelah Proklamasi 1945, pemimpin pusat macam Sukarno, Hatta, Subardjo dan Amir Sjarifudin menyatakan bahwa "Eksistensi pengakuan pernyataan Pegangsaan harus didukung kekuatan riil di daerah, Belanda atau pihak asing hanya akan mengakui kemerdekaan itu bila kekuatan-kekuatan daerah mendukung" memang pada hari-hari pertama Jawara Banten sudah mendukung pernyataan kemerdekaan RI dengan mengirimkan pendekar-pendekarnya mengamankan Jakarta. Kekuasaan Jepang di seluruh wilayah Banten direbut oleh para pendekar. Tapi kekuasaan pendekar itu bukan jenis kekuasaan formal yang teratur rapi. Begitu juga dengan dukungan jago-jago silat Djakarta dan Bekasi yang kemudian membentuk laskar bersendjata untuk langsung tarung di jalan-jalan Cikini sampai Kerawang. Kekuasaan Informal langsung mendukung Sukarno. Tapi bagaimana dengan kekuasaan formal yang telah didukung administrasi rapi dan memiliki massa pengikut jutaan. Kekuasaan formal itu terletak di Solo dan Yogyakarta.

Solo dan Yogyakarta disebut dengan daerah Voorstenlanden, atau daerah yang diberi kekuasaan khusus oleh Hindia Belanda sebagai buntut perjanjian Giyanti 1755. Setiap terjadi suksesi Belanda sebagai pemerintah pusat bernegosiasi terus menerus dengan raja baru untuk menambah konsesi wilayah dan peraturan-peraturan baru. Lama kelamaan daerah Voorstenlanden hanya sebatas wilayah Yogyakarta dan Surakarta seluruh wilayah Mataram asli semuanya masuk ke dalam pemerintahan Hindia Belanda. Namun wilayah boleh direbut tapi pada hakikatnya rakyat Jawa Tengah dan Sebagian Jawa Timur menganggap raja mereka berada di Solo dan Yogya. Seperti orang Madiun yang lebih berorientasi pada Mangkunegaran atau Blitar yang menganggap Yogya lebih representatif ketimbang Solo. Namun terlepas dari itu semua raja-raja Yogya dan Solo dianggap bagian dari trah resmi raja-raja Jawa.

Pengumuman kemerdekaan Indonesia dilakukan pada sebuah rumah di Pegangsaan ini artinya : Kemerdekaan itu lahir bukan dalam situasi formal. Pemerintahan pendudukan Jepang tidak lagi pegang kuasa di Indonesia setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom atom dan Hirohito dipaksa menandatangani surat pernyataan kalah tanpa syarat dihadapan Jenderal MacArthur dan sebarisan perwira AS bercelana pendek. -Pemerintahan Jepang dipaksa oleh pihak sekutu sebagai pemenang perang untuk mengamankan seluruh aset-aset di wilayah Asia yang diduduki Jepang termasuk Indonesia. Namun perwira-perwira samurai itu juga sudah pernah berjanji pada sebarisan kaum Nasionalis untuk memerdekakan Indonesia, tapi tujuan kemerdekaan itu adalah membentuk : Persekutuan bersama Asia Timur Raya. Kemerdekaan itu ditunda beberapa kali sehingga sempat membuat berang Sukarno. Namun pada malam 16 Agustus 1945 Laksamana Maeda dengan garansi dirinya pribadi membantu kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk pemenuhan janji. Hanya saja statement kemerdekaan dikesankan bukan dari Jepang.

Dan Sukarno butuh formalitas. Ia butuh rakyat Jawa, hatinya orang Jawa untuk berdiri dibelakang dia setelah pengumuman kemerdekaan. Sementara Tan Malaka sendiri yang belakangan muncul meragukan kemampuan Sukarno menggalang dukungan rakyat secara utuh, Tan Malaka bilang pada Subardjo "Suruh Sukarno cepat cari dukungan di tingkat daerah, dia jangan bermain di wilayah elite melulu". Apabila tidak mendapat dukungan formal minimal di Jawa maka sekutu dengan cepat bisa melikuidir Indonesia.

Barulah pada pagi hari saat Sukarno sedang rapat dengan beberapa menteri datang sebuah surat kawat (telegram) dari Yogyakarta. Sukarno membuka telegram itu dan langsung melonjak dari tempat duduknya. Mukanya yang sedari awal kusut kurang tidur sontak gembira. Di depan menterinya Sukarno berkata "Surat ini adalah langkah awal eksistensi secara de facto bangsa Indonesia, sebuah functie yang bisa mendobrak functie-functie selanjutnya. De Jure kita sudah dapatkan secara aklamasi pada Proklamasi Pegangsaan tapi De Facto surat ini menjadi pedoman kita semua". Surat 5 September 1945 yang berisi maklumat itu berasal dari Sri Sultan yang berisi bahwa :

Pertama : Bahwa daerah istimewa Ngayogyokarto Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah Istimewa dari negara Republik Indonesia.

Kedua, bahwa kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dan oleh kerna itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan Ngayogyokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan lainnya kami yang pegang.

Ketiga : Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat dengan pemerintahan pusat negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Tiga poin dalam isi surat itu sesungguhnya adalah sebuah negosiasi politik kepada Pemerintahan Republik Indonesia dari kekuasaan Yogya. Bahwa Raja Yogya bersedia masuk ke dalam struktur Indonesia apabila kekuasaan di Yogyakarta terjamin oleh Pemerintahan RI. Sesungguhnya Sri Sultan membuat statement ini adalah kecerdasan Sri Sultan karena ia tidak mau kelak Yogya akan banjir darah oleh revolusi sosial kemudian Yogya dipimpin oleh kelompok-kelompok revolusioner yang tidak bertanggung jawab. Pandangan visioner Sri Sultan ini terbukti jitu : Beberapa waktu kemudian, Kesultanan Deli di Sumatera Timur dan Surakarta terjadi revolusi sosial. Seluruh bangsawan Deli dibantai oleh pasukan yang mendukung terjadinya gerakan anti kerajaan sementara di Surakarta yang sebelumnya diberikan status juga oleh Jakarta sebagai DIS : Daerah Istimewa Surakarta, terkena serbuan pasukan Tan Malaka yang menolak adanya pemerintahan Swapradja, akibatnya status DIS dihapus karena para penguasa Solo tidak bisa mengendalikan keadaan yang take over Solo malah anak-anak muda yang tergabung dalam Tentara Pelajar. Saat itu Sunan Pakubuwono XII dan Sri Mangkunagoro VIII masih bimbang mau berpihak pada Republik atau menunggu Belanda datang. Pada tahun 1940-an seluruh penguasa Kasunanan Solo, Mangkunegaran, Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta adalah raja-raja baru yang terdiri dari anak muda berusia 30-an tahun. Rupanya Sunan PB XII dan Mangkunegoro VIII tidak memiliki kejelian politik seperti Hamengkubuwono IX yang masuk langsung ke dalam struktur pemerintahan RI dan mengendalikan Angkatan Bersenjata serta mengamankan rakyat Yogya dari "Kekacauan-Kekacauan Revolusi".

Tindakan Sultan yang cepat ini justru menguntungkan jalannya sejarah Republik Indonesia di kemudian waktu, karena Sultan dengan kekuasaannya menciptakan suatu daerah kantong yang terkendali. Daerah kantong inilah yang kemudian dijadikan basis perjuangan menegakkan pemerintahan Republik setelah sekutu masuk ke Tanjung Priok. Saat sekutu masuk yang kemudian diboncengi NICA membuat penggede-penggede Republik terancam nyawanya. Sjahrir sendiri pernah merasakan mobilnya diberondong peluru. Hampir tiap malam Sukarno berpindah-pindah tempat karena diburu pasukan intel Belanda, bahkan sering Sukarno tidur di kolong tempat tidur. Hal ini jelas membuat pemerintahan tidak berjalan efektif. Adalah Tan Malaka sendiri yang menganjurkan agar Jakarta segera dikosongkan dari pemerintahan Republik dan Pemerintahan menyingkir ke pedalaman sembari mengefektifkan pemerintahan. Tapi pedalaman mana yang bisa dikendalikan.

Dan Hatta menjawab : "Yogyakarta adalah tempat yang tepat, karena di wilayah sana semua rakyatnya dikendalikan oleh Sultan hanya saja apakah Sultan akan menjamin kita" mendengar ucapan Hatta, Sukarno memerintahkan stafnya menghubungi Sri Sultan. Dalam pembicaraan tidak resmi ditelepon, Sri Sultan berkata :"Saya Sultan Yogya, Sabdo Pendhito Ratu. Menjamin bahwa Pemerintahan Republik Indonesia aman di Yogyakarta" Jaminan Sri Sultan inilah yang dijadikan titik paling penting keberadaan Republik Indonesia ditengah ancaman serbuan pasukan bersenjata Belanda.

Akhirnya dicapai kesepakatan bahwa untuk menghadapi sekutu dan melobi penggede-penggede sekutu adalah Sutan Sjahrir yang ditinggalkan di Jakarta sementara Presiden dan Wakil Presiden sebagai lambang kekuasaan negara dibawa ke Yogyakarta dengan Kereta Luar Biasa (KLB) yang sekaligus memboyong seluruh keluarga mereka. Keberangkatan KLB itu juga menandai perpindahan Ibukota. Peristiwa itu terjadi pada 4 Januari 1946.

Di Yogyakarta, Sri Sultan bertanggungjawab penuh terhadap keselamatan seluruh penggede Yogya. Seluruh pejabat ditempatkan dilingkungan Keraton. Sukarno ditempatkan di Gedong Agung dan Sri Sultan menghormati kekuasaan Republik Indonesia walaupun sesungguhnya Republik ini baru berdiri. Pejabat-pejabat RI itu rata-rata dalam kondisi miskin. Sultan sendiri yang kerap mengambil emas simpanannya untuk membiayai seluruh operasional pemerintahan. Sri Sultan memberikan tanpa dihitung bahkan pernah gaji pegawai Republiek belum terbayar Sri Sultan dengan dana kekayaan pribadi sendiri membiayai gaji-gaji pegawai republiek.

Tahu bahwa Yogyakarta menjadi pusat kendali Republik. Tentara Belanda tidak berani langsung mengebom Yogya. Hal ini terjadi karena Ratu Juliana dulu adalah teman sekolah Sri Sultan di Belanda. Mereka berdua dari SD sampai Kuliah berada dalam lingkungan yang sama. Sri Sultan dipanggil Juliana sebagai Hengky. Bahkan ada gosip Ratu Juliana memiliki cinta sejatinya pada Sri Sultan. Sebelum Yogya digempur pesan dari Kerajaan Belanda bahwa nyawa Sri Sultan tidak boleh dikutak-kutik. Karena sikap keras Juliana yang tidak memperbolehkan kekuatan militernya menyenggol Sri Sultan maka staff militer di Belanda mengambil kebijakan untuk mempengaruhi Sri Sultan agar berpihak pada Belanda.

Sri Sultan ditawari menjadi pemimpin pemerintahan bersama Indonesia-Belanda tapi Sultan menolak. Baginya Indonesia adalah tujuan hidupnya. Karena tidak sabar atas sikap keras Sri Sultan yang berdiri dibelakang pemerintahan Republik maka Belanda mau tidak mau harus menguasai Yogyakarta.

Pada tahun 1948 setelah terjadinya geger Madiun, Belanda punya taktik yang khas dengan caranya yang licik menikam pemerintahan Republik di Yogya. Belanda awalnya mengadakan perjanjian kerjasama latihan militer dengan TNI sebagai wujud gencatan senjata tapi kemudian malah dari Semarang pasukan Van Langen menerobos Yogya dengan Operasi Kraai. Sepuluh ribu penerjun payung menghujani udara Maguwo, Yogyakarta diserbu tanpa persiapan.

Saat itu yang jadi komandan keamanan Kota Yogya adalah Suharto (kelak jadi Presiden RI kedua).Tapi entah pasukan Suharto ada dimana. Letkol Latif Hendraningrat sendiri langsung mencari-cari Suharto tapi tidak ketemu. Sudirman masih terbaring sakit karena paru-parunya menghitam. Sedangkan Bung Karno cs sedang rapat di Gedong Agung.

Pasukan Van Langen dengan cepat masuk ke Gedong Agung. Tapi sebelumnya terjadi perdebatan keras. Sukarno menyerah atau melawan sekutu. Sukarno berpendapat bahwa dengan ia menyerah maka dunia internasional akan meributkan agresi militer Belanda dan memberikan dukungan bagi Indonesia. Tapi pihak Sudirman menghendaki diadakannya perlawanan total, Sukarno dan Hatta harus ikut berperang di pedalaman. Sukarno memilih tidak ikut cara Sudirman.

Sebelum ditangkap pasukan Van Langen Sukarno berpesan pada Sri Sultan agar keutuhan Republik Indonesia dijaga. Sultan hanya mengangguk namun sebagai Raja Jawa ia selalu memenuhi janji.

Sri Sultan berpikir keras dengan apa Yogyakarta harus mendapatkan kemenangan politiknya. Suatu sore Sri Sultan mendengar perdebatan melalui BBC bahwa Indonesia sudah tidak ada lagi. Delegasi Belanda di PBB menyatakan "Pemerintahan Illegal Republik Indonesia sudah Hilang secara de facto yang berkuasa adalah Belanda kota Yogya sepenuhnya dibawah kendali Pemerintahan Belanda". Mendengar hal itu Sultan mendapat ide untuk mengejutkan dunia Internasional. Dipanggilnya Suharto sebagai Komandan Wehrkreise X untuk membangun serangan kejutan. Lalu terjadilah Serangan Umum 1949 yang kemudian mengubah jalannya sejarah. Setelah serangan umum Pemerintahan Belanda di PBB kalah suara dan dukungan Internasional mendukung Pemerintah Republik Indonesia sehingga pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kemerdekaan RI. Karena Juliana sangat membenci Sukarno maka yang datang menandatangani adalah Hatta sementara di dalam negeri yang menandatangani adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX di depan AJ Lovink.

Penandatangan Pengakuan Kedaulatan adalah pengakuan de facto. Dan Republik Indonesia yang masih bayi benar-benar diselamatkan oleh Sri Sultan sebagai pengasuh yang benar-benar menjamin keselamatannya. Lalu setelah puluhan tahun sejarah hendak dilupakan. Masuknya kelompok-kelompok dogol di Jakarta dan menguasai Politik Indonesia. Hanya karena ingin menggusur kedudukan Sri Sultan sebagai kekuatan politik pada pertarungan 2014 maka mereka ingin menghapuskan status daerah istimewa Yogya sekaligus ingin menghilangkan kekuasaan de facto Raja Jawa yang berada dalam lingkungan bangsa Indonesia.

Benar kata Pram : "Sebuah bangsa yang tidak mengerti sejarahnya sendiri hanya akan melahirkan ketololan-ketololan".


ANTON

Membongkar apa yang terjadi di balik surat Kartini





Saat itu tahun 1880-an menjelang pergantian abad 20. Pemikiran Multatuli menjadi dentuman rasa berdosa orang Belanda bahwa mereka bisa kaya raya diatas bangkai orang-orang Hindia yang dipaksa kerja rodi untuk membangun infrastruktur jalan dan perkebunan-perkebunan swasta di seluruh tanah Sumatera dan Jawa. Yang menjadi perhatian disini adalah program akumulasi modal perkebunan adalah kerjaan kelompok liberal, kemudian setelah kaum liberal kehilangan suara pada tahun 1880-an mereka malah seakan-akan menyalahkan kelompok konservatif terhadap kekejiannya sendiri di masa lalu. Kaum liberal kemudian menggunakan tangan kelompok Sosialis yang sedang naik daun.

Pertarungan di Parlemen Belanda yang kemudian melahirkan banyak nama di harian-harian Belanda macam Van Dedem, Van Kol ataupun Van Deventer menjadikan sebuah sodoran baru perlawanan politik kelompok liberal untuk membangun benteng baru yaitu : "Akumulasi Budaya". Kaum liberal menganggap kelompok konservatif secara perlahan memenangkan akumulasi modal setelah mendapat dukungan angkatan bersenjata dan keluarga kerajaan, sementara kelompok liberal mendapatkan penghinaan atas suara Multatuli dari sinilah kemudian Kartini menjadi besar karena pertarungan politik di parlemen Belanda antara kelompok liberal garis keras yang didukung kelompok sosialis dengan kelompok konservatif.

Kegelisahan Kartini adalah kegelisahan penasaran ingin tau, bukan kegelisahan perlawanan. Ia hanya bertanya dalam surat-suratnya tentang diskriminasi-diskriminasi yang terjadi. Pemikiran Kartini belum sampai pada pemahaman bahwa yang terjadi atas diskriminasi seksual wanita adalah persoalan diskriminasi modal yang menggunakan kekerasan rasial sebagai program politik kolonial. Kartini tanpa sadar merindukan peradaban kolonial tersebut, bahwa wanita Indonesia harus masuk ke dalam sistem pendidikan barat agar mengerti bagaimana dunia bekerja tanpa sedikitpun ia mengeritik soal modal yang menjadi landasan peradaban masyarakat. Di titik persoalan lama, Kartini menggugat tentang kekolotan agama, kekerasan struktur feodal Jawa terhadap penindasan elite dengan bawahan dan segala bentuk diskriminasi sosial yang menghancurkan perempuan dan perasaan alam bawah sadar anak-anak, tapi Kartini belum sadar bahwa yang membuat semua itu adalah sistem permodalan asing bernama Kolonialisme.

Di satu pihak kegelisahan Kartini dimanfaatkan kelompok liberal untuk menghardik kelompok konservatif dan ini menghasilkan kemenangan luar biasa, modal budaya bisa diraih kelompok liberal untuk memperluas akumulasi modal mereka, dengan masuknya sistem pendidikan barat maka kelompok liberal akan mendapatkan sebarisan tenaga terdidik yang bisa dibayar murah dan kelak dalam pemikiran mereka akan diciptakan cendikiawan creol yang status sosialnya disamakan dengan orang Belanda sehingga ketika Hindia disatu masa berdiri sendiri maka kaum creol terdidik inilah yang akan memegang Hindia.

Di tahun 1920-an ketika nama Kartini naik daun setelah kematiannya yang tragis dan Pane menerjemahkan surat-suratnya, nama Kartini kemudian digunakan oleh kaum pergerakan untuk membangun saluran suara perempuan. Disini surat-surat kartini tidak lagi ditafsirkan sekedar gugatan wanita Jawa terhadap diskriminasi seksual tetapi oleh kaum pergerakan dikonversi menjadi gugatan modal. Dan Sukarno-lah yang menguasai ini dengan baik, Sukarno selalu mendengung-dengungkan apa yang ditulis dalam surat Kartini adalah sebuah perlawanan perempuan terhadap sistem, sebuah pembongkaran sistematis. Konversi pemikiran Kartini yang penasaran ingin tau saja, menjadi Kartini yang menggugat peradaban sepenuhnya adalah hasil kerja politik Sukarno. Disini Sukarno mampu membangun imajinasi seorang Ibu yang berpikiran maha raksasa mampu menandingi pejuang-pejuang emansipasi Amerika atau Eropa yang sedang naik daun di tahun 20-an.

Sampai pada masa Sukarno berkuasa citra Kartini yang Rebel menjadi semakin sosialistik, apalagi saat anak Kartini. Kolonel Susalit terlibat dalam peristiwa Madiun 1948 adalah Sukarno yang menyelamatkannya sendiri demi sebuah citra Ibu Bangsa. Sukarno menggambarkan wanita Indonesia adalah seorang Kartini bertangan Sarinah, seorang berpikiran bangsawan tapi bertindak sebagai wanita yang mau masuk ke dalam lumpur masyarakat seperti Sarinah. Citra Kartini Rebel inilah yang kemudian dipatahkan oleh Suharto.

Di jaman Suharto surat Kartini tidak lagi menjadi penting, tapi Baju Kartini menjadi sebuah simbol modal luar biasa untuk menjadikan wanita Indonesia masuk ke dalam sistem Suhartorian. Semua lini harus terkooptasi ke dalam Sistem Suhartorian termasuk Kartini itu sendiri, citra Kartini yang rebel menurut imajinasi Sukarno menjadi Kartini yang bangsawan Jawa, bercitra anggun dan berbakti kepada suami, Kartini yang enggan berpikiran memberontak, yang tak paham persoalan-persoalan buruh, yang tak sensitif terhadap ketidakadilan. Kartini dalam konteks Suhartorian menjadi Kartini dengan alam kenyamanan, citra Kartini dikembalikan ke Keraton Kadipaten Mayong Jepara, menjadi sebuah figur yang lembut, selembut ibu-ibu dharma wanita.


ANTON, 21 April 2011.

Wibawa Sukarno di Mesir



Wibawa Sukarno hingga kini masih aku rasakan di Mesir ( Kisah Nyata )

Jalan Ahmed Sokarno di Mesir

50 tahun yang lalu,kisah persahabatan Sukarno dan Gamal Abd Nasr begitu akrab hingga terkenal diseluruh dunia,mengapa tidak, karena kedua pemimpin itu mempunyai wibawa yang tinggi dan juga mempunyai pengaruh terhadap kebijakan Internasional.Keduanya mempunyai kekuatan yang amat besar,Sukarno mempunyai bangsa Indoesia yang besar dan hasil alam yang melimpah ruah,kalau berbicara tentang pengaruh, Sukarno mempunyai wibawa tinggi dikawasan regional ( ASEAN pada saat ini ).Gamal Abd Nasr pun mempunyai pengaruh yang kuat di dunia Arab.

Banyak yang berkata “ah itu kan dulu,kalau sekarang ga ada pengaruhnya buat kita”, pernyataan ini amatlah salah,penulis dengan berbagai fakta akan coba menguraikan bahwa hingga saat ini wibawa Sukarno masih ada di bumi Mesir .

Pada suatu sore di Madinat an Nasr,suatu kawasan yang banyak dihuni mahasiswa Indonesia yang sedang menimba ilmu di Mesir,saya keluar dari Saqqoh ( rumah kontrakan ) sambil membawa diktat kuliah untuk di Copy. Saya mulai mencari warung photo copy ,akhirnya saya mendapati sebuah warung photo copy yang ada disebelah kedai yang menjual peralatan dapur. Disana duduk seorang bapak yang bersusia cukup tua,tanpa basa basi saya langsung memberi diktat kuliah itu untuk di copy, sambil membolak balik diktat ,bapak tua tadi bertanya “enta min ein ? ” (kamu dari mana ) dan aku pun menjawab “min andunisie” ( saya dari Indonesia ) langsung dengan spontan beluai berkata “ooo ahmed sukarno “ di duni Arab Sukarno lebih dikenal dengan nama Ahmed Sukarno. Kemudian ia pun berkisah tentang Presiden Sukarno, ” Pada saat bapak masih sekolah,kami dan guru-guru mendengar berita kalau Ahmed Sukarno akan datang ke Kairo,saat itu sekolah spontan memutuskan libur sementara untuk menyambut kedatangan Ahmed Sukarno,dan kebetulan sekolah kami tidak jauh dari kawasan bandara Kairo,” dan saya bertanya ” apa yang bapak lakukan pada saat itu “ dan ia menjawab "Karena rombongan Sukarno akan melewati sekolah kami,maka kami berdiri di depan sekolah sambil melambaykan tangan pertanda kami gembira dengan kedatangannya “ .Karena diktat yang di copy sudah habis ,saya kemudian pamit ,tapi seblum pamit sekali lagi pak tua itu berkata "Sukarno itu pemimpin besar"

dan saya pun menjawab ” terimaksih pak atas ceritanya,semoga nanti Indonesia punya pemimpin seperti beliau “dan saya pun pamit dan mengucapkan salam.

Kisah kedua terjadi pada tanggal 29 September 2010,siang itu pukul 12,saya pergi membeli isyh ( jenis roti yg terbuat dari gandum ) disebuah masjid yang mengelola isyh bersubsidi,diketahui bawa isyh adalah makanan pokok di negara-negara arab kalau di Indonesia kita bisa mengibaratkan seperti beras. Sesuai dengan peraturan yang berlaku,setiap pembeli harus membawa kartu yang berisi list,dimana nantinya setiap kita membeli maka list itu akan di contreng,agar tidak ada pembeli yang membeli isyh tersebut 2 kali dalam satu hari,karena hanya diperbolehkan satu kali per hari. Ketika aku menyodorkan uang 75 piester ( kira-kira 1000 rupiah),” mana kartu anggota mu,klo ga ada kartu ga bisa ambil isyh ini “ kata panita itu,sebenarnya kejadian itu sering terjadi,karena saya bukan pertama kali membli isyh di tempat itu,namun lagi-lagi seorang bapak tua disampingnya berkata ” kasih aja isyh nya sama dia,dia dah sering ambil disini “,kemudian panitia itu bertanya “enta min ein” ( kamu dari mana ) dan saya jawab “andunisie” ( saya orang Indonesia ), dan bapak tua tadi menyahut “Ahmed Sukarno Shoh !” ( Ahmed Sukarno bukan ! ) dan saya menjawab ” aiwah ( iya pak )” dan bapak tua itu pun berkata kepada panitia tersebut “dia itu bagian dari kita juga”. Dalam pemikiran saya pak tua tadi adalah ketua pengelola isyh bersubsidi tersebut,higga panitia lain ikut perintahnya,Bagi saya kisah ini sangat dalam,secara tidak langsung mereka menganggap bahwa masyarakat Indonesia yg ada di Mesir bagian dari masyarakat Mesir itu sendiri.

Benar kata Bung Karno ” jangan sekali-kali melupakan sejarah” ,Persahabatan Sukarno dan Gamal tidak hanya hubungan emosional dua pemimpin besar itu saja,tapi hubungan emosional rakyat Indonesia dan Mesir.



Azmil Nasution

Gaji Sukarno dan Gaji SBY



Gaji Bung Karno- Bung Hatta dan Gaji SBY

Di tahun 1945 Bung Karno dan Bung Hatta digaji 1.000 gulden (edisi de Japaansche regering) = gulden jepang, patokan harga beras saat itu 25 sen/kg. Indikator lain lagi 1 gulden = US$ 2,65, berarti 1.000 gulden = US$ 2.650 atau kira-kira nilai sekarang setara Rp.23.850.000,- dan Gaji SBY Rp. 62.000.000,- dana taktis 2 Milyar dan biaya kunjungan ke luar negeri Rp. 80,53 Milyar per tahun. Belum fasilitas renovasi rumah dan lain-lain. Ini artinya gaji Bung Karno dan Bung Hatta lebih kecil nilainya daripada SBY. Dan bila dibandingkan dengan dana taktis serta dana kunjungan (berpergian) maka tunjangan mereka amat jauh berbeda. Dalam setahun ceruk dana yang bisa digunakan SBY atas fasilitas negara bisa mencapai 100 Milyar lebih. Sementara Bung Karno dan Bung Hatta 100 jutaan (nilai sekarang).

Bung Karno dan Bung Hatta saat itu berkunjungan dengan menggunakan kereta api dan pernah juga dengan pesawat yang resikonya ditembaki oleh NICA setelah 1945. Selama di Djakarta Agustus 1945- awal 1946 Bung Karno tiap malam berpindah-pindah tempat tidur dan dua kali rumahnya diberondong peluru NICA yang membonceng sekutu. Atas perlindungan Sri Sultan HB IX seluruh pemerintahan dibawa ke Yogyakarta. Di Yogyakarta pemerintahan RI tidak memiliki uang untuk menggaji pegawainya, dengan uangnya sendiri Sri Sultan HB IX menalangi gaji Pemerintah yang diperkirakan nilainya saat ini bisa 1.1 Trilyun untuk membiayai pemerintahan darurat. Sri Sultan membongkar kas keraton dan menjaminkan keutuhan Republik. Selama menjadi Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX tidak mau digaji. Bahkan semua menteri di tahun 1945 hampir semuanya tidak memikirkan gaji, menurut Rosihan Anwar dalam catatannya :"Menteri-menteri itu menganggap kerja bakti untuk rakyat". Tidak ada mobil mewah, yang ada sepeda. Banyak dari menteri rapat kabinet dengan naik becak.

Baik Bung Karno dan Bung Hatta tidak pernah mengeluhkan soal gaji. Di akhir hidupnya bahkan Bung Karno tidak punya uang sama sekali, sampai-sampai pengen jajan duku minjem duit ajudannya yang bernama Putu Nitri. Bung Hatta tidak pernah mengeluhkan penghasilannya, kisah terkenal adalah ia menyimpan gambar iklan sepatu Bally dari koran dan mengumpulkan uang untuk membeli sepatu itu, di akhir hidupnya uang pensiuan Bung Hatta bahkan tak cukup buat bayar listrik, Ali Sadikin Gubernur DKI yang membantu untuk mengurusi listrik dan air rumah Bung Hatta.

Hasil kerja para pemimpin saat itu :

1. Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Mewariskan modal nasional luar biasa dan menjadi negara dengan kekayaan sumber daya alam nomor tiga di dunia.
3. Mewariskan rasa kebangsaaan yang hidup.
4. Mewariskan dasar-dasar konstitusi dan landasan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sementara Pemerintahan SBY apa yang bisa dihasilkan?

Bung Karno Menurut Joesoef Ishak



Manusia Indonesia Paripurna

Bung Karno adalah puncak segala-galanya bagi Indonesia, dari persoalan keindonesiaan sampai gambaran budaya dan peradaban manusia Indonesia. Jadi tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa figure Soekarno – meski bukan satu-satunya – adalah tokoh sentral untuk memahami dan mendalami sejarah Indonesia. Bahkan tidaklah keliru bila dikatakan bahwa sejarah hidup Bung Karno adalah patokan untuk mengukur tingkat budaya dan peradaban Indonesia, di mana moralitas dan pertanggungjawaban manusia pertaruhkan. (Joesoef Ishak, Wartawan).

Cerita Tentang Hamengkubuwono VIII



Kisah Humanis Dari Yogyakarta : Tentang Sri Sultan HB VIII (Ayah Sri Sultan HB IX) mempersiapkan anaknya untuk menjadi pemimpin bangsa.

TIDAK sebagaimana tokoh dari dinasti Mataram yang
lain, nama Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (Sultan HB VIII) memang terasa kurang bergaung di Bumi Nusantara, bahkan masyarakat yang tinggal di Yogya sekalipun.

Popularitas Sultan HB VIII memang tidak seperti Panembahan Senapati,
Sultan Agung, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I), Pangeran Diponegoro dan Sultan Hamengkubuwono IX. Namun, jika kita mau mencermati sejarah Yogyakarta menjelang masa-masa terakhir penjajahan Belanda di Nusantara ini, peran HB VIII laksana sepercik api lentera di kegelapan malam yang bias cahayanya mampu menembus dinding siti hinggil dan benteng keraton hingga menjangkau sudut-sudut dunia.

Visi global telah berkembang di lingkungan istana Mataram meski tanpa perumusan yang rumit, yang memusingkan kepala.Sultan HB VIII yang saat itu masih berkedudukan sebagai putramahkota sadar betul akan perlunya pendidikan bagi putra-putranya dalam rangka
menghadapi perkembangan dan perubahan zaman. Persiapan awal untuk membuktikan keyakinannya dilakukan dengan tindakan yang mengejutkan banyak pihak. KRAy. Adipati Anom, sang permaisuri, "dikebonke" (dipindahkan keluar keraton) dengan alasan yang tidak diketahui oleh kerabat kraton, tetapi kedudukan sebagai garwa padmi tak pernah dicabut, bahkan segala atribut berupa pakaian dan payung kebesaran seorang permaisuri tetap disertakan.

Langkah kontroversi sang putra mahkota itu tidak berhenti, Dorodjatun, putranya yang masih berusia 4 tahun-pun segera
'disingkirkan' dari kraton untuk kost pada keluarga Belanda. Di sini,
pangeran kecil itu dibiasakan hidup mandiri, jauh dari sikap manja dan
bermalas-malas, adanya hanya disiplin, kerja keras dan spartan.
Rupanya calon Sultan Yogya itu sadar benar bahwa orang yang telanjur kalingan suka, ilang prayitnane(terbuai oleh kesenangan, akan hilang kewaspadaan). Itulah sebabnya, Sultan HB VIII sengaja memisahkan kost putra-putranya dan tidak menyertakan inang-pengasuh ataupun abdi panakawan untuk menemani putrandanya yang sedang kost, meski kenyataannya Dorodjatun sering
menangis saat akan kembali ke kost sehabis berlibur di keraton.


Pesan yang sangat bermakna dari Sultan HB VIII adalah saat Dorodjatunakan ke Holland bersama kakaknya, BRM Tinggarto (nama kecil GBPH Prabuningrat) untuk kuliah di Universitas Leiden: "Selama di Negeri Belanda, buka pintu hatimu seluas-luasnya. Berupayalah agar kau benar-benar menyelami sifat-sifat orang Belanda, karena di masa depan kau selalu akan berurusan dengan mereka".

Sejarah membuktikan bahwa buah pendidikan Sultan HB VIII mulai tampakpada pribadi Dorodjatun saat dirinya akan dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono IX. Pembahasan kontrak politik dengan ahli diplomasi Belanda, Dr Lucien Adams, harus ia jalani secara maraton selama empat bulan berturut-turut tanpa membuahkan kesepakatan. Ia memang harus benar-benar teliti dan hati-hati, karena jika salah langkah, implikasinya akan sangat berat, karena menyangkut nasib rakyat negeri Mataram, Yogyakarta.

Dorodjatun adalah salah satu contoh putra terbaik bangsa yang
mengenyam pendidikan Barat tanpa harus kehilangan pribadinya sebagai orang Indonesia atau orang Jawa. Ia telah berhasil membuktikan bahwa belajar pada orang asing tidak berarti menjadi antek-antek, begundhal atau gedibalbangsa asing, tetapi justru sebaliknya, dengan mengenal sifat-sifat bangsa asing, dirinya akan lebih mudah menghadapi bangsa tersebut demi
keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya.


Sifat itu terasa sangat bertolak belakang dengan keadaan sekarang,
dimana banyak ilmuwan melawat ke luar negeri untuk belajar ilmu
pengetahuan, teknologi, bahasa, budaya dan cara hidup orang asing.
Tetapi pada akhirnya mereka justru terhanyut menjadi agen atau
perpanjangan tangan orang asing untuk mengelabuhi bangsa sendiri.
Kebanggaan pada hal-hal yang berbau asing (Luar Negeri, Internasional,
Global) telah mengikis jatidiri sehingga tanpa disadari mereka terjebak
menjadi kacung-kacung imperialis, dimana kepandaian yang diperolehnya
justru digunakan untuk membuka pintu-pintu penjajahan baru dengan cara
menjual aset negara tanpa mempedulikan bahwa ulahnya menyengsarakan
rakyat banyak.

Sikap patriotis seorang ksatria Mataram hasil didikan Sultan HB VIII
benar-benar mengagumkan dan membanggakan. Setelah Serangan Oemoem 1 Maret 1949, keraton yang dicurigai sebagai pusat gerilya dikepung tentara Belanda di bawah pimpinan Kolonel Van Langen dan ajudannya Kapten De Jonge dengan pasukan tank dan panser yang moncongnya mengarah ke gerbang Keben (Kemandungan Lor).

Sultan HB IX yang juga menyandang gelar Mayor Jenderal Tituler dari negeri Belanda itu menghalau dengan kata yang tegas dan penuh wibawa: "Kalau tuan-tuan ingin memperlakukan (mengobrak-abrik) Keraton seperti Kepatihan, lebih baik bunuhlah saya".

Di era awal kemerdekaan Indonesia, Sultan HB IX dengan jiwa besarnya telah menolak kedudukan Wali Negara sebagaimana yang ditawarkan Belanda. Suatu keputusan untuk 'mengasuh' Indonesia yang masih 'bayi' dengan segala risiko itu justru dipilihnya. Perannya sebagai 'Proklamator ke-2' saat Soekarno-Hatta sedang menyingkir ke Bukittinggi, menjadi bukti bahwa Sultan HB IX adalah benar-benar patriot sejati, benteng terakhir negeri ini.

Akankan pendidikan kita mampu berbuat seperti suksesnya Sultan HB
VIII dalam menyiapkan putranya menjadi seorang pemimpin besar dan
manusia berjiwa besar yang rela mempertaruhkan segala yang dimiliki
untuk kepentingan negerinya? Atau sebaliknya, kita justru akan
menjadikan anak-didik kita sebagai pialang/ broker/makelar untuk
menguras aset negara demi kepentingan pribadi dan orang asing?

Jawabnya akan ditemukan setelah kita mencermati pendidikan di sekitar kita yang rasa-rasanya lebih banyak didikte oleh pasar dan penanam modal.Meski saat ini telah banyak bertebaran sekolah bersertifikasi ISO, juga sekolah dengan kualifikasi SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), bukan jaminan bahwa sekolah tersebut akan menghasilkan manusia berjiwa besar yang berani menghadapi tantangan zaman demi membela bangsanya.

Konsep dasar yang dipesankan barangkali memang berbeda. Sultan HB VIII berpesan pada putrandanya supaya di kemudian hari ia mampu menghadapi dan mengatasi penjajah. Apakah? pesan internasionalisasi pendidikan Indonesia sekarang apakah juga demikian? Jangan-jangan pesan itu hanya sebatas agar anak-anak kita ikut mengenyam keuntungan dari kolonialisme modern yang tengah nge-trend di masyarakat kita, alias kita mendidik mereka menjadi manusia oportunis.
Yang lebih ironis lagi, para fasilitator internasionalisasi pendidikan kita kadang over-PD, sekan-akan yang ia bawa adalah segala-galanya bagi pendidikan Indonesia. Sikapnya cenderung jumawa, jalannya tegap, dada membusung, dagu mendongak dan wajahnya menengadah seakan-akan dirinya adalah manusia klas internasional, jagat-semesta.
Bicaranya dengan bahasa Inggris logat Jawa yang di-native-native-kan. Mereka lupa bahawa di negeri aslinya sana, bukan hanya golongan orang pintar yang berbahasa Inggris, pencoleng dan orang bloon-pun juga fasih berbahasa Inggris.

Mereka tidak sadar bahwa pada dasarnya kita sedang diolah menjadi follower yang nantinya akan diperankan sebagai bangsa yang tak lebih dari underbow sang funding country.Kalau mau menjadi bangsa yang bermartabat, jangan menyediakan diri untuk dijajah. Untuk menyikapi kemajuan, aspek global dan aspek mental kepribadian harus bangun secara imbang. Sri Sultan HB VIII adalah salah satu contoh seorang bapak/pendidik yang berhasil, dan Sri Sultan HB IX adalah salah satu contoh anak didik yang cemerlang, meskipun batal menjadi Sarjana karena tugas akhirnya dirampas Belanda. Tentu buah keberhasilan pendidikan seperti itu akan membanggakan dan membahagiakan kita semua, terlebih bagi para guru.

Jangan malu untuk mengakui bahwa gelar akademis kita seakan menjadi tak bermakna dibanding pengorbanan beliau. Juga tak perlu merasa rendah diri, karena kita takut meniru kerasnya pendidikan oleh Sultan HB VIII itu. Tidak mengapa, toh derajad kita memang hanya sebagai rakyat jelata; wong pandh? galeng, pidak pedarakan, sedangkan dua Sultan tersebut adalah trahing kesuma, rembesing madu, wijiling adana tapa, yang tentu tidak akan nangis gulung koming hanya gara-gara lapar atau karena tidak disanjung orang.

( SKH Kedaulatan Rakyat Rubrik Adiluhung)

Drs Anang Prawoto, Guru SMKN 2 Depok (STM Pembangunan) Mrican