News Update

Catatan Lisa Pease Tentang Freeport


Lisa Pease menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA, and Freeport” dan dimuat dalam majalah Probe. Tulisan bagus ini disimpan di dalam National Archive di Washington DC. Dalam artikelnya, Lisa Pease menulis jika dominasi Freeport atas gunung emas di Papua dimulai sejak tahun 1967, namun kiprahnya di Indonesia sudah dimulai beberapa tahun sebelumnya. Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut berkeping-keping ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun 1959. Saat itu Fidel Castro berhasil menghancurkan rezim diktator Batista. Oleh Castro, seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya terkena imbasnya. Ketegangan terjadi. Menurut Lisa Pease, berkali-kali CEO Freeport Sulphur merencanakan upaya pembunuhan terhadap Castro, namun berkali-kali pula menemui kegagalan. Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur Pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.

Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jaques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di Perpusatakaan Belanda. Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan membacanya. Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pimpinan Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Tidak seperti wilayah lainnya di seluruh dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada di sekujur Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah. Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata. Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survei dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah. Dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari. Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak! Menurut Wilson, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Gunung Tembaga. Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar dan dalam waktu tiga tahun sudah kembali modal. Piminan Freeport Sulphur ini pun bergerak dengan cepat. Pada 1 Februari 1960, Freeport Sulphur menekan kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut. Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam. Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat. Tadinya Wilson ingin meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno. Kennedy mengancam Belanda akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat. Ketika itu sepertinya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg sesungguhnya mengandung banyak emas, bukan tembaga. Sebab jika saja Belanda mengetahui fakta sesungguhnya, maka nilai bantuan Marshall Plan yang diterimanya dari AS tidak ada apa-apanya dibanding nilai emas yang ada di gunung tersebut. Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Para pimpinan Freeport jelas marah besar. Apalagi mendengar Kennedy akan menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia. Semua ini jelas harus dihentikan! Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Banyak kalangan menyatakan penembakan Kenndey merupakan sebuah konspirasi besar menyangkut kepentingan kaum Globalis yang hendak mempertahankan hegemoninya atas kebijakan politik di Amerika.

Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil siap yang bertolak-belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Salah seorang tokoh di belakang keberhasilan Johnson, termasuk dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 1964, adalah Augustus C. Long, salah seorang anggota dewan direksi Freeport. Tokoh yang satu ini memang punya kepentingan besar atas Indonesia. Selain kaitannya dengan Freeport, Long juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex (patungan dengan Standard Oil of California). Soekarno pada tahun 1961 memutuskan kebijakan baru kontrak perminyakan yang mengharuskan 60 persen labanya diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Caltex sebagai salah satu dari tiga operator perminyakan di Indonesia jelas sangat terpukul oleh kebijakan Soekarno ini. Augustus C. Long amat marah terhadap Soekarno dan amat berkepentingan agar orang ini disingkirkan secepatnya. Mungkin suatu kebetulan yang ajaib. Augustus C. Long juga aktif di Presbysterian Hospital NY di mana dia pernah dua kali menjadi presidennya (1961-1962). Sudah bukan rahasia umum lagi jika tempat ini merupakan salah satu simpul pertemuan tokoh CIA. Lisa Pease dengan cermat menelusuri riwayat kehidupan tokoh ini. Antara tahun 1964 sampai 1970, Long pensiun sementara sebagai pimpinan Texaco. Apa saja yang dilakukan orang ini dalam masa itu yang di Indonesia dikenal sebagai masa yang paling krusial. Pease mendapakan data jika pada Maret 1965, Augustus C. Long terpilih sebagai Direktur Chemical Bank, salah satu perusahaan Rockefeller. Agustus 1965, Long diangkat menjadi anggota dewan penasehat intelijen kepresidenan AS untuk masalah luar negeri. Badan ini memiliki pengaruh sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Long diyakini salah satu tokoh yang merancang kudeta terhadap Soekarno, yang dilakukan AS dengan menggerakkan sejumlah perwira Angkatan Darat yang disebutnya sebagai Our Local Army Friend. Salah satu bukti adalah sebuah telegram rahasia Cinpac 342, 21 Januari 1965, pukul 21.48, yang menyatakan jika kelompok Jenderal Suharto akan mendesak angkatan darat agar mengambil-alih kekuasaan tanpa menunggu Soekarno berhalangan.

Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi jika hal itu benar adanya. Awal November 1965, satu bulan setelah tragedi 1 Oktober 1965, Forbes Wilson mendapat telpon dari Ketua Dewan Direktur Freeport, Langbourne Williams, yang menanyakan apakah Freeport sudah siap mengeksplorasi gunung emas di Irian Barat. Wilson jelas kaget. Ketika itu Soekarno masih sah sebagai presiden Indonesia bahkan hingga 1967, lalu darimana Williams yakin gunung emas di Irian Barat akan jatuh ke tangan Freeport? Lisa Pease mendapatkan jawabannya. Para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasionil mereka. Sebab itulah, ketika ketika UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss yang didiktekan Rockefeller, disahkan tahun 1967, maka perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Suharto adalah Freeport. Inilah kali pertama kontrak pertambangan yang baru dibuat. Jika di zaman Soekarno kontrak-kontrak dengan perusahaan asing selalu menguntungkan Indonesia, maka sejak Suharto berkuasa, kontrak-kontrak seperti itu malah banyak merugikan Indonesia. Untuk membangun konstruksi pertambangan emasnya itu, Freeport menggandeng Bechtel, perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Direktur CIA John McCone memiliki saham di Bechtel, sedangkan mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan internasional di tahun 1978. Tahun 1980, Freeport menggandeng McMoran milik “Jim Bob” Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun. Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A. Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki depost terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar. Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar pon dan emas sebesar 52,1 juta ons. Nilai jualnya 77 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia. Istilah Kota Tembagapura itu sebenarnya salah. Seharusnya Emaspura. Karena gunung tersebut memang gunung emas, walau juga mengandung tembaga. Karena kandungan emas dan tembaga terserak di permukaan tanah, maka Freeport tinggal memungutinya dan kemudian baru menggalinya dengan sangat mudah. Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Grasberg-Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru di mana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan langsung mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika. “Perampokan legal” ini masih terjadi sampai sekarang. Kisah Freeport merupakan salah satu dari banyak sekali kisah sedih tentang bagaimana kekayaan alam Indonesia, oleh para penguasanya malah digadaikan bulat-bulat untuk dirampok imperialisme asing, demi memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Kenyataan memilukan ini masih berlangsung sampai sekarang. Pertemuan Mafia Berkeley dengan Rockefeller dan kawan-kawannya di Jenewa-Swiss di bulan November 1967 menjadi bukti tak terbantahkan tentang permufakatan tersebut. Di saat itulah, rezim Jenderal Soeharto mencabut kemerdekaan negeri ini dan menjadikan Indonesia kembali sebagai negeri terjajah. Ironisnya, penjajahan asing atas Indonesia diteruskan oleh rezim yang tengah berkuasa saat ini yang ternyata “jauh lebih edan” ketimbang Jenderal Soeharto dulu.

Hari-Hari Terakhir Sukarno




Essay : Hari-Hari Terakhir Bung Karno

Oleh Anton Djakarta


Dalam mimpi yang pudar jaman tak akan bergetar seperti dulu ketika aku masih memimpin revolusi yang gelegar. Aku disini sebagai orang yang lunglai dan tak tahu apa-apa mengenai dunia, dunia yang pernah membesarkanku ..... lalu lelaki gemuk tua itu berdiri. Kaos singletnya basah oleh keringatnya yang mengalir deras.

Wajahnya membengkak, dan bibir yang dulu paling dikenal dalam sejarah merdekanya Indonesia, kini menjadi paruh betet yang tak lagi menarik, hidungnya sebesar tomat dan hidung tomat itu bukan lagi hidung tomat yang membuat takut kaum imperialis, hidung itu tak lebih dari tomat yang bolong-bolong.

Si bung itu duduk kembali dan matanya basah.

Matahari masih sembunyi dalam alam jingga, dulu ia bisa mengesankan pagi yang indah dengan serbuan kata-kata. Kini dia hanya diam kata-kata tak lagi berteman. “Bapak segera mandi!” bentak seorang tentara. Dia hanya menoleh. Lalu berdiri dan menurut perintah tentara. Jalannya lunglai, dan ginjalnya tak lagi normal. Seorang pemimpin besar yang dulu pernah menaklukkan dengan telunjuk mengacung-acung dan seribu batalyon bisa membakar jiwa revolusi, kini hanya seonggok daging tua yang tak memiliki nyali.

“Aku tak ada apa-apa, tapi aku adalah bangsa itu sendiri” gumam lelaki tua bertubuh gemetar. Ia berjalan pelan terseok-seok di sebuah ruangan besar yang kotor, membawa handuk dan perlengkapan mandi. Seorang yang dulu begitu rupawan menggoda jutaan wanita dan menginspirasi jutaan pemuda memindahkan gunung dan membakar samodera. Memerintah puluhan Jenderal dan dipuja ratusan juta rakyatnya. Ia adalah dewa, tapi kini tak lebih bandit yang dilabur hitam dalam sejarah.

“Dunia ini seperti nasib yang berputar-putar, kita dipaksa bermain dadu.... tapi kita juga dipaksa memerahkan dadu sehingga dadu tak lagi berupa apa-apa” ia terus berjalan menuju kamar mandi. Dunia ini mimpi dan mimpi tak pernah mengubah sejarah.

Deburan air menghantam gayung, tubuh tua gemuknya tak lagi kuat menahan dingin, sementara air hangat sudah kosong. Ia tak boleh manja. Dalam sakitnya yang parah, dia tahu dia akan dibunuh oleh penyakitnya pelan-pelan. Dia tak boleh manja apalagi meminta sedikit pil untuk jaga ginjal, ia tahu yang ia tenggak hanyalah plasebo murahan, tapi ia tak boleh manja karena dirinya toh sudah hancur agar karyanya tak bisa dipecah-pecah oleh Amerika........ Ia tak boleh manja.

Hitam sudah cakrawala pagi, tak ada lagi Cakrabirawa, tak ada lagi orkes Asal Bapak Senang, yang ada hanya pagi sunyi. Dan Bapak sudah mau pergi.

Bulan Juni ini aku lahir dan mimpi terus menerus memerkosa sejarah, aku ndak paham mimpi apa yang berlangsung bagi negeriku, mimpi apa yang sedang dimainkan para Jenderal-Jenderalku, aku tak paham dan tak tahu, tapi aku bukan siapa-siapa. Mimpi tak lagi punya cakrawala. Dan bangsaku tak lagi punya mimpiku .....

Lelaki tua gemuk dengan wajah bengkak keluar dari kamar mandi. Kepalanya botak dan matanya tak lagi setajam elang banten yang menguasai hutan revolusi. Lelaki tua botak itu hanya meringis pelan sembari mencoba tersenyum pada seorang tentara yang bukan lagi menjaganya tapi menahannya. Tentara itu tidak tersenyum. Tentara itu tahu bahwa Bapak bukan lagi orang yang ia puja, tapi seorang tahanan. Si Bung Besar itu berjalan dan ginjalnya tak lagi mampu meremas-remas aliran energi didalam tubuhnya.

Aku lemah.

Aku tak tahu, apakah aku lemah...apakah aku kuat. Aku tak tahu....aku hanya diam .... diam dan diam.... tiba-tiba aku berada pada lorong yang gelap. Matahari pagi tadi tak lagi sunyi, ia menjadi warna ceria, pagi sudah menjadi baskom yang menyenangkan.

Ia seperti ada di Endeh, pada surga perak yang tumbuh dibawah pohon Kenari, ia berjalan pelan. Dia tertawa dan suaranya yang terkenal menggelegar. Tiba-tiba datang Tjokro. Dia heran, Pak Tjok datang. “Kusno, ikutlah bersamaku” Sapa Tjokro dengan tangan menjulur. Ia melihat banyak orang dibelakang Tjokro .... Alimin, Muso, Tan Malaka, Thamrin, Dharsono, Amir, Haji Misbah. Ia lihat ibunya, ia lihat bapaknya, ia lihat kakeknya dan ia juga kaget saat lihat DN Aidit.Tapi ia hanya bisa diam. Saat Tjokro memegang tangannya, Thamrin menghampiri... Bung Ikutlah bersama kami.

Dan pagi hanya punya diam. Ia diam sampai seseorang membangunkannya. “No...No.... bagaimana keadaanmu, No?” Hatta memegang tangan Bung Karno. Dan matanya basah. “No...no...”Hatta memanggil sekali lagi. Ia ingat kawannya ini, ia ingat pribadinya yang hangat, yang menyenangkan yang suka tertawa dan doyan sekali bergurau. Ia ingat kebaikan hatinya kawannya ini yang menggoda Hatta untuk segera menikah. Ia ingat semua mimpi-mimpi lelaki yang banyak ulah ini, ia ingat semuanya. Dan mata Hatta berubah menjadi sungai air mata. “No...No” kata Hatta lagi.

Thamrin melepaskan tangannya, ia tahu akan menjemput sahabatnya di waktu yang sudah tentu. Tjokro tersenyum dan mengusap-usap mata lelaki itu. “Kusno, aku jemput nanti, lihatlah sahabatmu datang....” Kusno tercekat. Ia bangun lagi. “Hatta.... Hoe gaat het met Jou?” bahu Hatta lemas, ia tak tahan melihat penderitaan Sukarno. Ia meradang tapi seperti ia biasa ia mempu menghantam kemarahannya. Hatta hanya menangis.

Dan beberapa hari kemudian lelaki itu meninggal. Rakyat secara implisit dilarang untuk melihat, tapi rakyat tahu bahwa orang itu yang memerdekakan bangsanya. Rakyat tahu dan jutaan rakyat berjajar lalu....21 Juni 1970 Semua orang Indonesia berhati hampa.


Jakarta, 5 Juni 2009


Menjelang Ulang Tahun Bung Karno.

Revolusi Memakan Anak Kandungnya Sendiri


Revolusi Memakan Anak Kandungnya Sendiri

Oleh : ANTON

Sejarah mencatat sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sekelompok pemuda dengan nekat menculik Sukarno dan Hatta, berikut Fatmawati dan bayinya Guntur dibawa ke Rengasdengklok untuk dipaksa memproklamirkan kemerdekaan. Peristiwa ini sebenarnya bermula pada kunjungan sekelompok pemuda menemui Sukarno dan Hatta di suatu tempat. Orang itu adalah : Wikana (ketua), DN Aidit, Soebadio Sastrosatomo, Suroto dan Yusuf Kunto.

Pada pertemuan itu sekelompok pemuda itu ngotot agar kemerdekaan Indonesia di proklamasikan secepatnya sebelum ada keputusan resmi dari sekutu tentang status Indonesia, artinya masa vakum kekuasaan akibat kalahnya Jepang ibarat ‘Golden Time’ bagi orang kena serangan jantung sebelum diselamatkan dokter atau mati ditengah jalan. Sukarno menolak ia takut kalau proklamasi dilakukan tanpa menyertakan Panitia Kemerdekaan yang notabene buatan Jepang maka bisa terjadi penangkapan-penangkapan yang tidak perlu dan korban dari pihak rakyat karena kebrutalan Jepang. Tapi para pemuda itu bilang mereka sudah siap, dan revolusi tinggal tunggu pelatuknya. Jakarta akan terbakar api perang kemerdekaan. Sukarno tetap menolak permintaan pemuda itu. Akhirnya salah seorang dari mereka dalam suasana panas mengancam bila Bung Karno tidak mau memproklamirkan maka akan ada pertumpahan darah dalam pertemuan ini. Bung Karno yang terkenal nggak mau ngalah, malah balik mengancam sambil pegang lehernya dan berteriak. “ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, dan sudahilah nyawa saya sekarang juga, jangan tunggu besok!” Hatta yang lebih berkepala dingin menengahi suasana yang sudah memanas itu, dia bilang “Sudah jangan diteruskan...kalau kalian sanggup proklamasikan saja sendiri” Hatta meminta pemuda lebih sabar menunggu keadaan.

Jelas suasana ini membuat para pemuda yang memaksa Bung Karno kecewa apalagi Wikana yang sudah sangat yakin bahwa Kaigun (Angkatan Laut Jepang) pasti bisa membantu Indonesia, ia kenal dengan petinggi-petinggi Kaigun yang memang agak bersimpati atas kemerdekaan Indonesia. Peristiwa inilah yang kemudian mencetuskan ide gila untuk menculik Sukarno dan Hatta.

Lalu bagaimana yang terjadi dengan nasib orang-orang yang terlibat pada pertemuan itu setelah Indonesia merdeka?.

Sukarno menjadi Presiden Indonesia pertama, namun diakhir hidupnya ia dikarantina akibat peristiwa G 30 S yang nggak jelas siapa yang main. Akhir hidupnya menderita sakit lever dan wajahnya bengkak-bengkak, dokter yang merawat Bung Karno bukan lagi dokter Mahar Mardjono tapi dokter hewan dan ia tidak boleh baca koran, menerima tamu bahkan kerap menerima perlakuan kasar dari pengawal yang diperintahkan Junta Militer Orde Baru untuk menjaga beliau. Orang yang terakhir menjenguk beliau adalah Hatta. Sukarno yang dalam keadaan koma tiba-tiba tersadar ketika Hatta datang, dengan suara pelan dia berkata “Hatta kau disini?”.Hatta menanggapinya dengan menjawab “Bagaimana keadaanmu, No?” Hatta memanggil Sukarno dengan nama kependekan seperti yang sering ia kalau ia memanggil Bung Karno di jaman pergerakan sampai awal kemerdekaan. Bung Karno menjawab sama dengan apa yang ditanyakan Hatta dalam bahasa Belanda “Hoe gaat het met Jou?”. Hatta menangis sambil memegangi tangan Bung Karno.

Tokoh yang paling tragis dari kisah orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu adalah DN Aidit alias Bang Amat. Ia yang diawal kemerdekaan tertangkap Belanda dan dipenjarakan di Pulau Onrust lalu setelah dibebaskan ia bergabung dengan gerakan Musso, akibat peristiwa Madiun 1948, ia bersembunyi dan baru muncul di awal tahun 50-an. Ia juga dicari-cari Rezim Sukiman pada Razia Agustus 1951, kemudian PKI mendapat pengakuan politik oleh Sukarno, dan DN Aidit merevitalisasi PKI, lalu membesarkan partai ini menjadi partai paling menakutkan bagi lawan-lawan politiknya. Akibat peristiwa G 30 S ia dituduh sebagai dalang utama dan kabarnya ia dihabisi oleh prajurit RPKAD di sebuah tempat di Solo. Pembunuhan terhadap karakternya paling brutal dalam kisah sejarah Indonesia, ia bukan saja dibantai kehidupannya tapi juga dibantai namanya, DN Aidit menjadi nama paling mengerikan baik di buku-buku pelajaran maupun film atau kisah-kisah di masa Orde Baru.

Soebadio Sastrosatomo juga mengalami nasib yang kurang baik dalam hidupnya setelah Indonesia merdeka. Pada awalnya ia masa-masa manis berpolitik. Pada saat pemerintahan Amir Syarifudin jatuh akibat mosi tidak percaya terhadap perundingan Renville, Amir yang juga tadinya satu partai dengan Badio alias Kiyuk..berkata pada Badio dalam sebuah rapat mendadak “Ik leg mijn ambt neer. Saya sudah kalah, Badio..wordt jij maar Perdana Menteri. Daar is the plane, ga jij maar Jakarta om meet de Belanda te spreken..(Saya letakkan jabatan saya, saya sudah kalah Badio, kau saja jadi Perdana Menteri.Disana ada pesawat terbang, kau pergilah ke Jakarta untuk berunding dengan Belanda). Saat itu umur Badio baru 30 tahun. Namun Badio menolak tawaran Amir.

Saat Sukarno mengusulkan supaya Badio diangkat menjadi Jaksa Agung pada bulan November 1945 Hatta menolak dengan berkata “Soebadio is the jong” (Soebadio terlalu muda) jadilah Badio seumur-umur tidak pernah menerima jabatan resmi pemerintah. Malah ia keluar masuk penjara. Di jaman Demokrasi terpimpin Badio masuk penjara Madiun karena dianggap menentang Sukarno. Lalu di jaman Orde Baru tanpa proses pengadilan ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama 888 hari. Hidupnya sangat sederhana, Pak Badio ini tinggal di Jalan Guntur No. 49 Jakarta. Rumahnya merupakan bangunan tua yang lapuk di makan usia. Badio ini termasuk anak didik Sjahrir, Ia benci sekali dengan Suharto namun ia menyenangi Bung Karno walaupun ia pernah dipenjara pada saat jaman Bung Karno. Di jaman Orde Baru Megawati berkali-kali datang ke rumah Badio dan kalau Megawati datang, Badio selalu tanya “Apa kata Bapak?” Badio yakin Megawati mampu berdialog dengan arwah Bung Karno.

Wikana adalah tokoh yang paling tidak dikenal dalam sejarah Indonesia. Padahal pada peristiwa pencetusan Proklamasi 1945 peran beliau yang paling penting karena berkat koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Lalu Wikana mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung Karno di Pegangsaan, ia juga tegang saat melihat Bung Karno sakit malaria pagi hari menjelang detik-detik pembacaan Proklamasi. Wikana kasak kusuk ke kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi. Setelah kemerdekaan jalan hidup Wikana sangat rumit, ia dianggap terlibat peristiwa Madiun 1948, namun berhasil lepas dari kejaran tentara. Bersama dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan baru kembali setelah DN Aidit melakukan pledoi terhadap kasus Madiun 1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 februari 1955. Namun revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak progresif, ini sama saja dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex Digulis oleh anak-anak muda PKI, karena tidak sesuai dengan perkembangan perjuangan komunis yang lebih Nasionalis dan mendekat pada Bung Karno. Terakhir Wikana tinggal di daerah Simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Beruntung Waperdam Chaerul Saleh pada tahun 1965 menarik Wikana menjadi anggota MPRS. Pada saat penangkapan-penangkapan setelah kejadian GESTAPU, Wikana hilang begitu saja. Sampai sekarang tidak jelas juntrungannya.

Lalu bagaimana dengan Hatta?, Hatta menjadi Wakil Presiden dan dilantik bersama Bung Karno. Hatta memiliki peran besar pada revolusi bersenjata 1945-1949 karena Bung Karno tidak disukai Belanda sangat membenci Bung Karno, dan dianggap Bung Karno tak lebih dari Quisling, tokoh kolaborator Norwegia yang berkhianat dan membantu Nazi, Bung Karno dianggap membantu rezim fasis Jepang selama pendudukan militer Jepang 1942-1945 namun Hatta dan Sjahrir disukai Ratu Belanda karena itulah kedua tokoh ini yang paling sering berunding dengan Belanda. Hatta melakukan restrukturisasi partai-partai politik dan militer. Restrukturisasi militer Hatta memiliki dampak paling luas terhadap perkembangan sejarah Indonesia, terutama sekali berjaraknya militer rasional ciptaan Hatta-AH Nasution dengan sentimentalisme patriotik Sukarno. Selain itu restrukturisasi militer Hatta memunculkan peristiwa politik paling kontroversial sepanjang era revolusi kemerdekaan, peristiwa Madiun 1948. Orang-orang komunis menuduh Hatta terlibat pada perjanjian rahasia red drive proposal antara pemerintah AS dengan RI untuk membendung komunisme di Indonesia, dengan imbalan AS akan mendukung perjuangan diplomatik Indonesia baik di PBB maupun forum-forum perundingan dengan Belanda. Red Drive Proposal ini dianggap sebagai awal mula munculnya peristiwa Madiun yang berakibat dibunuhnya tokoh-tokoh politik penting dari garis kiri seperti : Amir Sjarifudin, Musso, Suripno dll.

Setelah penghancuran PKI dan Front Demokrasi Rakyat, karir politik Hatta semakin cemerlang ia dipercaya pemerintah RI menjadi penandatangan perjanjian KMB 1949 dan pengakuan kedaulatan RI atas Indonesia 27 Desember 1949. lalu Hatta dengan baik mengatur formasi kabinet, bersama dengan Sri Sultan HB IX, Hatta memodernisir TNI. Setelah Pemilu 1955, karir politik Hatta menurun, ini berbanding terbalik dengan karir politik Bung Karno yang menanjak ditunjang mulai kuatnya PKI revitalisasi Aidit 1954 dan mulai mendapatnya dukungan militer terhadap Bung Karno seiring tidak puasnya kerja parlementer. Hatta menolak konsep-konsep politik Bung Karno, lalu hubungan itu merengang, pada tahun 1956 Hatta mengundurkan diri, awalnya Bung Karno menolak pengunduran diri Hatta, tapi akhirnya ia menandatangani surat pengunduran diri Hatta. Mundurnya Hatta membuat kecewa banyak perwira militer non Jawa yang notabene juga anti PKI. Protes terhebat adalah ketika PRRI mengultimatum agar Dwitunggal Sukarno-Hatta kembali lagi dan pemerintah Jakarta jangan sampai jatuh ke tangan komunis, atau pemberontakan pecah. Akhirnya pemberontakan PRRI pecah diikuti dengan gerakan Permesta. Kolonel Ahmad Yani yang menyelesaikan kasus PRRI dengan operasi 17 Agustus-nya. Praktis setelah PRRI nama Hatta hilang dari peredaran, ia hanya disebut dalam upacara proklamasi sebagai ko-proklamator. Nasibnya sebagai ko-proklamator menyelamatkan nasibnya karena dengan itu rezim Sukarno tidak berani menjebloskan Hatta ke penjara, ini berbeda dengan nasib Sjahrir. Konon kabar yang beredar dari versi buku-buku sejarah (Versi PKI terlibat dalam Gestapu) Hatta dimasukkan ke dalam tokoh yang harus dibunuh pada malam jahanam 30 September 1965. Namun DN Aidit menolak Hatta dijadikan sasaran pembunuhan. Mungkin Aidit sungkan pada Hatta, walaupun Aidit pernah mendakwa habis-habisan Hatta pada pengadilan kasus Madiun tahun 1955. Hatta tetap dipandang sebagai guru politiknya, karena Hatta sering mengajar anak-anak muda pergerakan pada Markas Pemuda Menteng 61.

Setelah PKI dihancurkan oleh Orde Baru dan Bung Karno digerogoti karir politiknya pelan-pelan. Hatta sempat dimunculkan sebagai calon kuat Presiden RI, bersama dengan AH Nasution. Tapi Hatta tetap menolak sebelum kasus G 30 S jelas, ia bahkan menantang Junta Militer Orde Baru untuk membawa Sukarno ke pengadilan agar peristiwa ini jelas dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Mental Hatta adalah mental khas didikan Belanda, yang menempatkan hukum diatas segalanya. Bersama Deliar Noer Hatta ingin mendirikan PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia) tapi ijin pendirian ditolak Orde Baru. Ketika kekuasaan Suharto mulai mapan setelah peristiwa Malari 1974 menyusul ditangkapinya tokoh-tokoh PSI dan aktivis mahasiswa, muncul kasus aneh Sawito Kartowibowo, eks pegawai Departemen Pertanian yang mengeluarkan dokumen ‘Menuju Keselamatan’ dimana dia mendapat wangsit membenahi Indonesia. Dalam dokumen itu Sawito mengkritik habis-habisan Suharto dan keluarganya, kritik itu disetujui oleh banyak tokoh nasional termasuk Hatta dan Hamka yang menandatangani persetujuannya terhadap isi dokumen itu. Dalam dokumen itu juga Sawito menunjuk Hatta sebagai tokoh yang harus menggantikan Suharto sebagai Presiden RI demi keselamatan bangsa Indonesia. Suharto marah bukan main, kasus Sawito dihantam habis-habisan, tapi kemujuran Hatta terhadap bencana politik lagi-lagi terjadi, Suharto tidak berani menyentuh Hatta. Tahun 1980 Hatta meninggal dan Iwan Fals menciptakan lagu yang sampai saat ini masih banyak dihapal oleh generasi muda Indonesia, lagu itu berjudul ‘Hatta’. Bait dalam lagu itu yang menakutkan rezim Suharto adalah : “Terbayang nama seorang sahabat yang tak pernah lepas dari namamu” nama yang dimaksud itu adalah : Sukarno.

Sukarno juga yang menjodohkan Hatta dengan Rachmi Hatta, Hatta bersumpah menolak menikah sebelum Indonesia merdeka. Sumpah ini merupakan reaksi terhadap November Belofte 1918, dimana pemerintah Hindia Belanda menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada tahun itu. Pernikahan Hatta sekaligus legitimasi pribadinya terhadap Proklamasi 1945. Beda dengan Sjahrir dan Tan Malaka yang masih ragu pada proklamasi 1945 sebelum melihat dukungan rakyat.

Banyak orang mengenang Hatta sebagai pribadi yang disiplin waktu, gila buku, memiliki humor kering bahkan Bung Karno pernah mengejek Hatta sebagai pribadi yang membosankan, bukan seperti dirinya yang womanizer dan gampang buat suasana meriah. Tapi dari semua yang dikenang akan pribadi Hatta adalah kesederhanaan, baik kesederhanaan hidup maupun kesederhanaan hati. Anaknya Meutia Hatta baru tahu bahwa Bapaknya pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI, setelah ia diajari sejarah Indonesia di sekolah waktu SD. Sepulang dari sekolah dia bertanya “ Papa, dulu pernah jadi wapres RI, ya? Saya tahu dari guru sekolah” hal ini bisa digambarkan betapa tidak melebih-lebihkan Hatta pada peran sejarah, sampai anaknya sendiri tidak pernah tahu apa yang dilakukannya untuk negara. Hatta dikenal tokoh yang anti korupsi, dia pernah ditugasi oleh Suharto memberantas Korupsi lewat komisi GAK (Gerakan Anti Korupsi) –macam KPK jaman sekarang - saking bersihnya dan hati-hati dalam mencari harta, ia menjadi sangat miskin secara keuangan. Bayar listrik saja sudah berat, uangnya hanya dari uang pensiun Wapres yang nilainya nggak seberapa. Mendengar Hatta kesulitan bayar uang listrik dan air, Ali Sadikin gubernur Jakarta pada waktu itu membebaskan Hatta untuk membayar listrik dan air PAM. Keinginan Hatta yang tidak keturutan saat usia senjanya ialah membeli sepatu Bally dari kulit hitam.

Hatta tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata. Karena disitu ada koruptor Pertamina baru saja dimakamkan Haji Taher- yang harta korupnya jadi rebutan antara pemerintah RI dengan keluarganya, pemerintah RI diwakili LB Moerdani -, dan menurut Hatta banyak koruptor lain dimakamkan disana, ia tidak mau bergabung bersama Koruptor. Hatta ingin dimakamkan dekat dengan rakyat di Tanah Kusir, Jakarta. Kota dimana ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

ANTON

PS. Untuk Yusuf Kunto dan Suroto saya tidak punya referensinya.....

Perintah Bung Karno : Ganjang Malajsia


"Engkau Mau Apa?...Konfrontasi Ekonomi!, Kita djawab Dengan Konfrontasi
Ekonomi!.... Konfrontasi Politik?....Kita Djawab dengan Konfrontasi olitik!!!!...Konfrontasi
Politik!!!!...Mau Konfrontasi Militer....Kita Djawab dengan Konfrontasi Militer!!!!
IKI DADAKU....ENDI DADAMU!!!!!!!!!!!! (Sukarno dalam pidato Ganjang Malajsia)


Mengenang Politik Ganyang Malaysia
Oleh : Anton

Kita tidak gentar! Kalau; mereka serang kita, sekaligus kita hancur leburkan Singapura. Ya, memang karena Singapura adalah pokok, mile stone di dalam life line of imperialism.
(Letnan Jenderal Ahmad Yani mengenai ancaman Nekolim)
Salah satu lagu yang pernah mewarnai jalan-jalan di Indonesia pada pertengahan tahun 60-an adalah lagu Ganyang Malaysia “Yok,..Kita Ganyang Tengku Abdul Rahman, Perutnya gendut kayak tempayan..” orang banyak mengira politik Ganyang Malaysia sebagai politik alih perhatian Bung Karno terhadap kondisi ekonomi yang carut marut, tapi sesungguhnya apa yang dicanangkan Bung Karno untuk menggagalkan proyek Neo Kolonialisme Federasi Malaysia merupakan buah dari pemikiran yang kritis terhadap perkembangan korektif Kapitalisme dan Imperialisme gaya baru.

Proyek pembentukan Federasi Malaysia dengan mencaplok Kalimantan Utara dan Singapura oleh Inggris melalui tangan Kuala Lumpur merupakan garis politik baru negara kolonialis itu membentuk jaringan imperialismenya seperti yang dilakukan di Timur Tengah atas pembentukan Irak, membantu penegakan rezim dinasti Saud di jazirah Arab dan membangun komunitas Israel di tengah-tengah bangsa Arab. Di Asia Tenggara Inggris membangun kantung-kantung koloninya guna mencegah meluasnya pengaruh paham kemerdekaan politik dan sosialisme dari Indonesia, Vietnam dan Burma. Proyek ini dibantu Amerika Serikat sebagai kelanjutan untuk mengcontain Indonesia. Tujuan utama dari politik Neo Kolonialisme dan Imperialisme adalah membuat agar negara-negara yang baru saja merdeka secara politik tetap memiliki ketergantungan ekonomi terhadap mereka, sehingga Kapital bisa terus terakumulasi.
Bung Karno adalah bahaya besar bagi Amerika-Inggris di tahun 1960-an, bahkan jauh lebih besar daripada Uni Soviet dan Cina, kenapa sebabnya?. Karena paham politik Bung Karno yang berusaha memutuskan secara total ketergantungan Indonesia terhadap negara-negara kapitalisme, Bung Karno tidak mau menjual konsesi-konsesi sumber daya alam Indonesia karena itu sama saja dengan kolonialisme, konsesi harus disetujui apabila Indonesia mengambil manfaat dalam jumlah yang mayoritas. Itulah kesadaran negosiasi bangsa yang bermartabat.

Bagi barat Bung Karno adalah hantu yang menyebalkan mereka menyebarkan propaganda Bung Karno sebagai Hitler baru, Hantu bordil segala benua –bahkan ada film porno yang menggunakan aktor mirip Bung Karno berkencan dengan seorang gadis – Secara terus menerus karakter Bung Karno dihancurkan oleh media massa di Amerika sehingga mempengaruhi opini masyarakat Indonesia yang mendapat didikan Amerika untuk nentang Bung Karno, Amerika membangun propaganda seolah-olah Indonesia dikuasai diktator jahat dan mereka terpengaruh. Mereka lupa mayoritas bangsa Indonesia mencintai Bung Karno.
Hal terpenting dalam dunia kapitalisme adalah masalah kapital, titik! Kaum kapitalis bisa menemani siapa saja asal kepentingan kapitalnya jangan diganggu. Saat itu Amerika akrab dengan Moskow karena politik pasca Stalin yang mengedepankan Co-existence –kalau istilah Bung Karno “Lu ada, gua ada” Moskow mengakui keberadaan Amerika Serikat dan siap bekerja sama. Sementara Peking masih menolak adanya politik Co-existence itu. Bung Karno yang tahu pahitnya sebagai orang jajahan, sebagai orang yang dihina “bahkan bayi-bayi Belanda-pun sudah diajarkan meludah kepada kaum pribumi” begitu kata Bung Karno jadi dia tidak akan mau tanah air yang sudah direbut dengan pertarungan senjata, konflik politik yang rumit, kecerdikan politik diplomasi dan diatas segalanya, keberanian rakyat Indonesia diserahkan begitu saja kepada Amerika-Inggris dalam garis baru politik Neo Imperialisme.
Bung Karno paham benar bahwa Imperialisme –yang merupakan fase terakhir dari Kapitalisme- akan selalu melakukan koreksi-koreksi internal, awalnya Kapitalisme mengkoreksi kekejaman-kekejaman kapitalis di negara asalnya dengan mengekspor kekejaman itu ke wilayah-wilayah jajahan. Kemudian setelah wilayah jajahan insyaf akan ketertindasan, Kapitalisme itu kemudian mengkoreksi dirinya lagi dengan merubah menjadi perusahaan-perusahaan multinasional. Sadar akan mulai membesarnya imperialisme jenis baru ini Bung Karno berniat mengambil alih perusahaan-perusahaan besar asing di Indonesia macam : Stanvac, Caltex, Union Carbide, Good Year dll. Bung Karno yang pemikirannya jauh ke depan melampaui jamannya sudah mengindikasikan bahwa bentuk penjajahan masa depan bukan lagi masalah perluasan wilayah lantas menerapkan kapitalis vulgar, tapi kolonialisme bentuk baru yang senjatanya adalah modal. Modal/Kapital yang oleh kaum liberalis didengung-dengungkan tidak memiliki batas-batas negara adalah kebohongan yang dipropagandakan oleh mereka, nyatanya manfaat kapital itu hanya bersarang pada segelintir kelompok yang dekat dengan penguasa, orang yang berada di dalam sistem kekuasaan yang didukung Amerika-Inggris yang kemudian mewariskan utang yang besar kepada bangsa yang digoblokin itu. (untuk kasus Indonesia, ketika Bung Karno jatuh utang negara kita tidak sampai 100 juta dollar US, tapi saat Pak Harto lengser harta kekayaan Suharto saja yang dilansir majalah Time 80 milyar dollar, dengan utang bangsa ini berkali lipat lebih besar)

Politik Neo Kolonialisme dan Imperialisme adalah politik yang menciptakan ketergantungan untuk melestarikan pangsa pasar produk-produk kapitalis, ketergantungan itu dikreasikan lewat godaan-godaan kapitalis seperti : uang yang didapat secara instan, barang-barang mewah yang tidak perlu dan gaya hidup modern tapi hedonis tanpa tahu memproduksi dan menciptakan nilai tambah. Ini sama saja dengan menciptakan kondisi agar seorang kuli tetap menjadi kuli. Kuli-kuli kontrak Deli terus memperpanjang kontrak kerjanya sebagai budak dengan diiming-imingi judi, pelacur dan minuman keras bahkan candu/opium dengan harga diatas upah mereka akhirnya mereka yang tergoda mengutang pada onderneming sehingga dia tidak bisa menabung upah kuli, tidak mampu melepaskan diri dari kerja budak dan terjerat hutang. Bung Karno paham benar bahwa negara yang ia merdekakan harus sepenuhnya bisa melakukan proses produksinya sendiri, merdeka secara ekonomi, merdeka secara pikiran dan merdeka budayanya inilah yang disebutnya sebagai Berdikari dalam Trisakti : Berdikari dalam Politik, Berdikari dalam ekonomi dan Berkepribadian Indonesia. Ketiga prinsip karakter manusia Indonesia ini yang akan berguna untuk menghadapi gempuran pengaruh candu kapitalis dan kuat hidup menderita kalau perlu makan batu demi masa depan Indonesia yang lebih gemilang (tapi mahasiswa-mahasiswi 66 yang terpengaruh CIA itu malah bawa-bawa wajan dan menaruh batu-batu lalu seakan-akan memasak batu untuk mengejek ungkapan Bung Karno, buktinya setelah tiga puluh tahun mereka menjadi bagian dari sistem korup di Indonesia yang tidak peduli dengan rakyat, sedikit dari mereka yang waras dan konsisten terhadap nilai-nilai moral yang diyakini malah diinjak-injak kemanusiaannya seperti :Arif Budiman)

Indonesia pada dasarnya tidak mau ikut campur dengan rencana pencaplokan Kalimantan Utara oleh Kuala Lumpur. Wilayah Sabah dan Sarawak yang sesungguhnya merupakan wilayah kekuasaan kesultanan Sulu (Filipina Selatan), Presiden Macapagal-lah yang protes terhadap pencaplokan Sabah dan Sarawak yang sebelumnya disewa Inggris dari Sultan Jamal Alam dari Sulu. Setelah masa sewa habis, eh tahu-tahu Menhan Najib Tun Rajak koar-koar akan berperang untuk mendapatkan hak atas Sabah dan Sarawak juga mengancam Filipina supaya tidak masuk Kalimantan Utara.

Kelakuan Inggris lewat boneka-boneka politiknya di Kalimantan Utara memang mirip kelakuan Amerika terhadap Hamas saat ini, lewat pemilu yang demokratis Hamas menang tapi malah diisolir tidak dihadapi secara jantan. Begitu juga dengan Partai Rakyat Brunai yang dipimpin Kapten Azhari (Azhari ini pernah berjuang dalam revolusi kemerdekaan di Indonesia jadi dia tahu benar semangat kemerdekaan). PRB menang 54 kursi dari 55 kursi Pemilu distrik di Kalimantan Utara pada Pemilu Agustus 1962. Tapi pemerintah Kuala Lumpur yang dihasut Inggris tidak mau mengakui dan mencap Azhari sebagai pemberontak juga antek-anteknya Sukarno. Padahal Azhari sama sekali nggak berhubungan dengan Indonesia, dia selalu kontak dengan Wapres Filipina Imannuel Palaez. Si Tunku Abdurahman itu malah nunjuk-nunjuk Indonesia sebagai biang keladi kasus Azhari, terang saja Indonesia nolak tuduhan Tunku karena merasa tidak tahu apa-apa. Ketua Umum PNI, Ali Sastro yang juga pernah jadi Perdana

Menteri di era KTT Asia Afrika, Bandung 1955 angkat bicara bahwa Indonesia tidak tahu menahu tentang kasus di Kalimantan Utara tapi jikalau perjuangan itu merupakan perlawanan terhadap Imperialisme maka Indonesia akan mendukung. Tunku malah balik membentak pernyataan Ali Sastro “Jangan campuri urusan Kalimantan Utara!”

Bung Karno yang sudah nggak nahan lihat kelakuan tengil negara kecil yang nggak berani perang buat kemerdekaannya sendiri menjawab ancaman Tunku di depan Konferensi Pers Wartawan Asia Afrika di Jakarta pada April 1963 : “Perjuangan rakyat Serawak, Brunai dan Sabah, adalah bagian dari perjuangan negara-negara ‘the new emerging forces’ yang membenci penghisapan manusia oleh manusia”. Pernyataan Bung Karno ini bikin gemeter orang-orang Malaya yang jadi boneka Inggris itu, maklum dengan Belanda yang senjatanya modern dan didukung Amerika Serikat saja berani ngelabrak ke Irian Barat, ini dengan negara kecil yang nggak pernah perang petentang petenteng.

Jepang yang tahu benar kehebatan militer Indonesia dan kenekatan orang Indonesia kalau bertempur (maklum tentara mereka yang ndidik ilmu militer orang Indonesia) berusaha bikin adem suasana, mereka menganjurkan diadakan perundingan empat mata antara Sukarno dan Tunku di Tokyo 31 Mei – 11 Juni 1963. Pertemuan Tokyo itu juga dilanjutkan dengan konferensi tribangsa Malaysia-Phillipina-Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah Maphillindo. Gagasan Maphillindo dari Macapagal ini ditentang oleh Inggris dan Amerika mereka takut Maphillindo akan jadi sebuah pakta pertahanan anti barat. Awalnya diadakan pertemuan setingkat menlu, kemudian diputuskan untuk mengadakan pertemuan antara Sukarno-Tunku Abdulrahman-Macapagal di Manila yang berakhir Agustus 1963, pertemuan ini hanya mengesahkan pertemuan tingkat luar negeri saja. Bung Karno dan Macapagal yang punya darah pejuang anti kolonialis dalam pertemuan itu, bertemu empat mata tanpa melibatkan Tunku yang boneka politik Inggris. Bung Karno dan Macapagal dalam pembicaraan itu sepakat untuk mengeluarkan doktrin yang dikenal Doktrin Sukarno-Macapagal : “Urusan Bangsa Asia diselesaikan oleh Bangsa Asia sendiri”.

Lahirnya doktrin itu langsung bikin gempar London, karena pada saat itu mereka sedang merancang Federasi Malaysia yang akan mencaplok Kalimantan Utara yang tujuan utamanya untuk mengcontain Indonesia. Merasa didahului Sukarno-Macapagal para agen intel Inggris dan spion Melayu bikin rumor akan membentuk Federasi Malaysia selambat-lambatnya 31 Agustus 1963. Hal ini berarti menafikan usul Sukarno agar bentukan Federasi harus memperhatikan suara rakyat lewat referendum atau Hak Penentuan nasib sendiri yang jadi wasitnya Sekjen PBB, U Thant. Cuek bebek saja dengan protes Indonesia, London memutuskan menambah pasukan di Malaysia sekitar 50.000 pasukan seakan-akan ini digunakan untuk bersiap dalam politik konfrontasi dengan Indonesia. Untuk membentuk Federasi Malaysia ini London bujukin Amerika agar masuk ke Asia Tenggara sekaligus mendorong agar Pakta ANZUS (Australia, New Zealand, United States) memback-up kemungkinan perang Inggris-Indonesia di Kalimantan Utara.

Bung Karno kesal bukan main dengan kelakuan Inggris ini. Pembentukan Federasi Malaysia dirasakannya sebagai sebuah Prolog dari rencana besar menguasai Asia Tenggara supaya jatuh lagi ke tangan Inggris dan Amerika (setelah Perancis dan Belanda minggat dihajar keberanian rakyat Vietnam dan Indonesia), kalau ini berhasil Inggris akan untung besar karena ia akan mendapat warisan dari Belanda tanpa perlu bikin traktat-traktat seperti jaman Raffles, tapi cukup gertak dan ngibulin pemimpin Indonesia. Sementara Vietnam yang hak milik Perancis, sudah dikapling Amerika. Untuk nguasain Indonesia, Inggris minta bantuan sepupunya Amerika buat gebukin Sukarno sampai berdarah-darah kalau perlu sampai mati. Tadinya Amerika mau hantam langsung saja Indonesia pakai Armada ke VII yang sudah muter-muter di sekitar Indonesia, tapi Inggris yang otaknya lebih dingin dan jago bikin dokumen bodong macam James Bond ngajak CIA dan jaringan cecunguk-cecunguk orang Indonesia yang anti Sukarno bikin pancingan agar PKI dan Angkatan Darat masuk perangkap yang tujuan utamanya bikin mampus Bung Karno. Mereka sadar kaki-kaki politik Bung Karno ada di dua kelompok ini. Kalau kedua kaki ini diamputasi maka Bung Karno nggak akan bisa bertarung lawan Inggris di Kalimantan Utara, kalau perlu setelah itu Indonesia dipecah-pecah. Kebetulan pemimpin kedua kelompok ini juga lagi berseteru akibat isu Angkatan Ke V. Bung Karno sendiri yang mencetuskan ide Angkatan Ke V yang akan digunakan sebagai barisan bersenjata perlawanan rakyat semesta. Kalau Angkatan Ke V bisa dibentuk maka Indonesia akan mempunyai kekuatan militer yang nyaris menyamai kekuatan militer RRC. Angkatan ke V juga bisa merupakan perwujudan dari UUD 1945 pasal 30 tentang Bela Negara. Karena Indonesia memang sudah dalam ancaman fisik dari Inggris yang menempatkan banyak pasukannya di front terdepan Kalimantan Utara. Tapi untuk melakukan mobilisasi pasukan Angkatan Ke V hanya PKI-lah yang paling siap, soalnya cuman dia sendiri partai yang belum bubar selain PNI dan NU. PNI sendiri sudah lemah luar dalam dalam pencatatan ulang pada Kongres Purwekerto 1963 kader PNI hanya sekitar 1 juta orang, ini bukan mencerminkan partai yang besar lagi.

Kalau kader-kader PKI masuk Angkatan Ke V, ini berarti satu-kosong buat PKI dalam persaingannya dengan Angkatan Darat, karena satu-satunya yang tidak dimiliki PKI dalam perseteruannya itu hanyalah Pasukan Bersenjata. Angkatan Ke V juga dicurigai sebagai langkah awal pembentukan tentara merah di Indonesia. Kecurigaan ini terus dihembus-hembuskan pihak yang berkepentingan merusak persatuan bangsa Indonesia dibawah Bung Karno.

Tapi harus diakui bahwa Inggris memang lebih hebat daripada kita dalam perseteruan Kalimantan Utara. Bekerjasama dengan CIA, mereka berhasil menghancurkan dua kekuatan pendukung Bung Karno sekaligus –Angkatan Darat dan PKI – dalam sebuah peristiwa aneh Gerakan Untung 30 September 1965. Loyalis Bung Karno, Jenderal Ahmad Yani dibunuh dalam gerakan itu, juga hampir seluruh Staff penting Yani yang tergabung dalam SUAD. DN Aidit, tokoh politik kunci PKI yang juga pendukung berat Bung Karno tewas ditembak tentara dalam kemelut itu beberapa bulan kemudian tanpa proses pengadilan, 2-3 juta manusia Indonesia dibantai dalam histeria massa menyusul peristiwa penculikan enam Jenderal. Belakangan keterlibatan Inggris dan CIA ini disebut oleh Bung Karno dalam pidato Nawaksara tahun 1967 mengenai peristiwa Gestok, kata Bung Karno, peristiwa Gestok disebabkan oleh :

1. Keblingernya Pemimpin-Pemimpin PKI
2. Lihainya CIA dan agen-agen asing
3. Adanya oknum-oknum yang tidak benar

Setelah peristiwa aneh misterius itu ditengah kekacauan politik Bung Karno masih sempat memberi tugas Dubes Keliling Ny. Supeni untuk meminta agar Macapagal menunda pengakuan Federasi Malaysia pada bulan Februari 1966, sembari menunggu keputusan konferensi Maphillindo yang gunanya juga mengakhiri politik Konfrontasi. Tapi nasib berkata lain, Bung Karno keburu dijegal Supersemar sialan itu. SP 11 Maret 1966 hanya surat penugasan keamanan, ternyata sudah dipelintir jadi Surat pelimpahan kekuasaan yang ujung-ujungnya Pencopotan Presiden Sukarno oleh MPRS.

Setelah Bung Karno jatuh, maka berkuasalah Orde Baru yang dengan mudah menjual kekayaan alam kita. Atas nama ekonomi pasar semua negara-negara kapitalis besar bancakan disini. Amerika lewat pemberian hutangnya terus menjerat Indonesia dengan proyek-proyek yang nilainya seribu kali lipat kebutuhan sebenarnya (Baca John Perkins) sehingga kita terus-terusan bergantung dengan IMF. Kemilau nafsu kebendaan telah melupakan hakikat kenapa kita dulu bertarung nyawa untuk merdeka?. Tanpa lagi ada malu di wajah-wajah para maling itu yang pakai baju safari mereka mengajari rakyat bagaimana cara mencuri. Jadilah Indonesia bukan lagi bangsa yang besar dan bermartabat seperti jaman Bung Karno. Ketika saya melihat wajah Donald Luther Colopita berdarah-darah, samar-samar saya teringat wajah Bung Karno, bagaimana kecewanya dia lihat anak bangsanya sendiri digebukin di negara kecil yang nggak pernah perang buat ngerebut kemerdekaannya sendiri, setelah itu mereka tidak mau minta maaf dan bersikap arogan dengan mengatakan akan melihat proses hukum, kayak Malaysia tahu aja proses hukum yang benar!, Waperdam-nya sendiri Anwar Ibrahim saja dipecundangi di depan hukum Malaysia itu demi kekuasaan picik. Bung Karno benar, bahwa penjajahan dalam bentuk baru akan berubah wujud. Kita bukan lagi bangsa yang berani, tapi bangsa pengecut.

Memaklumi tiadanya pernyataan maaf dari Malaysia pun pake bawa-bawa alasan ‘kepribadian masing-masing’ – sembari menonjolkan diri kalo gara-gara asap Presiden kita yang plin-plan itu mau minta maaf – Dia ngomong tanpa melakukan move politik agar kita ada harga dirinya padahal jelas warga negara kita sudah dihina dan kelakuan Malaysia mencitrakan orang Indonesia sudah keterlaluan, sebenarnya rakyat menunggu ucapan Presiden kita untuk membangkitkan kesadaran harga diri, banyaklah cerita orang kita disana tentang bagaimana keterlaluannya mereka. Tanpa orang-orang Indonesia, tidak ada itu Petronas...susunan batu pondasi Petronas dibangun lewat keringat orang-orang Indonesia yang jadi kuli bangunan disana, tapi setelah orang kita ditendang-tendang. Malah ada iklan kunci rumah yang tagline-nya “Awas sudah banyak orang Indon” apa ini tidak keterlaluan.....

ANTON

Tentang Kartini



TENTANG KARTINI

OLEH : ANTON


Kartini, Ibu Kita Kartini bagi mata kecil saya di tahun 1980 tak lebih seperti guru tua yang mengenakan kebaya dan wajah setengah kesepian. Tahun-tahun itu saya melihat sosok Hari Kartini sebagai gadis-gadis cilik berkebaya, lelaki kecil mengenakan blangkon dan beskap sembari bibirnya diberi arang kumis-kumisan yang melintang bagai Pak Raden Suryomentolo Singomenggolo Jalmowono, alias Pak Raden yang jago sakit encok di film Unyil itu. Saya sendiri mengenang hari Kartini dengan perasaan tidak suka, karena saya tidak punya pakaian adat, - entahlah saya lupa, apa karena orang tua saya pelit atau lagi tidak punya uang untuk membelikan pakaian adat anak-anak, yang jelas saya ke sekolah pada waktu itu tidak mengenakan beskap dan blangkon tapi malah baju kurung Batman – kontan saja ibu guru yang tidak suka dengan pesta topeng gaya Kartini saya, mencak-mencak dan menyuruh saya mengganti pakaian, kakek saya yang mengantarkan saya ke sekolah mendiamkan saya supaya. jangan menangis dan menggantikan saya pakaian batik dengan latar belakang hitam, “sudah cukup ganteng” saya inget kata-kata itu, pakaian batik di hari Kartini dan ucapan pujian yang mungkin saja separuh bohong. Pada perjalanan pulang dari sekolah TK dan perayaan Kartini yang menyebalkan, kakek saya malah tidak bercerita tentang sosok Kartini dia malah ndongengi saya tentang kakaknya Kartini, Raden Sosrokartono otak saya yang belum nyampe tentu saja hanya mengangguk-angguk senang mendengar kakek saya bercerita tentang Ndoro Sasrokartono yang sakti mandraguna dan bilang kenapa bukan Sosrokartono yang pahlawan? Tapi ibu Kartini...?

Kartini, Raden Ajeng anak Sosrodiningrat, Bupati Jepara kelahiran Mayong. Sebuah kota kecil di dekat laut, yang oleh tulisan-tulisan Pram kerap digambarkan sebagai tanah jajahan para Priayi dan sumber ketakutan-ketakutan Irrasional antara kekuatan feodal, irrasionalisasi agama dan eksploitasi ekonomi kolonial. Kartini kecil mampu mengucapkan een, tweede, drie atau menyanyikan lagu Wilhelmus dan membaca buku anak-anak Piem en Mien atau Ot en Sien....Sosrodiningrat tidak seperti bupati-bupati Jawa lainnya yang sibuk menindas rakyat seperti kelakuan Bupati Banten di era Multatuli, ia malah sibuk memperkenalkan alam pikiran barat pada anak-anaknya. Kartini dan adiknya Kardinah malah dikenalkan dengan sistem pendidikan modern, saat itu Van Deventer belum teriak-teriak di parlemen tentang politik etis, sementara kaum liberal masih sibuk menghadang kekuatan Marxis di parlemen Belanda, Kartini sudah mampu menembus alam pikiran barat sebagai wanita yang protes, jelas ia tidak mengenal Jane Adams yang menentang peminggiran wanita dalam khasanah sosial dan wacana sosiologi yang digerakkan oleh laki-laki termasuk gaya pikir Weberian, alam pikir Kartini bergerak lamban dan kemudian menembus hanya sampai pada pertanyaan-pertanyaan kenapa saya tidak seperti mereka? Kenapa kami harus berbeda dengan laki-laki? Kenapa mereka menjadikan kami hanya sebagai tempat penantian dan kemudian mencari tempat penantian lainnya, dengan alasan poligami diperbolehkan.

Kartini, bukanlah pejuang yang bertindak. Apa yang dilakukannya hanya sekedar hobinya mengajar, apa yang dituliskannya pada surat-surat kepada suami isteri Abendanoon dan kawan sebayanya Nona Zeehandelaar selintas hanya menguatkan identitas wanita borjuisnya yang mengerang-erang ingin disamakan kelasnya dengan intelektualitas laki-laki borjuis lainnya. Protes Kartini tak lebih dari teriakan garang wanita priayi yang menuntut kepriayiannya, hanya wacana priyayi berubah tidak pada kekuasaan tapi pada derajat pengakuan intelektualitas. Dan memang sekolah formal Kartini berhenti pada tingkat sekolah dasar sementara kakaknya Sosrokartono terus melaju pendidikannya dan menjadi Profesor sastra pertama di dunia yang berasal dari Jawa.

Sosrokartono, adalah kakak Kartini lain ibu. Kartini sendiri merupakan anak kesayangan Sosrodiningrat tapi bukan dari isteri Garwo Padmi (Isteri Utama), ia hanya anak seorang Garwo Ampilan (Isteri Selir) ibu Kartini bernama Ngasirah anak rakyat biasa, ayah Ngasirah, Kyai Modirono dan ibunya Hajjah Siti Aminah adalah rakyat jelata jauh dari gengsi priyayi yang dengan kerja kerasnya mampu menjadi pedagang lumayan kaya dan mempersembahkan puteri mereka pada Bupati Jepara Kanjeng Raden Mas Tumenggung Sosrodiningrat. Dan ketika Ngasirah melahirkan anak-anaknya, ia tidak boleh menyentuh anak kandungnya, ia harus menyembah anaknya sendiri, karena dalam pikiran jeruji penjara Jawa, Anak Ngasirah telah suci dari dosa kemiskinan rakyat jelata dan terlahir sebagai ningrat. Kartini kecil yang disembah-sembah ibunya sendiri jelas mempertanyakan kenapa ibu harus menyembah saya, kenapa mereka tidak sama dengan saya, dan dia bertanya lebih dalam kenapa agama tidak mampu menghancurkan hal-hal busuk ini. Kartini kemudian mengambil sintesanya, bahwa pendidikan-lah yang akan mencerahkan wanita.

Kartini kemudian bersedia dimadu oleh Bupati Rembang, Raden Mas Adipati Ario Joyohadiningrat yang tambun dan berkumis lantang. Ndoro Joyo memiliki anak dari Kartini yang bernama Susalit, pada kelahiran Susalit di Rembang 17 September 1904, Kartini meninggal, seorang pahlawan wanita yang akhirnya mati oleh kodrat paling hakiki wanita...melahirkan anak. Di kemudian hari Susalit ini menjadi Jenderal TKR dan TNI lalu sempat bikin repot Bung Karno karena diciduk oleh pasukan Pro Pemerintah, dan ditengarai terlibat dalam penentangan politik resmi pemerintah. Tapi mengingat Susalit adalah anak Kartini, Sukarno meminta Susalit dibebaskan.

Kartini sempat menceritakan dalam suratnya pada Miss Zeehandelaar seorang anak bernama Salim, yang begitu cerdas tapi tidak dibiayai pendidikannya. Salim ini hanya belajar sendiri lantas ketika ada uluran beasiswa ke Belanda, Salim serta merta menolak. Salim malah berangkat ke Jeddah. Kelak dikemudian hari Indonesia mengenal Salim ini sebagai Agus Salim, pahlawan nasional yang cerdas dan tidak mau menyekolahkan semua anaknya disekolah resmi. Ia mengajari sendiri anak-anaknya seperti Jojet atau Islam Salim tentang bahasa Belanda, Ilmu Ukur, Aljabar dan semua alam pikiran barat. Anak-anak Salim jelas memiliki kemampuan diatas rata-rata. Perlawanan Salim ini sesungguhnya ditujulkan pada formalitas ilmu pengetahuan dan mitologis pengetahuan yang pada substansinya terletak pada gerak pikir rasional, tapi oleh Belanda ilmu pengetahuan dan gelar-gelar barat malah mendorong terciptanya kelas-kelas baru di masyarakat dan memuakkan.Dan Kartini mengenalkan Salim pada dunia....
Kartini, bukanlah pahlawan yang bertindak. Bila pujian kita ditujukan pada beliau tentang jasa sekolah wanita. Maka lebih layak ini dilampirkan pada Hajjah Rangkayo Rasuna Said atau HR Rasuna Said yang mungkin sebagian dari kita mengenal HR Rasuna Said sebagai bujur jalan yang terletak di Kuningan, Jakarta Selatan. HR Rasuna Said bahkan dipenjara karena aktivitas untuk mengajarnya.

Atau mungkin saja kita menoleh pada wanita-wanita yang dipinggirkan dalam arti sebenarnya. Dipinggirkan bukan hanya pada gerak pribadi, sosial atau aktivitas lahiriahnya. Tapi benar-benar ditendang keluar dalam pikiran-pikiran kita. Gerwani, masih ingatkah anda?. Gerakan wanita komunis yang dulu terkenal paling berani menentang ketidakberesan pemerintahan Sukarno, malah dipinggirkan dalam-dalam pada konteks ingatan kita, dan disederhanakan pada sosok Djamilah. Pelacur jalanan yang direkayasa berpesta ‘harum bunga’ ditengah pembantaian para Jenderal dan dibunyi-bunyikan oleh media massa pro Suharto dengan mengatakan bahwa Djamilah dan Para Gerwani melakukan orgy atau pesta seks ditengah ladang pembunuhan. Dan berita itu menjadi sangar lantas mendorong pembunuhan-pembunuhan bukan saja pembantaian fisik tapi juga karakter yang labur sehitam-hitamnya pada sebagian wanita Indonesia, bukankah ini sama saja dengan cerita seorang ibu yang dijebloskan pada kamp kerja paksa dengan mengangkat kotoran-kotoran manusia, dipisahkan dari anak-anaknya dan anak-anaknya dihinakan oleh Bapaknya sendiri, karena ia bukanlah keturunan bersih yang percaya komunisme, Ibu muda dipaksa memprotes kelemahan rezim Mao pada peristiwa korektif Mao dan terjebak pada revolusi kebudayaan...Intinya kekuasaan otoriter atas nama Kiri atau Kanan adalah menghinakan kemanusiaan dan dalam proses penghinaan kemanusiaan kaum wanitalah yang paling menderita....semenderita wanita yang dipaksa menjadi pelacur pada jaman Jepang.

Apakah kaum Kartiniisme bisa melihat sosok wanita dari sisi lain, kecuali keanggunan wanita priyayi Jawa yang berjalannya lenggak lenggok seperti macan lapar? Dan seperti kekecewaan saya di jaman TK. Peringatan hari Kartini tidak lebih pada perayaan kebangsaan dan nasionalisme ala Sukarno untuk menciptakan imej kebangkitan wanita Indonesia. Padahal yang dikenalkan Kartini pada kita hanyalah kekaguman pada pendidikan barat, kekaguman Kartini pada alam pikiran barat yang dianggapnya maju. Terus terang kemajuan dan pembebasan wanita Indonesia, saya punya tokohnya sendiri. Nyai Ontosoroh, Inggit Garnasih atau seorang ibu yang dihinakan karena berdiri di tengah malam dan ditangkap atas nama Perda Pelacuran.

ANTON

Benang Merah Garis Politik Sukarno-Suharto


Benang Merah Garis Politik Sukarno-Suharto Dalam Peta Politik Indonesia

Oleh : ANTON


Adalah suatu yang menarik melihat keterkejutan masyarakat yang berkembang tentang koalisi Nasionalis Golkar – PDIP dimana pendapat yang bermunculan menyatakan bahwa koalisi Golkar-PDIP adalah sebuah pengkhianatan yang dilakukan elite politik PDIP terhadap sejarah perjuangan dari kaum yang termarjinalkan dalam iklim penindasan Orde Baru.

Sebuah pendapat yang mungkin benar bila dilihat dari sisi emosional politik tapi mungkin juga tidak benar bila dipandang dari rasionalitas politik dengan mencoba memahami benang merah dari tradisi dan ideologi sebuah partai. Bagaimanapun Golkar adalah pewaris dari sistem otoriter Sukarno yang disempurnakan oleh Suharto dengan mengadopsi nilai-nilai Nasionalisme yang agak chauvinistik. Garis Sukarno dalam menentukan politiknya setelah pembungkaman PSI dan Masyumi di tahun 1960 adalah membentuk sistem Partai Tunggal yang mendukung kekuasaannya, hanya saja fragmentasi politik pada waktu itu masih menyisakan residu maklumat 1945 dimana fragmentasi ideologi sangat luas dan penuh konflik. Sukarno hanya berhasil menyatukan ideologi dan menyelesaikan konflik-konflik paham politik dengan wacana Nasakom serta membentuk Front Nasional dimana warna Komunisme sangat kental dan diiringi lagu Sukarno ‘Revolusi Indonesia adalah Revolusi Kiri’. Warna kiri dalam ajaran-ajaran Revolusi Sukarno sekaligus menasbihkan konsolidasi kekuatan politik yang menihilkan ruang kompromi dan itu disokong oleh kekuatan PKI –yang sejatinya adalah Nasionalis kiri ala Sukarno, PNI (Mesin Birokrasi) dan Militer. Tripancang politik Sukarno ini justru membuahkan konflik antara Militer dengan Sipil dalam hal ini PKI untuk memperebutkan Angkatan Bersenjata.

Setelah gagalnya Gerakan 30 September 1965. Kekuatan figur politik Sukarno berakhir dan dunia internasional dikejutkan dengan munculnya Jenderal Suharto yang dalam waktu tiga bulan pertama berhasil menghancurkan mental Sukarno. Pada tahun 1967 lewat sebuah pertempuran politik gaya Jawa yang tarik ulur barulah jelas siapa pemenang politik yang menjadikan Suharto adalah Presiden Republik Indonesia.

Suharto melakukan inisiasi politiknya sebagai Presiden RI dengan memperbolehkan beberapa Partai terlarang di masa Demokrasi Terpimpin seperti Murba untuk ikut dalam Pemilu tapi juga tetap melarang Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi. Di titik konsistensi pelarangan PSI dan Masyumi inilah Suharto secara sadar membangun politiknya sejalan dengan impian Sukarno yaitu terbentuknya Partai Tunggal pendukung kekuasaan. Jalan Suharto ini tidaklah berbeda dengan jalan yang dibentuk oleh Lenin dalam menguasai Russia dibawah Partai Komunis Uni Sovyet, Adolf Hitler lewat Partai Nasionalis-Sosialis ataupun Mao Tse Tung yang dengan sukses membentuk sistem satu Partai. Pada tahun 1945 menjelang diumumkannya Maklumat 1945 oleh Hatta yang isinya ‘memperbolehkan partai-partai berpolitik kembali dalam payung Republik Indonesia’ yang menentang adalah Sukarno, sejak awal Sukarno menghendaki sistem satu Partai seperti di Jerman, sebagaimana Sukarno sangat mengagumi Hitler dalam membentuk mekanisme politik yang terintegrasi, kuat dan fasistis.

Namun berbeda dengan Lenin, Hitler ataupun Mao. Sukarno memiliki kelemahan paling fatal yaitu gagalnya dukungan Angkatan Bersenjata untuk masuk ke dalam struktur partai atau minimal Jenderal-Jenderalnya melakukan sumpah setia kepada pemimpinnya sebagaimana yang dilakukan oleh Hitler terhadap Angkatan Darat Jerman.

Problematika Angkatan Bersenjata ini menghantui Bung Karno karena dirinya tidak bisa sepenuhnya menguasai militer. Pemenang bagi penguasa Angkatan Bersenjata dari tubuh politisi sipil adalah Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tangan kanan Hatta di tubuh militer adalah AH Nasution yang dicibiri Sukarno sebagai ‘Jenderal Petak (kecil) Kontra Revolusi’ dan untuk melawan Nasution, Sukarno menggunakan Ahmad Yani namun gagal karena tersandung proyek Angkatan Kelima.

Suharto sendiri maju sebagai Jenderal kemudian menjadi Presiden bukan karena merupakan orbitan pemimpin-pemimpin politik sipil. Justru karir Suharto jatuh akibat permainan elite baik dari Sipil maupun Militer. Gagalnya penunjukkan Suharto sebagai Panglima Dwikora dalam rencana penyerbuan operasi militer Malaysia menunjukkan Suharto telah dikebiri oleh kekuatan politik sipil di lingkaran dalam Sukarno. Jauh hari sebelumnya Suharto juga pernah dipermalukan oleh Nasution, Yani dan staff perwira SUAD dalam tuduhan korupsi di lingkungan Divisi Diponegoro. Ini menunjukkan Suharto bukanlah bagian dari rencana ‘pembintangan’ karir menuju kursi Presiden dimana jago-jago yang dielus-elus waktu itu adalah : Jenderal Nasution, Jenderal Ahmad Yani, Subandrio, Chaerul Saleh atau DN Aidit. Suharto jadi bebas dari usaha-usaha dikte yang dilakukan elite sipil maupun militer pasca G 30 S.

Independensi Suharto ini sama dengan Independensi Sukarno dalam identifikasi politik. Sukarno memang anak didik HOS Tjokroaminoto, ketua Sarekat Islam tapi dia berhasil melepaskan cap Islam dalam merk politiknya. Sukarno malah berhasil membangun identifikasi politik yang berkarakter Nasionalisme, dan karakter Nasionalisme ala Sukarno inilah yang memerdekakan Indonesia. Jadi bisa dikatakan Proklamasi 1945 adalah kemenangan paling penting di tubuh kaum Nasionalis terutama sekali Nasionalisme berorientasi Sukarno.

Penentangan dominasi kaum Nasionalis bukannya tidak terjadi sepanjang Revolusi Bersenjata 1945-1949 tapi justru berkali-kali dilakukan penyerangan secara sporadis kekuatan politik Nasionalis baik dari golongan Kanan dalam hal ini kelompok Islam Radikal dan golongan kiri yaitu, Komunisme. Kaum Komunis menjadi lawan kuat identifikasi nasionalisme di Indonesia, kaum komunisme era pasca Proklamasi 1945 adalah sisa-sisa penganut paham Komintern yang dibubarkan untuk mendukung pakta Sekutu melawan Hitler. Setelah kehancuran Jerman dan kesalahan Presiden Franklin Delano Roosevelt untuk menghambat laju Uni Soviet di Timur Eropa maka paham Komintern dihidupkan kembali dan difokuskan pada tiga ring. Ring Pertama pada teater politik Eropa Timur, Ring Kedua di Amerika Latin dan Ring Ketiga di wilayah Asia-Afrika. Tujuan utama geopolitik paham Komintern (Komunisme Internasional) adalah menafikan batas-batas negara, meniadakan Nasionalisme dan membentuk dewan-dewan (Soviet-Soviet) yang merupakan kepanjangan tangan dari diktator proletariat. Ketiga hal inilah yang paling ditentang pemimpin-pemimpin Nasionalis baru dunia ketiga yang walaupun landasan mereka Marxisme namun mereka besar dalam lingkungan Borjuis yang mengakar dalam.

Pada Ring Asia beruntung bagi Amerika Serikat, bahwa Stalin agak kurang memperhatikan perkembangan politik di Asia pada periode 1945-1949 dan ini membuat Presiden AS Harry S Truman mengisi seluruh wilayah Asia dengan sistem Liberalisme yang cenderung Anti Komunis kecuali di Vietnam yang pada waktu itu masih mati-matian bertempur dengan kolonialis Perancis. Keberhasilan paling gemilang bagi Harry S Truman adalah mengamankan posisi Indonesia dari pengaruh kaum komunis dan juga membuat sinergi politik (sesuatu yang banyak gagal pada era Presiden AS sesudah Truman dalam hubungannya dengan Sukarno) yaitu melakukan pakta kerjasama dengan pemerintahan Sukarno-Hatta-Sjahrir dan bersama-sama menghancurkan kekuatan kiri baik ‘Satelit Moskow’ seperti Musso maupun ‘Trotskys Nasionalis’ ala Tan Malaka.

Hancurnya Komunisme di tahun 1948 sekaligus memperburuk citra politik komunis seperti era Hindia Belanda. Merupakan kemenangan besar kedua bagi kaum Nasionalisme setelah Proklamasi 1945, adalah menarik melihat misteri hilangnya Tan Malaka yang nyaris berdekatan waktunya dengan ditembak matinya Musso cs di Boyolali. Padahal Tan Malaka adalah lawan terberat bagi politik Komintern. Sinyalemen ini hanya bisa ditunjukkan dengan bahwa Tan Malaka adalah ancaman terbesar bagi Sukarno.

Fragmentasi politik Indonesia terbesar terjadi pada tahun 1951-1959 setelah bubarnya Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kembali pada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sentralistis. Yang menarik disini peran politisi berbasis Islam di tahun-tahun 1951-1955. Walaupun tuntutan mereka untuk mengubah konstitusi negara Republik Indonesia dengan dasar hukum-hukum Islam namun mereka tetap membingkai dalam bentuk Nasionalisme. Dasar-dasar kebangsaan kelompok Islam ini justru sama kuat dengan kaum Nasionalisme Sekuler yang mendukung Pancasila sebagai landasan bernegara. Kelompok Islam era Demokrasi Liberal terpecah menjadi dua, yang pertama adalah Masyumi, yang banyak didukung politisi Islam luar Jawa dan yang kedua adalah Nadhlatul Ulama (NU) kelompok barisan ulama yang memiliki bukan saja jaringan politik tapi juga jaringan silsilah kyai-kyai besar di Jawa.

Masyumi sebagai kekuatan Islam yang diam-diam juga didukung oleh Muhammadiyah dengan tegas mengkampanyekan konstitusi Islam dalam Rencana Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang baru ditentang kuat oleh Sukarno, dititik inilah baru pertama pertarungan antara Nasionalisme ala Sukarno dilawan dengan politik Islam Moderat yang rata-rata berasal dari luar Jawa dan kurang memahami budaya Jawa dalam interior resmi konstelasi politik formal Indonesia. Nadhlatul Ulama - yang pada awalnya merupakan onderbouw dari Masyumi kemudian pecah setelah perebutan pos Departemen Agama yang secara tradisi dimiliki NU kemudian oleh Masyumi diputuskan diduduki dari Ormas Islam lain - , dengan terang-terangan melawan garis politik Masyumi dan mengikuti Nasionalisme aliran Sukarno. Dan Masyumi menjadi hancur lebur karena dengan sengaja mengundang kekuatan militer AS dalam konflik PRRI/Permesta dimana Soemitro Djojohadikusumo dari PSI juga terlibat. Masuknya AS dalam konflik separatis ini mengundang antipati kekuatan kaum Nasionalis Indonesia. Bahkan sampai era Orde Baru, Suharto sangat membenci Masyumi dan PSI. Puncaknya Suharto memenjarakan tokoh-tokoh PSI yang dianggap terlibat Peristiwa Malari 1974 dan mengisolasi secara politik eks pemimpin Masyumi dari panggung kekuasaan Orde Baru. Peristiwa PRRI/Permesta juga merupakan awal dari terlemparnya kelompok Islam dan kelompok intelektualis berhaluan liberal dalam konstelasi politik Indonesia sampai saat ini.

Masuknya NU sebagai bagian dari aliran Nasionalisme Sukarno membuat Sukarno sadar bahwa ide-nya di masa muda tentang bersatunya tiga aliran politik pokok di Indonesia Nasionalisme – Agama (Islam) dan Komunisme ketiganya disebut dengan akronim Nasakom, harus segera diwujudkan sebelum Indonesia dimakan oleh kekuatan besar politik Internasional.

Sukarno bertambah semangat untuk menyatukan kekuatan besar tiga aliran politik setelah munculnya empat anak muda : DN Aidit, MH Lukman, Nyoto dan Sudisman untuk merevitalisasi Partai Komunis Indonesia yang sebelumnya sudah porak poranda. Kegembiraan Sukarno terpusat pada diputuskannya garis partai dalam kongres PKI ke V (Lima) pada bulan Maret 1954 yang sesungguhnya adalah memutus hubungan peran PKI sebagai agen Soviet dan memasukkan PKI ke dalam lingkaran Revolusi Sukarno (DN Aidit merumuskan ini ke dalam tulisan ‘Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia disingkat MIRI). Strategi partai ini sekaligus mementahkan ‘Resolusi Jalan Baru’ Musso 1948 yang mengandung anasir dimasukkannya Republik Indonesia sebagai bagian dari Revolusi Dunia yang berpusat di Moskow. Lokalitas PKI versi 1954 dengan produknya yang berupa taktik dua tahap dimana tahap pertama adalah revolusi demokratis dan tahap kedua revolusi komunis ternyata sejarah membuktikan PKI versi 1954 hanya mampu bertahan pada Revolusi tahap pertama, Revolusi Demokratis dan hancur berkeping-keping akibat terjebak pada taktik konyol Gerakan 30 September 1965.

Ikutnya PKI versi 1954 ke dalam pusaran Sukarno tak lepas dari keberhasilan Sukarno melakukan kaderisasi politik di era pendudukan Jepang. Dua orang pemimpin utama PKI DN Aidit dan MH Lukman bahkan pernah merasakan diajari politik langsung bukan saja oleh Sukarno tapi juga Hatta, AK Gani dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya pada tahun 1939-1945 (bahkan ayah MH Lukman yang sahabat Hatta menamakan anaknya dengan meniru Hatta, yaitu Mohammad Hatta Lukman). DN Aidit juga bagian dari ‘Genk Sukarni-Wikana’ yang memaksa Sukarno-Hatta mengumumkan kemerdekaan segera setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Kedekatan-kedekatan inilah yang memungkinkan PKI versi 1954 justru menjadi mesin politik Sukarno ketimbang menjadi bagian dari Revolusi Moskow. Bahkan pada saat Sudisman mengajukan pledoinya pada tahun 1967 yang dianggap merupakan ‘Pembelaan Terakhir PKI’ pada Mahmilub tersirat jelas pemahaman PKI adalah membela kepentingan Sukarno bukan melakukan tindakan Revolusioner sesuai kepentingan Moskow ataupun Peking.

Titik penting memahami peran PKI dalam era Sukarno adalah bahwa Nasionalisme Sukarno selain merupakan Nasionalisme berpaham Kiri tetapi juga Nasionalisme yang mengembangkan kekuatan-kekuatan riil di masyarakat dalam melakukan peran Revolusionernya dimana kader-kader PKI kerap menjadi pelopornya. Bingkai Revolusi Sukarno sesungguhnya menjadi realitas pada tingkatan geopolitik tapi sama sekali gagal dalam membangun mental seperti yang di idam-idamkannya dalam Trisakti, Manipol Usdek dan sederet jargon-jargon politik ‘Character Building’ lainnya. Revolusi Sukarno juga adalah usaha tersistematis untuk membangun kekuasaan Majapahit Raya di Asia Tenggara dimana wilayah Malaysia, Filipina Selatan dan Thailand Selatan dianggap bagian dari wilayah Majapahit. Hanya saja Sukarno terhalang pada garis demarkasi Van Heutz di tahun 1910 yang membatasi wilayah Hindia Belanda hanya sejangkau Sabang-Merauke bukan Saigon-Merauke.

Tahun 1960-1965 merupakan tahun puncak dari konsolidasi kekuasaan Sukarno yang sentralistis, bergaya Monarki Jawa dan Nasionalis - Fasis. Mesin birokrasi politik Sukarno tetap dikuasai orang-orang birokrat keturunan Priyayi yang tidak memiliki fanatisme ideologi kecuali menjadi mesin birokrat yang patuh dan korup. Mesin birokrasi ini terpusat pada Departemen Dalam Negeri dan Lingkaran Dalam Istana kedua habitat itu dikuasai oleh PNI. Sementara perwira tinggi Angkatan Bersenjata terbelah menjadi dua setelah hancurnya Perwira Tinggi luar Jawa karena kasus PRRI/Permesta maka tinggal dua kelompok yaitu : Perwira Tinggi di Jakarta yang elite, bergaya hidup kosmopolitan, intelektual dan pro Amerika dengan Perwira Tinggi di daerah yang kolot, Nasionalisme sempit, anti intelektual dan Sukarnois. Pada kelompok kedua-lah Suharto dibesarkan.

Terlepas dari berkembangnya wacana yang mengkaitkan Suharto sebagai bagian dari orang CIA terselubung namun bila dilihat dari perkembangan politik yang berkembang sebelum dan sesudah peristiwa G 30 S, adalah lebih tepat bahwa Suharto adalah titik temu dari kekuatan-kekuatan konflik yang bertemu dimana sesungguhnya adalah usaha naif untuk mempertahankan ‘ide Sukarno tanpa Sukarno’.

Flirting antara Sukarno dan Mao Tse Tung yang membuahkan ide Angkatan Kelima menjadi titik awal konflik antara Nasionalisme Sukarno versus Kepentingan Sukarno. Sinyal awal pertarungan ini adalah berkembangnya pergesekan intelektual antara kubu yang menamai dirinya ‘Barisan Pendukung Sukarnoisme’ (BPS) dimana ujung tombak mereka adalah Seyuti Melik yang menulis artikel ‘Memahami Sukarnoisme’ yang isinya mementahkan peran PKI dalam Sukarnoisme dengan ‘Pendukung Revolusi Sukarno’ dimana peran PKI sangat terasa. Dibubarkannya BPS oleh Sukarno menandai bahwa Sukarno lebih mementingkan kepentingan politik praktis ketimbang memelihara dukungan pendukung tradisionalnya, Kaum Nasionalisme ala Sukarno. Pembubaran BPS ini juga berakibat pada dilarangnya Partai Murba dimana pemimpin Murba Sukarni ditahan. Dan disambut tepuk tangan hangat oleh PKI. –namun kemudian hari justru terbongkar bahwa BPS memang merupakan mantel dari kekuatan-kekuatan anti Sukarno, hal ini terbukti setelah mentahnya dukungan PNI terhadap Sukarno pasca G 30 S -

Main mata Jakarta-Peking inilah yang membuat gerah pendukung Nasionalisme Sukarno terhadap Sukarno, karena dengan sadar Sukarno menjadikan Republik Indonesia yang independen seakan-akan berada dibawah pengaruh Peking. Letnan Jenderal Ahmad Yani yang tadinya merupakan macan andalan Sukarno untuk melawan Nasution menjadi dekat dengan Nasution yang pro AS dan sudah mempersiapkan aksi penggulingan Sukarno dengan melakukan konsolidasi kekuatan anti Sukarno di Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. Koalisi Nasution-Yani ini menjadikan Sukarno dikucilkan akses militernya dalam mengerahkan pasukan untuk mengobarkan perang Malaya. Perang Malaya sesungguhnya dijadikan prolog dari pertempuran antara kekuatan Kiri dengan Imperialis Kanan yang akan bertemu di Saigon. Tujuan utama dari Perang Malaya sendiri adalah menguasai politik regional Asia Tenggara yang bersih dari pengaruh Inggris dan Amerika Serikat.

Tidak seperti politik Irian Barat yang mengantarkan Sukarno pada reputasi tertingginya. Politik Konfrontasi Malaysia justru mengantarkan dia pada kehancuran politik yang puncaknya adalah aksi dari ajudan Sukarno yang secara misterius menculik enam Jenderal Angkatan Darat dan membunuhnya.

Tindakan konyol Letnan Kolonel Untung, Komandan pasukan khusus pengawal Sukarno menjadi bumerang bagi karir Sukarno. Dan mulai pagi 1 Oktober 1965 muncullah Suharto sebagai Matahari baru dalam dunia politik di Indonesia.

Suharto adalah bintang yang tak pernah digadang-gadang oleh kelompok manapun. Nama besarnya hanya muncul sekilas saat dia berhasil menjadi Panglima Mandala dalam usaha merebut Irian Barat dan itupun tertutup oleh hingar bingar pujaan terhadap Sukarno. Ia mengawali karir sebagai perwira militernya di Yogyakarta, di kota inilah ia banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar Republik Indonesia seperti : Sukarno, Jenderal Sudirman dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Pemahaman tentang konsepsi Indonesia sangat minim dan terbatas hanya pada peran militer, inilah mengapa di jaman Orde Baru rekonstruksi sejarah kemerdekaan Indonesia ditafsirkan sebagai ‘pemuda gondrong dengan bambu runcing’ melawan tank Belanda ketimbang perjuangan intelektual ala Sjahrir di meja Perundingan.

Suharto mengalami hubungan emosional yang kuat pada gagasan Sukarnoisme lewat konsepsi ‘Bakti Negara’ nya dalam tugas-tugas militer. Ia memandang Nasionalisme Sukarno sebagai harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar oleh ideologi dan kepentingan politik apapun. Ia sendiri memerangi ‘Musuh-Musuh Sukarno’ sejak era Jenderal Sudharsono tahun 1947 sampai pada politik Irian Barat dan berakhir pada diri Sukarno.

Suharto menghancurkan kelompok Islam Radikal seperti Batalyon 426 di Jawa Tengah, Menyerbu Makassar dan menghancurkan Kahar Muzzakar, menyiapkan armada besar dalam persiapan pelumatan sisa-sisa kolonialisme Belanda di Irian Barat. Hal-hal inilah yang membawa Suharto pada gagasan Nasionalisme Indonesia baru yang chauvinistik dan tanpa kompromi. Tidak seperti Bung Karno pencetus konsepsi Nasionalisme itu sendiri yang agak terpaksa memberi ruang kompromi bagi lawan-lawan politiknya, Suharto, kelak setelah menjabat Presiden tidak pernah satu centimeter pun memberikan ruang kompromi politik bagi lawan-lawannya sesuai dengan mental serdadu.

Gagasan-gagasan Sukarno tentang Nasionalisme seperti : Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan RI, Proklamasi 1945 dan Sentralisme peran Negara menjadi dogma paling suci bagi Suharto. Suharto melihat PKI tidak lebih dari agen asing dan Sukarno terjebak dalam umpan PKI sehingga melupakan cita-citanya sendiri.

Sebuah misteri sejarah terbesar sampai saat ini?, mengapa Jenderal-Jenderal itu diculik dan dibunuh?, siapa yang memerintahkan bunuh?, kenapa Suharto tidak menjadi sasaran?, Apa hubungan Latief dengan Suharto pada dua pertemuan menjelang G 30 S dan dimana Suharto pada malam G 30 S menjadi tugas sejarawan untuk menjelaskan fakta-fakta materiil, sampai saat ini kita hanya bisa menarik dari akibat munculnya Suharto pada 1 Oktober 1965.

Kemunculan Suharto pada pagi hari 1 Oktober 1965 mengawali dominasi figur publiknya sampai pada detik ini. Suharto bukan saja berhasil menggebuk PKI ia juga menjungkalkan Sukarno dan membangun era Orde Baru yang sangat berkarakter. Fanatisme terhadap ajaran Sukarno tentang konsep Nasionalisme diterapkan secara membabi buta, ia sangat membenci hal-hal yang berbau asing PKI sendiri dianggap produk asing yang tidak sesuai dengan gaya hidup Indonesia, ia tidak menyukai intelektualitas, menjauhi gaya hidup barat seperti yang pernah dilakukan Bung Karno dan Ahmad Yani, tidak berusaha belajar bahasa Inggris dan tidak bangga dalam menggunakan komunikasi bahasa asing seperti : Inggris dan Belanda. Bila Bung Karno senang menari lenso di waktu senggangnya, maka Pak Harto lebih menyukai menggunakan sarung dan membaca koran di ruang belakang rumahnya di Cendana sembari merokok pipa dan mendengarkan burung perkutut. Sukarno dan Suharto adalah dua pribadi yang sungguh jauh berbeda namun memiliki jalan pikiran politik yang sama yaitu membentuk kekuatan kaum Nasionalis yang didukung Angkatan Bersenjata untuk menguasai secara mutlak Indonesia Raya. Disinilah kunci memahami benang merah hubungan politik Sukarno-Suharto.

Kemenangan pertama Suharto setelah Sukarno berhasil disingkirkan adalah menguasai Angkatan Darat secara mutlak. Reputasi ini tidak pernah dicapai oleh Sukarno. Suharto sama sekali tidak mengusik wilayah politik elektoral sampai tahun 1969. Fokus utama pemulihan kekuasaannya, adalah menertibkan pembunuhan-pembunuhan atas orang-orang PKI dan simpatisan Komunisme terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali yang pada awalnya dipicu oleh propaganda Suharto dengan dukungan RPKAD dibawah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo namun pembunuhan-pembunuhan itu menjadi tak terkendali. Masalah kedua adalah pemulihan kondisi ekonomi Indonesia dengan cara meminta-minta bantuan negara-negara barat seraya membuka iklim investasi liberal di Indonesia, dan ketiga adalah melakukan rumusan Orde Baru yang sederhana, praktis dan efektif.

Setelah berhasil memulihkan kondisi ekonomi akibat hutang-hutang Pemerintahan Sukarno, inefisiensi pengelolaan moneter dan macetnya cash cow keuangan negara. Maka Suharto masuk ke wilayah politik elektoral. Pada awalnya Suharto menyukai PNI dan hal ini didukung oleh Ali Murtopo yang menyetujui untuk membangun peran sentral PNI kembali dalam politik elektoral untuk mendukung Orde Baru.

Partai Nasional Indonesia, PNI merupakan tali penghubung antara Sukarno dan Suharto. PNI pada awal-awal setelah meletusnya G 30 S menjadi ambivalen, karena mereka harus mempertahankan Sukarno tetapi juga separuh senang karena musuh utamanya PKI hancur total. Pada awalnya Sukarno yang menganut kebijakan ‘Mempertahankan PKI sampai mati’ berhasil menggeser PNI menjadi kiri dibawah veteran tua Ali Sostroamidjojo pengagum Marxisme sekaligus jenis feodal yang malas. Ali berkoalisi dengan Surachman, tokoh PNI yang dekat dengan PKI – yang oleh koran-koran pro Orde Baru disebut ‘PNI Asu’, PNI Ali-Surachman - . Hal ini jelas menyingkirkan PNI Hardi yang inklusif, aristokrat, anti militer dan intelektual. Setelah Sukarno tersingkir PNI merevitalisasi dirinya sesuai dengan perkembangan politik, Osa Maliki dan Usep Ranuwihardja berhasil meneguhkan PNI berpihak pada Orde Baru pada pertarungan Sukarno-Suharto. Jasa-jasa Osa-Usep inilah yang mendorong Suharto untuk berpikiran akan menggunakan PNI sebagai alat politiknya. Namun pikiran ini berantakan karena Osa Maliki keburu wafat tahun 1968. Suharto memberikan peluang pada sahabat lamanya di masa ia menjabat Panglima Divisi Diponegoro, Hadisubeno. Diangkatnya Hadisubeno sebagai pemimpin PNI mengejutkan banyak orang karena pada waktu itu banyak analisa menjagokan Hardi kembali memimpin PNI. Hubungan manis Suharto dengan entitas PNI harus berhenti tatkala ia disodorkan pilihan untuk menggunakan Sekber Golkar sebagai kendaraan politik Orde Baru.

Tertariknya Suharto pada Golkar dikatalisir oleh Gerakan HR Dharsono pada tahun 1968. HR Dharsono yang merupakan bagian dari ‘Grup Jenderal Elang’ sangat anti terhadap Sukarno dan memiliki basis kekuatan militer pada Divisi Siliwangi banyak berpengaruh pada intelektual muda yang tumbuh sebagai antitesis terhadap politik Sukarno. Kelompok muda Bandung dikenal ‘sangat Amerika’, Liberal, Anti Militer, tidak menyukai politik aliran, dekat dengan PSI, memiliki akses kepada perwira-perwira tinggi pro Orde Baru terutama sekali perwira tinggi Siliwangi dan punya koran ‘Mahasiswa Indonesia’ yang opininya memiliki daya pengaruh kuat di kalangan elite intelektual Indonesia.

HR Dharsono mengemukakan sistem politik Indonesia harus segera direkayasa menjadi sistem ‘Dua Partai’ seperti di Amerika Serikat. Artinya, hanya ada satu partai pemerintah dan satu partai oposisi. Suharto tidak senang dengan gagasan ini, ia berhati-hati terhadap politisi-politisi sipil warisan jaman sebelum Orde Baru. Gagasan HR Dharsono ditanggapi keras oleh politisi-politis sipil karena ditengarai akan memicu pembubaran partai-partai politik oleh pemerintah. Kecaman terhadap HR Dharsono ini juga merupakan kesempatan bagi Suharto menyingkirkan HR Dharsono dalam panggung kekuasaan, HR Dharsono dicopot dari jabatan Pangdam Siliwangi dan ‘membuangnya’ sebagai Duta Besar di Thailand. Setelah itu Suharto membersihkan lawan-lawan potensialnya yang banyak tumbuh dari Siliwangi dan melakukan ‘desiliwangisasi’ di tubuh elite militer.

Tawaran mendayagunakan Sekber Golkar ditanggapi baik oleh Suharto. Pada awalnya di Parlemen hanya ada ‘Fraksi Karya Pembangunan’ dimana anggotanya dipilih langsung dan digunakan untuk menghapus kekuatan Sukarno di Parlemen. Sekber Golkar sendiri awalnya ditengarai oleh Ali Murtopo berisi perwira-perwira tinggi fanatik Sukarno dari blok anti Komunis. Dan Ali sangat berhati-hati terhadap usulan Golkar untuk digunakan sebagai mesin elektoral Orde Baru. Dengan kecerdasannya yang tajam Ali Murtopo berhasil mencaplok Golkar dan membersihkan pemimpin-pemimpinnya di era Sekber 1964 yang dianggap pro Sukarno. Pencaplokan Ali Murtopo terhadap Sekber Golkar tahun 1969 diikuti dengan pengisian orang-orang Ali Murtopo untuk menyetir Golkar dan berlangsunglah Golkar fase pertama.

Golkar fase pertama adalah masuknya orang-orang Ali Murtopo dan dukungan intelektual anti Sukarno untuk mengisi posisi teras Golkar. Bian Koen, Bian Kie, Cosmas Batubara, David Napitupulu dan sederet pemimpin mahasiswa era 1966 menjadi tokoh kunci dalam pembajakan Sekber Golkar, dan kemudian diikuti kelompok intelektual yang cenderung tidak partisan serta dekat dengan PSI seperti Rahman Tolleng, Rachmat Witoelar, Mansur Tuakia, Sulaiman Tjakrawiguna, Rubianto Ramelan dan Sarwono Kusumaatmadja.

Orang-orang inilah yang kemudian membentuk warna intelektual Golkar yang baru yaitu : Partai Modern. Kinclongnya Golkar sekaligus mengesankan partai-partai politik lainnya seperti ‘barang-barang tua yang memuakkan’. Masuknya Mukti Ali (pemimpin Islam) ke dalam tubuh Golkar menandai bahwa Golkar merupakan kekuatan politik inklusif, tidak memiliki ideologi dan bersifat plural. Golkar dalam strategi Ali Murtopo diarahkan menyerupai konsepsi Nasakom Sukarno dan Front Nasional-nya. Sehingga nantinya akan menjadi kekuatan Politik tunggal yang mendukung Orde Baru dan memang itu terwujud di tahun 1973 ketika fusi Parpol dilakukan.

Koalisi Ali Murtopo dan intelektual muda pro PSI dalam tubuh Golkar berakhir setelah peristiwa Malari 1974. Sebelumnya barisan intelektual muda di koordinasi Arief Budiman melakukan kegiatan ‘Golongan Putih’ atau Golput sebagai protes terhadap rekayasa politik Orde Baru.

Pada awalnya Suharto menjaga jarak dengan Golkar, ia menganggap Golkar hanyalah mesin elektoral yang kurang penting arti politisnya dibanding Angkatan Darat dan dia seperti halnya Sukarno ingin menjadi Godfather dalam sistem politik Indonesia dimana Suharto bukan saja milik Golkar tapi juga milik semua Partai Politik. Suharto juga mendekat pada kelompok Islam terutama NU yang dinilainya cenderung adaptif terhadap kekuasaan dan tetap menyayangi kelompok PNI warisan Sukarno. Namun Suharto semakin sadar untuk melakukan politik kamuflase terhadap serangan dunia Internasional tentang kekuasaannya, ia membutuhkan faktor legitimasi dan legalitas terhadap kedudukannya sebagai Presiden lewat Pemilu yang demokratis, dan satu-satunya cara adalah mengendarai Golkar serta menyetir Parpol-parpol kecil. Kemenangan Pemilu 1971 yang mengejutkan dimana Golkar menang 60% membuat keyakinan Suharto bahwa Front Nasional seperti cita-cita Bung Karno bisa dimanifestasikan lewat Golongan Karya.

Setelah Malari 1974 Suharto memperlemah politisi-politisi sipil dengan memasukkan kaum Parpol sebagai ‘outsider’ yang tak mungkin masuk ke dalam lingkungan kekuasaan – bila sebelumnya orang-orang seperti Mintaredja dari PPP dan Sunawar Sukowati dari PDI-PNI bisa menjadi lingkaran dalam Suharto- maka sejak konsolidasi 1974 sekaligus penyingkiran Jenderal Soemitro dan Mayjen Ali Murtopo maka peran politisi sipil habis . Pariah-nya politisi-politisi sipil berbasis aliran merupakan sebuah rekayasa logika sinting Suharto dan anehnya itu dibenarkan bagi mereka yang menjadi bagian dari sistem Politik di Indonesia. Logika ini bisa dibaca dari pernyataan-pernyataan ketua Partai diluar Golkar yang selalu mengatakan gembira menjadi ‘Oposisi Loyal’ dan tujuan utama kaum Parpol tapi menjadi orang gajian pemerintah di Parlemen. Disinilah Suharto berhasil memegang dunia Politik Indonesia 100% ditangannya. Sesuatu yang tidak pernah berhasil dilakukan oleh seluruh Gubernur Jenderal jaman Hindia Belanda, Sukarno ataupun politisi lain yang pernah ada di Indonesia.

Dengan politik logistik, Suharto berhasil menggiring kelas menengah Indonesia sebagai kaum lemah yang memiliki ketergantungan dengan proyek-proyek pemerintah. Orang-orang Cina yang memiliki bakat usaha di lokalisir dan semuanya tersentral pada Cendana. Suharto sadar untuk tidak memberikan akses ekonomi bagi pengusaha-pengusaha pribumi karena ia tahu, bila pengusaha pribumi memiliki duit maka langkah selanjutnya adalah menjungkalkan pemerintahan dan ia tidak mau itu terjadi.

Para mahasiswa angkatan 1966 sendiri terpecah menjadi berapa kelompok. Kelompok pengusaha sukses yang rata-rata modal awalnya menikmati semburan minyak Pertamina, kelompok politisi tulen yang kemudian menjadi menguasai Golkar setelah tersingkirnya Sudharmono tahun 1993, dan kelompok intelektual penentang Orde Baru yang konsisten. Dari tiga kelompok inilah, kelompok ketiga sangat berpengaruh untuk menyadarkan masyarakat bahwa Suharto telah salah jalan dan melakukan usaha terus menerus untuk melakukan aksi penggulingan terhadap Suharto dengan membangkitkan gairah perlawanan kaum muda. Eksistensi pertama dari kelompok ketiga ini adalah peristiwa Malari. Rusuh Malari harus dilihat sebagai awal tidak legitimated-nya kekuasaan Suharto di mata kaum intelektual dan masyarakat urban yang bukan dari pendukung Sukarno.

Untuk melihat proses bercerainya Golkar dengan kelompok intelektual, dan masuknya Golkar sebagai bagian dari ‘Front Nasional’ gaya Suharto adalah dengan memperhatikan perkembangan pemikiran intelektual-intelektual Indonesia dari garis Partai Sosialis Indonesia, PSI yang banyak berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran kaum muda intelektual pada belahan pertama 1970-an.

Partai Sosialis Indonesia, PSI adalah partai pecahan dari Partai Sosialis (partai pemerintah pimpinan Amir Sjariffudien) setelah perjanjian Renville yang kontroversial dan masuknya Amir Sjarifuddien ke dalam organ Massa Komunisme dimana kemudian dilawan Sutan Sjahrir dengan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang terpisah dengan jaringan Komunisme. Sutan Sjahrir sendiri merupakan mentor yang mampu menciptakan generasi intelektual yang dikemudian hari mewarnai Indonesia. Pengikut-pengikut militan Sjahrir seperti Djohan Sjahruzah, Soedjatmoko, Rosihan Anwar dan Soemitro Djojohadikusumo terbukti mampu membangun karakter intelektual yang berpengaruh pada fase awal Orde Baru.

Orde Baru 1967-1969 bisa dikatakan merupakan proyek ‘PSI’ dari perombakan struktur Angkatan Darat yang diotaki oleh Jenderal Suwarto yang dekat dengan PSI, pemapanan kekuasaan Suharto sebagai Pejabat Presiden sampai pada perumusan kebijakan-kebijakan strategi politik dan ekonomi. Orde Baru 1967-1969 berarti ‘Modernisasi’ dan kata ‘modernisasi’ ini merupakan sebuah patokan bagi kelompok-kelompok intelektual pengaruh PSI untuk merumuskan perjuangan mereka pasca Sukarno.

Penekanan pada pengaruh intelektual-intelektual eks PSI ini dalam membedah perjalanan Golkar memiliki arti yang sangat penting, karena bagaimanapun pupuk yang mampu membesarkan Golkar dan kemudian hari menyelamatkannya di tahun 1998 adalah karena gagasan-gagasan PSI yang menjadi titik awal perjalanan Golkar. PSI sendiri dijamannya memiliki pengaruh besar bagi pemikiran-pemikiran elite partai bukan saja pada partai-partai sehaluan tapi juga partai-partai lawan PSI seperti PNI dan PKI.

Modernisasi Indonesia yang menjadi keberhasilan terbesar bagi Rezim Suharto 1966-1998 merupakan gagasan yang dikembangkan oleh kalangan PSI dan simpatisannya sejak tahun 1930-an terutama sekali saat konflik St. Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane yang kemudian menjadi patok pertama pembelaan untuk memenangkan apa yang disebut Sjahrir sebagai ‘Kultur Borjuis sebagai Peradaban Dunia’ dan sejak saat itu Sjahrir serta anak didiknya memandang barat sebagai satu-satunya peradaban yang dimenangkan. Tidak seperti Sukarno dan Hatta yang memilih berjabat tangan dengan Jenderal-Jenderal Pendudukan Jepang di Istana Gubernur Jenderal, Sjahrir malah melakukan gerakan bawah tanah dengan Amir Sjarifudien dan beberapa anak didiknya menolak propaganda Jepang. Banyak orang termasuk Sukarno sendiri yang menganggap gerakan bawah tanah Sjahrir semata-mata hanya strategi perjuangan, tapi yang lebih tepat adalah Sjahrir menolak Fasisme sebagaimana ia menolak otoritarian Komunisme. Dan penolakan Sjahrir itu merupakan harga mati sekaligus menentukan warna sosialisme yang diperjuangkannya. Sosialisme yang menghargai kebebasan individu, anti perang, anti militerisasi, kosmopolitan, humanisme dan berpandangan universal. Gagasan-gagasan inilah yang kemudian hari banyak bersinggungan bahkan bertentangan baik kepada Sukarno maupun Suharto di era sesudahnya.

Masuknya pengaruh PSI, Pembelaan terhadap Orde Baru yang anti Komunisme, dukungan jutaan rakyat pada Pemilu 1971 dan Dukungan pemerintah dan Angkatan Bersenjata terhadap Golkar membuat Golkar menjadi sebuah organisasi politik pertama di Indonesia dengan watak Populis, Berorientasi Kekuasaan dan Rasional. Ketiga pengaruh ini tidak dimiliki PNI yang populis, berorientasi birokrat tapi kurang rasional. PKI yang populis, rasional tapi terisolasi dari kekuasaan incumbent atau PSI sendiri yang rasional, memiliki akses kekuasaan (di era demokrasi liberal) tetapi tidak populis.

Suharto sendiri mengalami nasib yang persis sama dengan Sukarno di awal kekuasaannya tahun 1945-1947 yaitu memiliki ketergantungan yang besar terhadap ide-ide Sjahrir untuk membongkar tantangan-tantangan yang dihadapinya. Dependensia Sukarno terhadap Sjahrir adalah menghilangkan kesan bahwa pemerintahan RI merupakan ‘buatan Jepang’ yang berada di bawah pemimpin-pemimpin kolaborator seperti Sukarno, Hatta, Ahmad Subardjo dan birokrat-birokrat lokal yang bekerjasama dengan Jepang. Sjahrir dianggap oleh Inggris dan Belanda sebagai ‘kawan’ karena berjuang melawan Jepang sebagaimana kaum resistance di Belanda, Perancis, Yugoslavia atau negara-negara Skandinavia. Kepahlawanan Sjahrir ini dimanfaatkan oleh Sukarno dengan membiarkan Sjahrir menuangkan ide-idenya, dan manifestonya yang terkenal dari Sjahrir ‘Perdjoangan Kita’ menjadi landasan rasional untuk Revolusi Kemerdekaan 1945-1949. Digunakannya landasan Sjahrir ini menjadikan watak asli Sukarno tidak dapat muncul ke permukaan politik resmi pemerintah Indonesia. Gagasan-gagasan Sukarno tentang Partai Tunggal, Nasionalisme garis keras, Revolusi Kiri, Penggunaan Angkatan Bersenjata untuk kepentingan politik, dan Kultus Individu seperti Raja-Raja Jawa tidak berjalan dengan baik namun berhasil menyusup ke alam bawah sadar bangsa Indonesia. Sukarno lewat ribuan pidato-pidatonya pada jaman Revolusi 1945-1949 dan kemampuan dia melakukan sentral publik opini dengan sendirinya menjaga gagasan-gagasannya yang akan muncul di kemudian hari.

Dengan kelihaian Sjahrir dan Hatta maka Indonesia dapat menghentikan peperangan 1945-1949, dan tanpa disadarinya menghentikan ‘romantika gelora Bung Karno’. Tujuan utama politik Sjahrir adalah menghentikan peperangan dengan demikian akan menyelamatkan nyawa jutaan pemuda-pemuda Indonesia dan bisa dimanfaatkan untuk pembangunan dan modernisasi bangsa Indonesia ketimbang sibuk bertempur. Tujuan politik itu berhasil diselesaikan dengan baik oleh Sjahrir, tapi bukan suatu yang nyaman bagi Sukarno. Apa yang diinginkan Sjahrir dan Hatta oleh Sukarno bukan lagi perjuangan yang penuh getar, apalagi Konferensi Meja Bundar, KMB 1949 masih menyisakan Irian Barat yang belum diserahkan pada Indonesia sesuai dengan kesepakatan ‘seluruh wilayah Hindia Belanda di Nusantara adalah milik Pemerintahan Indonesia’ sementara Belanda menganggap Irian Barat bukanlah bagian dari Nusantara yang memiliki pengaruh peradaban Jawa-Sumatera tetapi bagian dari gugusan Asia-Pasifik sama halnya dengan Australia. Sukarno memanfaatkan celah untuk kesempatan politiknya dan gongnya dimulai tatkala AH Nasution menelurkan konsepsi Dwi-Fungsi ABRI serta DN Aidit mengarahkan PKI mendukung Sukarno. Dengan momentum itu Sukarno memanfaatkan ABRI dan PKI untuk tujuan-tujuan yang diklaim sebagai gagasan Nasionalisme Indonesia. Dan mulai saat itu Sjahrir ditendang keluar dari sistem politik Indonesia.

Sejarah berulang, begitu yang sering dikatakan kaum sejarawan. Suharto mengulangi perbuatan Sukarno dalam melakukan politik kekuasaannya, awalnya Suharto tergantung sekali dengan PSI kemudian setelah kuat menendang kuat-kuat pengaruh PSI dan mengisinya dengan Nasionalisme gaya Orde Baru.

Menjelang runtuhnya kekuasaan Sukarno di Indonesia tumbuh gerakan-gerakan mahasiswa yang berorientasi aliran seperti : Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berorientasi PNI, CGMI yang PKI, HMI berkiblat pada Masyumi dan Gemsos yang PSI. Walaupun partai-partai induk dibubarkan namun gerakan idee mahasiswa tetap berlangsung dan semarak. Yang perlu diperhatikana dari gerakan-gerakan ini adalah kelompok intelektual yang tumbuh di Bandung dimana kemudian hari begitu mewarnai gerakan penumbangan Sukarno. Dan gerakan mahasiswa Bandung sendiri memiliki akar anti Sukarno, rasional, liberal dan pro Amerika Serikat bila ditilik dari karakter ini maka tak pelak mereka adalah binaan PSI. Gerakan mahasiswa Bandung tersebut mendapat dukungan dari perwira-perwira tinggi Siliwangi. Aliran pemikiran Bandung ternyata berpengaruh pada mahasiswa-mahasiswa non partisan yang berdomisili di Jakarta dan kemudian mereka membentuk lingkaran diskusi, lingkaran diskusi inilah yang menjadi bibit-bibit demonstrasi mahasiswa 1966 dimana mereka pertama kali yang berteriak ‘Anti Sukarno’.

Setelah Suharto berhasil mengisolasi Sukarno dan mengamputasi kekuatan-kekuatan Sukarnois setelah sebelumnya membunuh PKI dengan brutal. Suharto memiliki jalan yang lebar untuk menjadi Presiden RI tanpa saingan, hanya saja ia memerlukan legitimasi dunia internasional terutama barat. Dan untuk mengetuk pintu barat maka Suharto menggunakan eks PSI untuk memainkan peran, maka berbondong-bondong kaum PSI yang dulu dihajar oleh Bung Karno menjadi pembicara pada seminar-seminar perumusan Orde Baru yang diselenggarakan oleh Angkatan Darat. Hal ini sama persis dengan kebutuhan Sukarno memanfaatkan Sjahrir untuk membuka pintu hati Inggris dan Belanda agar mereka memberikan legitimasi politik Internasional.

Bulan madu Suharto dan PSI berlangsung selama hampir sepuluh tahun, sebuah masa yang nyaris sama dengan saat pengaruh Sjahrir dalam pemerintahan Indonesia sebelum peristiwa PRRI. Setelah berhasil melakukan penaklukan terhadap parpol-parpol melalui fusi politik 1973 Suharto membangun mekanisme politik Indonesia yang sampai saat ini belum bisa dihancurkan oleh kekuatan Reformasi 1998. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) gabungan NU dengan partai Islam di luar NU, Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan PNI dengan partai-partai kristen serta partai nasionalis sekuler diluar Golkar.

Fusi politik itu juga menandai mulai dihancurkannya kekuatan PSI di dalam tubuh Golkar dan peminggiran kaum intelektual dengan meninggalkan mahasiswa yang terakhir kali ditemui Suharto pada kampanye anti Korupsi 1970. Suharto yang memang pada dasarnya Sukarnois terselubung, dan diam-diam sebagai priyayi Jawa memilih PNI membentuk PNI-barunya lewat Golkar. Golkar dijadikan Suharto sebagai mesin penghasil birokrasi seperti PNI. Semua pegawai negeri harus mencoblos Golkar dan menjadi loyalitas Golkar paling militan, seluruh sektor sosial-masyarakat dimasuki Golkar tidak terkecuali wilayah Islam yang memiliki tingkat resisten terbesar terhadap gagasan-gagasan Nasionalis-Sekuler. Lewat Ali Murtopo yang membangun GUPPI (Gerakan Usaha Pendidikan dan Pembaharuan Islam) Ali melakukan rekruitmen terhadap kader-kader militan Islam untuk mendukung politik ‘satu partai’ Orde Baru.

Ledakan anti PSI gaya Suharto juga menyerupai gaya Sukarno yang menangkapi pemimpin-pemimpin PSI di tahun 1960. Suharto melakukan penangkapan terhadap orang-orang eks PSI setelah peristiwa Malari seperti Prof. Sarbini Sumawinata, Rosihan Anwar, Soebadio Sastrosatomo dan intelektual-intelektual muda yang dekat dengan PSI seperti : Syahrir, Marsillam Simanjuntak, Dorodjatun Kuntjorojakti, Hariman Siregar serta menyingkirkan elite Militer yang terkena pengaruh PSI seperti : Jenderal Sumitro dan Jenderal Sutopo Yuwono. Sejak Malari inilah intelektual-intelektual muda yang Liberal, Sekuler, Anti Militer, Pro Amerika Serikat dan Humanisme-Universal menjadi lawan terhadap pemerintahan Suharto yang Nasionalis, Otoriter, Feodalis-Jawa, irasional dan sentralistis.

Adalah menarik untuk mencermati bahwa Sukarno dan Suharto tidaklah memiliki ideologi yang berbeda dalam menjalankan kekuasaannya. Suharto adalah anak ideologis Sukarno sekaligus korban dari pemahaman yang salah terhadap konsep Nasionalisme Sukarnoisme itu sendiri. Bila Sukarno masih berhasil menarik bangsanya untuk tidak menjadi bahan mainan kekuatan politik Internasional dan bersikap ekspansif layaknya Raja-Raja Majapahit, Suharto malah bersikap seperti Raja-Raja Mataram (pasca Sultan Agung) yang dengan mudah menggadaikan potensi negara untuk memperkuat kekuasaan. Ini sama saja dengan Amangkurat II yang memberikan konsesi pelabuhan-pelabuhan pesisir di Semarang, Tuban, dan Gresik pada VOC untuk menghantam Trunojoyo. Dan Suharto memberikan konsesi ladang-ladang minyak, Sumber Daya Alam dan potensi negara untuk membunuh musuh-musuhnya.

Namun dibalik bertolak belakangnya cara berkuasa, mereka berdua memiliki gagasan yang sama yaitu : Nasionalisme yang anti terhadap ideologi-ideologi asing, tidak dekat dengan Islam, anti Liberalisme, gemar terhadap penggunaan kekuatan militer dalam melakukan pendekatan politik, sentralistis dan otoriter.

Dari mereka berdualah lahir partai politik seperti PDI Perjuangan dan Golkar. PDIP sendiri merupakan revitalisasi ketiga PNI yang muncul pada tahun 1986 dan membangkitkan kenangan terhadap Bung Karno. Suharto memiliki jasa besar dalam membangkitkan Sukarnoisme di masyarakat dalam warna paling vulgarnya, yaitu ketika ia melihat mulai membesarnya politik Islam pasca Revolusi Islam Iran 1978 dan tumbuhnya pusat-pusat diskusi Islam-politik yang banyak di gawangi oleh pemimpin-pemimpin eks Masyumi. Suharto juga mengantisipasi ledakan ekspor revolusi Islam Iran yang banyak juga banyak ditakuti negara-negara mayoritas Islam lainnya. Pada tahun 1982 Orde Baru menyadari bahwa Islam telah digunakan untuk melawan pemerintah dan berpotensi menjadi oposisi yang populis di luar jalur, apalagi kemudian muncul suara-suara dari kalangan Islam yang menggugat Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Suharto harus menggunakan senjata politiknya, dan ia tahu senjata untuk melawan golongan Islam yang sudah mulai membidik masalah Pancasila dan konstitusi adalah ‘Gagasan-Gagasan Sukarno’ karena menurut penilaiannya, Sukarnoisme mampu meledakkan gairah kembali emosional Nasionalisme bangsa Indonesia yang di jaman Orde Baru terasa kering. ‘Teori Getar Sukarno’ ini kemudian ditanggapi oleh Suryadi pemimpin PDI yang juga merupakan binaan Jenderal LB Moerdani, Pangab pada waktu itu. Suryadi merayu Megawati agar ikut dalam gelanggang politik dan menampik komitmen keluarga Sukarno untuk tidak ikut ke dalam kancah politik.

Atas bantuan suami Megawati, Taufik Kiemas. Suryadi berhasil menggaet Megawati di tahun 1986 untuk ikut dalam kampanye Pemilu. Di titik inilah PNI mengalami revitalisasinya setelah dua dasawarsa mati suri. Gambar-gambar Bung Karno diusung kaum muda. Kaum tua yang setia pada Sukarnoisme, eks PKI dan simpatisan Komunisme yang ditindas pada masa Orde Baru, seluruh orang yang terkenang akan kejayaan Bung Karno dan kharismanya berhamburan di jalan-jalan. Eforia Bung Karno ini mengalihkan perhatian publik pada kerja politik Suharto dalam mempecundangi Partai Persatuan Pembangunan, PPP rival berat Golkar pada Pemilu sebelumnya. Suharto dengan brillian membangkitan kenangan permusuhan lama antara Masyumi dalam hal ini diwakili Parmusi dengan Nadhlatul Ulama, operasi politik Suharto berhasil memecah PPP. Di bawah Gus Dur dengan NU-nya bersemangat menggembosi PPP dan bergabung dengan Golkar. Gus Dur juga mendekat pada Jenderal LB Moerdani yang dianggapnya mampu menjadi rival Suharto di saatnya nanti.

Operasi Suharto yang gemilang menghancurkan PPP dan kekuatan-kekuatan Islam justru mempercepat gerak perlawanan dari politisi-politisi Nasionalis yang seperti batang terendam di jaman Orde Baru. Tidak seperti golongan Islam yang kurang mendapat legitimasi dalam memperebutkan kursi Presiden dan menguasai negara karena faktor beban ‘perjuangan Negara Islam’ kaum Nasionalis memiliki justifikasinya karena Pancasila, UUD 1945 dan konsep NKRI adalah gagasan orisinil kaum Nasionalis yang juga dimanfaatkan oleh Suharto.

Setelah PPP hancur lebur dan kekuatan Islam tersingkir dari permukaan politik digantikan dengan hingar bingar ‘kenangan Bung Karno’. Suharto harus melakukan langkah kedua yaitu : Menghancurkan senjatanya (yang sempat digunakan mengkamuflase penghancuran Islam-Politik), Megawati. Untuk mengimbangi ledakan Nasionalis-Sukarno dan mengembalikan Nasionalisme pada rel Orde Baru, Suharto membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), mendekat pada Muhammadiyah dan golongan-golongan Islam baik NU atau di luar NU dan membangun koridor terhadap Ormas-Ormas Islam seperti yang dilakukan oleh Ali Murtopo di tahun 1970-an. Tahun 1989 Suharto mengganti Posisi Pangab LB Moerdani dengan eks ajudannya Jenderal Try Sutrisno yang akan digunakan untuk melawan pengaruh LB Moerdani. Ini sama persis seperti yang dilakukan Sukarno dengan mengangkat Yani untuk melawan pengaruh Nasution.

Bersamaan dengan menguatnya PDI dimana PNI mengalami kebangkitannya, kaum katolik yang juga sejak lama menguasai peta intelektual Indonesia dan memegang pos-pos penting terutama di bidang Keuangan menjadi sinergi dengan kekuatan Angkatan Bersenjata faksi LB Moerdani. Perkembangan PDI-Megawati menjadi semakin tidak terkendali ketika beberapa pensiunan pemimpin Angkatan Bersenjata menyeberang ke PDI dan adanya dukungan diam-diam Angkatan Bersenjata terhadap Megawati. Dukungan ini tidak lepas merupakan dampak dari memburuknya hubungan Golkar dan ABRI yang renggang karena Suharto dengan keras kepala memasukkan Sudharmono sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Suharto. Sudharmono tidak disenangi oleh LB Moerdani dan mengingatkan masyarakat pada tuduhan yang pernah dilakukan Ismail Sunny tahun 1977 tentang keterlibatan Sudharmono pada peristiwa Madiun 1948, tudahan Sunny satu dasawarsa sesudahnya didukung oleh BAIS (Badan Intelijen Strategis), sebuah badan intelijen ABRI bentukan LB Moerdani. Bahkan di masyarakat berkembang berita yang menyebutkan Sudharmono sebagai perwira Divisi Ronggolawe ditangkap oleh perwira Siliwangi Umar Wirahadikusumah dan dibawa ke Yogyakarta untuk diadili karena mendukung PKI dan ditengarai Sudharmono adalah kader PKI.

Tuduhan terhadap Sudharmono ini ditanggapi dingin oleh Suharto dan ia tetap menjadikan Sudharmono sebagai calon Wakil Presiden menggantikan Umar Wirahadikusumah. Keras kepalanya Suharto ini menunjukkan bahwa Suharto bukanlah seorang Jenderal veteran yang murni Anti PKI atau komunistophobi. Loyalitas Suharto hanya satu yaitu : pada kepentingan politiknya, seperti halnya Bung Karno yang setia pada satu hal : Tujuan-tujuan politiknya.

Keputusan Suharto jelas membuat kecewa Jenderal-Jenderal yang sedari awal menolak Sudharmono dan separuh percaya berita miring tentang Sudharmono, bahkan Letjen (Purn) Sarwo Edhie Wibowo mengundurkan diri dari MPR karena memprotes dicalonkannya Sudharmono.

Penolakan terhadap Sudharmono merupakan titik awal perpecahan antara perwira-perwira tinggi Angkatan Darat dengan Suharto. Suharto menganggap perkembangan Indonesia ke depan tidak boleh tergantung oleh kekuatan bersenjata. Ia ingin memperdayakan kekuatan sipil, apalagi setelah adanya tekanan dari dunia Internasional tentang berbagai pelanggaran HAM berat di Indonesia. Suharto tidak lagi bisa menggunakan dukungan dunia barat untuk pembenaran pelanggaran HAM-nya atas nama anti komunisme yang tenar itu, karena kekuatan komunis dunia sudah berantakan dan kekuatan PKI di Indonesia telah benar-benar hancur. Selain itu Suharto ingin memperdayakan Golkar bukan lagi hanya sebagai mesin elektoral semata tetapi juga lembaga pengkaderan politisi sipil yang kelak akan mendukung kelanjutan rezim Suharto dan penggantinya.

Walaupun Sudharmono tidak populer dikalangan Jenderal-Jenderal Angkatan Darat namun harus diakui dia sangat berhasil dalam memimpin Golkar bukan saja menjadi pemenang Pemilu yang telak, tapi juga mampu membangun struktur pengkaderan sipil yang nantinya sangat berpengaruh terhadap perkembangan Golkar juga terhadap rezim Suharto –sekaligus klik penting di Golkar dalam pendongkelan Suharto- . Sudharmono menumbuhkan tokoh-tokoh sipil berbakat seperti : Murdiono, Sarwono Kusumahatmadja, Ginandjar Kartasasmita, Rachmat Witoelar dan Akbar Tanjung. Tokoh-tokoh ini merupakan jenis politisi-politisi yang mampu mempertahankan citra Golkar ketika hantaman reformasi datang dan mereka bukan berasal dari lapisan Saudagar-saudagar kaya yang datang belakangan.

Keras kepalanya Suharto untuk menaikkan sipil dalam kerja pengkaderan ‘ruling class’ ditanggapi keras oleh LB Moerdani yang kemudian memunculkan klik ‘Merah Putih’ atau barisan Nasionalis di tubuh ABRI. Barisan ini pada awalnya merupakan cetusan kekecewaan terhadap naiknya Sudharmono kemudian berkembang menjadi faksi di tubuh ABRI yang membawa beberapa perwira tinggi untuk tidak lagi menjadi bagian subordinasi Suharto. Kelompok ‘Merah Putih’ menginginkan ruling class tetap dipegang pemimpin-pemimpin Angkatan Darat yang dipersiapkan untuk memegang pemerintahan berikutnya tatkala Suharto selesai memimpin Orde Baru.

Puncak perseteruan antara Angkatan Darat klik LB Moerdani dengan Suharto terjadi lagi lima tahun kemudian setelah terpilihnya Sudharmono, Golkar yang kemudian ditekan oleh pihak ABRI untuk tidak lagi dipegang sipil diambil alih oleh perwira ABRI dan direpresentasi kepada Wahono, pensiunan Jenderal yang tidak memiliki reputasi tinggi dalam lapangan politik. Tahun 1992 dikenang bagi kebanyakan orang sebagai tahun kehancuran Golkar karena gagalnya Golkar mendominasi telak suara Pemilu seperti Pemilu-Pemilu sebelumnya. Dan gagalnya Wahono ini mendesakkan suara keras di dalam tubuh Golkar yang menghendaki naiknya kalangan sipil dan tidak lagi tergantung pada ABRI. Penunjukkan Haji Harmoko sebagai ketua umum Golkar yang baru mengejutkan banyak pihak karena Harmoko murni sipil dan tidak dekat dengan ABRI. Harmoko yang banyak dijuluki secara sinis ‘Hari-Hari Omong Kosong’ ini dicap sebagai tangan kepentingan pribadi Suharto ketimbang kompromi Soeharto-ABRI di tubuh Golkar. Pada diri Harmoko inilah tersirat pertarungan diam-diam antara Suharto dan Pemimpin-Pemimpin ABRI yang menginginkan modernisasi di tubuh ABRI serta kontinuitas ruling class Indonesia dari kalangan ABRI.

Suharto semakin merenggangkan hubungan dengan ABRI ketika ia menginginkan Habibie. Naiknya Habibie juga menunjukkan kemampuan visioner Suharto melihat perkembangan jaman. Ia menginginkan Indonesia lepas dari ketergantungan terhadap ABRI dan memajukan demokrasi yang sudah menjadi hukum sejarah setelah kehancuran tembok Berlin dan bubarnya negara Uni Soviet. Pertarungan dunia Internasional tidak lagi menjadi pertarungan Bipolar tetapi mengarah pada kompetisi multipolar yang prolog-nya adalah Unipolar dimana Amerika Serikat memegang peranan sebagai pemimpin dunia. Cina dan India sudah diperhitungkan menjadi kekuatan besar di Asia. Sementara Indonesia menginginkan menjadi pemegang kunci penting dalam wilayah Asia Tenggara sesuai dengan ambisi sejak jaman Bung Karno yang oleh Suharto menjadi beban tanggung jawabnya –setidak-tidaknya lewat pembentukan ASEAN-. Dan perubahan jaman itu tidak lagi harus menggunakan cara-cara penindasan militer seperti yang selama ini dilakukan oleh Suharto dengan brutal. Habibie juga diharapkan Suharto menjadi kelanjutan dari mimpi Suharto ‘Memodernisasikan Indonesia sesuai dengan niat awalnya dalam membentuk Orde Baru’. Suharto sudah lama mempersiapkan Habibie. Ia sendiri mengenal Habibie saat menjabat Komandan Pasukan yang ditugaskan menghancurkan Kahar Muzzakar di Sulawesi tahun 1950-an. Suharto sendiri yang mengurusi pemakaman ayah Habibie saat meninggalnya dan menjadi wali dari Kaptennya Subono yang menikahi kakak perempuan Habibie. Suharto melalui Ibnu Sutowo dan beberapa kepercayaannya memperhatikan perkembangan Habibie. Dari laporan-laporan yang datang kepadanya, semakin mempertebal keyakinan Suharto bahwa Habibie adalah orang yang tepat untuk membawa Indonesia menjadi negara maju seperti : Jepang dan Jerman.

Jika Impian terbesar Bung Karno adalah menjadikan Indonesia sebagai kekuatan politik yang berpengaruh dan mampu mengimbangi kekuatan Uni Sovyet dan Amerika Serikat sebagai garis tengah politik dunia. Maka Impian terbesar Suharto adalah menciptakan Indonesia sebagai negara modern, memiliki infrastruktur raksasa yang terintegrasi dan menjadi pusat bisnis di Asia. Dan untuk mewujudkan mimpi itu Sukarno mempercayakan impian-impiannya pada Subandrio, Ahmad Yani, DN Aidit dan barisan diplomat kawakan maka Suharto mempercayakan impiannya pada menteri-menterinya yang legendaris dari sisi kecakapan, efisiensi dan kemampuan bekerja keras yang tidak pernah tertandingi oleh kabinet-kabinet sesudah rezim Suharto.

Habibie datang ke Jakarta dan disuruh magang pada Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang sebelumnya diduduki ahli ekonomi kawakan Prof. Sumitro Djojohadikusumo. Pada pos ini Habibie mempelajari secara sungguh-sungguh perkembangan teknologi dan proses modernisasi di Indonesia. Ia diberi kesempatan oleh Suharto lebih dari menteri-menteri lainnya termasuk penggunaan anggaran negara yang dimanfaatkan untuk memperjelas dan mewujudkan jalan pikiran Habibie. Dua langkah terpenting Habibie yang mencengangkan Indonesia pada waktu itu. Ia membangun pabrik pesawat di Bandung dan menyiapkan Batam menjadi pulau pesaing Singapura.

Ditengah kecaman-kecaman dari kelompok ekonomi terhadap aksi ‘gila’ Habibie dalam penggunaan anggaran negara, Habibie mampu membungahkan hati Suharto dengan produksi pesawat CN 235 dan hampir bersamaan waktunya Suharto mendapat anugerah FAO di Roma tahun 1985 atas prestasinya membangun swasembada beras bagi penduduk Indonesia yang sangat tergantung dengan makanan pokoknya nasi. Inilah puncak kebanggaan Suharto dalam memimpin Indonesia. Ia tidak menginginkan Indonesia terisolasi dalam perkembangan dunia di bawah cengkeraman pemerintahan Junta Militer kesan sipil Indonesia harus diperkuat pada era puncak kejayaannya.

Namun impian Suharto tidaklah mudah untuk memotong ketergantungan sirkulasi kekuasaan di Indonesia dengan tidak mengikut sertakan ABRI. Keinginan Suharto menaikkan Habibie menjadi Wakil Presiden benar-benar mendapat tantangan keras dari faksi LB Moerdani yang tidak mau lagi kecolongan dengan naiknya Sudharmono.

Untuk meredam faksi LB Moerdani, Suharto mulai mendekat ke kelompok Islam lewat Habibie, dan momentum dibentuknya ikatan Cendikiawan Muslim oleh aktivis Mahasiswa Islam Univ. Brawijaya, Malang. Dimanfaatkan secara optimal oleh Suharto dengan menggabungkan dirinya kepada Ikatan Cendikiawan Muslim itu, Habibie di plot menjadi ketua ICMI. Munculnya ICMI ternyata bukan mendapat sambutan keras dari LB Moerdani tapi justru mengundang protes dari Gus Dur, bintang politik NU yang saat itu dikenal sebagai orang satu-satunya yang berani melawan Suharto pada peta politik Indonesia. Gus Dur memandang terbentuknya ICMI merupakan bibit ganas terhadap tumbuhnya politik sektarian di Indonesia, dimana politik sektarian itu telah banyak merugikan seperti yang terjadi di India dan Pakistan. Politik Sektarian juga tidak cocok bagi masyarakat Indonesia yang majemuk dan dipandang berseberangan dengan konsep negara integralistik Indonesia.

Perlawanan Gus Dur ini menumbuhkan kemarahan pada Suharto dan ia menolak mendukung Gus Dur menjadi pemimpin NU pada periode berikutnya seraya melakukan operasi intelijen yang terkenal bernama ‘Naga Hijau’ pada muktamar NU tapi Gus Dur terlalu kuat untuk dijatuhkan di kandangnya sendiri.

Namun perlu dicatat seperti pendahulunya Sukarno, Suharto juga tidak sepenuhnya percaya terhadap kelompok Islam yang selalu ditatap penuh curiga sejak ia menjadi tentara puluhan tahun sebelumnya, buktinya pada Kabinet berikutnya tidak satupun pemimpin ICMI masuk dalam struktur kabinet Suharto. Dan ini menunjukkan ICMI hanya digunakan sebagai benteng paling luar perlindungan Suharto dari serangan kelompok LB Moerdani dan kelompok-kelompok intelektual garis keras yang mulai tumbuh seperti Forum Demokrasi dimana Gus Dur, Marsillam Simanjuntak dan Sri Bintang Pamungkas menjadi tokohnya. Dan tidak seperti kabinet 1988 yang berhasil menggolkan Sudharmono, kali ini Suharto harus mengalah pada tekanan LB Moerdani dengan masuknya Try Sutrisno sebagai Wapres, Try sendiri tidak digunakan oleh Suharto dan dipandang sebelah mata karena bukan merupakan bagian dari visi Suharto membentuk masa depan Indonesia.

Menguatnya kelompok LB Moerdani, tekanan dunia Internasional agar Indonesia menjadi negara demokratis dan menghargai HAM, sorotan masyarakat terhadap tingkah laku anak-anak Suharto terhadap bisnis-bisnis raksasanya, dan tumbuhnya lingkaran-lingkaran intelektual yang mampu membangkitkan gerakan mahasiswa yang mati suri sejak serangan NKK/BKK Daoed Joesoef tahun 1978. Membuat Suharto seperti limbung. Diawali dengan dibebaskannya tahanan-tahanan politik pada era G 30 S seperti : Subandrio, Latief dan Omar Dhani, juga Habibie yang mendekat pada kelompok petisi 50 dimana AH Nasution dan Ali Sadikin menjadi tokohnya, membuat kesan Suharto ingin melakukan rekonsiliasi politik. AH Nasution yang walaupun sudah disingkirkan Suharto sejak awal 1970 namun memiliki pengaruh terhadap pikiran-pikiran perwira Angkatan Darat, bahkan ada kesan bila Suharto tidak menyetujui jalan pikiran perwira Angkatan Darat seakan-akan posisi Nasution meng-counter apa kehendak Suharto. Di pertengahan tahun 1990-an Suharto dikukuhkan Jenderal besar bintang lima bersama dengan Abdul Haris Nasution. Ini merupakan tragedi yang tidak lucu karena Sukarno pada tahun 1966 diturunkan dari bintang lima menjadi bintang empat, sementara Sudirman, Bapak Angkatan Bersenjata Indonesia hanya bintang empat dan bertitel Panglima Besar. Jadi praktis Suharto diluar konteks artifisial AH Nasution menjadi orang yang paling tinggi derajat kepangkatannya dalam sejarah Indonesia. Membaiknya hubungan dengan Nasution tidak berarti menurunkan tensi kelompok Nasution untuk membebek pada Suharto serangan mereka justru semakin kuat lewat juru bicaranya Ali Sadikin. Di sisi yang lain para tahanan-tahanan politik G 30 S mulai angkat bicara sejak kebebasan mereka, yang paling mengguncangkan adalah dibukanya Pledoi Kolonel Latief di depan umum dan beredar di kalangan intelektual yang membangkitkan pertanyaan ‘Di posisi manakah Suharto pada G 30 S?’ karena pada pledoi itu terungkap bahwa Latief dua kali menghadap Suharto dan melaporkan gerakan yang dipimpinnya untuk menciduk para Jenderal, hal ini pernah diakui oleh Suharto pada majalah ‘Der Spiegel’ terbitan Jerman di tahun 1970-an awal bahwa Latief ingin membunuh Suharto di RS tapi tidak jadi karena banyak orang namun pengakuan ini berubah pada Otobiografi Suharto yang disusun G.Dwipayanan yang mengatakan Latief hanya mengamati Suharto dari jauh saat Suharto menunggui Tommy Suharto yang tersiram sup panas.

Kontroversi Suharto dalam kasus G 30 S yang mengungkapkan apakah Suharto ini pahlawan atau pengkhianat, hal yang nyaris sama juga menimpa Sukarno tentang kontroversi keterlibatan dia pada pemerintahan pendudukan Jepang, dimana Sukarno menjadi salah seorang tokoh yang menganjurkan Romusha. Namun derajat misteri antara kontroversi Sukarno dengan Suharto berbeda, karena Sukarno memang mengakui keterlibatannya dalam pengerahan Romusha dan itu dilakukan demi strategi politiknya yang merangkul Jepang untuk memperkuat bibit-bibit militer di Indonesia yang berhasil lewat penggalangan PETA dan Heiho.

Warna abu-abu Suharto dalam kasus G 30 S semakin menebal ketika beberapa anak Jenderal yang terbunuh menanyakan kebenaran sesungguhnya kasus yang terjadi, dan koran-koran politik tumbuh dengan dahsyat termasuk tabloid Detik yang fenomenal pelan-pelan menanyakan peran Suharto dalam kasus G 30 S.

Mendapat tekanan kanan kiri dan taktik politik pecah belah di ABRI yang semakin tidak terkendali Suharto mendapat tekanan paling keras yaitu : Meninggalnya Ibu Tien Suharto yang dianggap sebagai pepunden dalam melakukan tugas sucinya. Sepeninggal Ibu Tien kebijakan politik Suharto semakin ngawur dengan melakukan penyerangan terhadap kantor PDI yang diduduki oleh orang-orang Megawati.

Penyerangan kantor PDI ini menjadi titik penting warna politik Megawati dan lingkarannya. Karir politik Megawati benar-benar terbantu oleh Suharto popularitas Megawati melesat tinggi. Layaknya Inul Daratista yang dihinakan Rhoma Irama di depan publik, Bintang Mega secepat Inul.

Warna perjuangan PDIP setelah mendapat sukses politiknya tidak lagi menjadi kekuatan penggerak rakyat terbesar justru setelah berhasilnya penjatuhan Suharto. PDI P tidak lagi menjadi representasi perlawanan terhadap Suharto pada tahun 1998 karena menolak bergabung dengan kekuatan mahasiswa untuk menjadi petarung jalanan yang menantang Suharto. Ironisnya yang muncul ke depan sebagai petarung jalanan adalah kelompok Islam modern, yang di tahun 1990 merupakan anak emas Suharto. Bahkan representasi perlawanan terhadap Suharto pada Reformasi 1998 ditujukan pada Amien Rais, seorang yang sesungguhnya bukan apa-apa dalam kultur perlawanan Orde Baru di tahun-tahun sebelumnya. Kekuatan mahasiswa Islam pun terkonsolidasi dengan cantik, mereka membangun gerakan politik yang mobilitasnya tinggi dan mampu meneruskan gagasan-gagasan pembaharuan politik yang dikawinkan dengan gaya hidup yang diyakini benar. Kelompok mahasiswa inilah yang kemudian menjadi bibit dari berdirinya PK (Partai Keadilan) dimana kemudian setelah berganti nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) kekuatan politik Islam modern menjadi ancaman serius bagi kaum Nasionalis Sekuler.

Dua hal kegagalan terbesar dalam Reformasi 1998 adalah tidak ditemukannya kepemimpinan yang kuat dan tiadanya ideologi alternatif yang bisa menjadi platform reformasi itu sendiri. Bila Sukarno berhasil membangun Demokrasi dengan makna Sukarnoisme di tahun 1959, dan Suharto meracuni mental bangsa Indonesia yang sampai saat ini belum hancur lewat Suhartoisme, maka Reformasi 1998 tidak melahirkan apa-apa kecuali suasana disintegrasi. Beruntunglah di Indonesia ternyata apa yang dinamakan ‘bangsa’ lebih kuat dari ‘negara’. Ketika negara Orde Baru hancur lebur, bangsa Indonesia tetap bertahan.

Peran kekosongan politik ini kemudian diisi dengan cerdik oleh Golkar. PDIP yang sesungguhnya mampu mengisi kekosongan ini dengan jujur harus menerima kenyataan dipecundangi Golkar. Pahlawan Golkar yang menyelamatkan dirinya dalam gelombang politik yang keras adalah Akbar Tanjung, dialah satu-satunya tokoh Golkar yang bertahan menyelamatkan Golkar dari ancaman pembubaran akibat tuduhan terlibatnya Golkar dalam kejahatan Orde Baru, bahkan Akbar dengan berani menantang Edi Sudradjat dan membuat jarak dengan ABRI sehingga muncul apa yang disebut ‘Golkar Merah’ untuk menyebut kekuatan kubu Edi Sudradjat yang berhasil dikalahkan Akbar Tanjung.

Dalam patahan politik 1998 Golkar bernasib sangat baik dibanding PKI saat kejatuhan Sukarno, dengan Golkar saat kejatuhan Suharto 1966-1967. PKI tidak menjatuhkan Bung Karno kecuali tuduhan pemimpinnya terlibat dalam Gerakan Untung 1965. Tapi pemimpin-pemimpin Golkar terang-terangan terlibat dalam penjungkalan Suharto di tahu 1998. Harmoko sendiri merupakan tokoh kunci penjungkalan Suharto yang mengesahkannya dalam koridor konstitusi. Akbar cs melihat keuntungan ini dengan menyeret keluar dengan cepat Golkar dari situasi bahaya dan menjauhkan dari diri Suharto. Bahkan Golkar kubu Akbar tidak mau mendukung Habibie yang dianggap terkontaminasi Suharto.

Golkar ditangan Akbar menjadi kekuatan penting di dalam peta politik pasca Reformasi 1998. Dan menguat ketika rakyat tidak puas terhadap akting kepemimpinan Megawati. Golkar mendulang untung besar. Kemenangan Kalla dan tersingkirnya Akbar Tanjung tak lebih karena oportunisme Golkar terhadap kekuasaan maka Akbar cs tersingkir. Tapi fundamen Golkar modern gaya Akbar tetap dipertahankan. Perlu diingat Jusuf Kalla bukanlah calon dari Golkar, tapi independen bahkan JK diancam dipecat oleh Akbar. Dan karena manipulasi figur SBY yang kharismatik maka rakyat Indonesia memilih dia menjadi Presiden RI dan JK terkena cipratan rejekinya.

Di luar kemenangan Kalla adalah langkah politik Akbar cs yang membangun persekutuan dengan Megawati harus diperhatikan tidak semata merupakan persekutuan jangka pendek tapi lebih pada kemampuan Akbar melihat peta politik Indonesia masa depan dimana permusuhan antara Nasionalisme kiri dan Nasionalisme kanan tidak lagi merupakan pertarungan signifikan tetapi mereka mau tidak mau harus bersatu karena bangkitnya kekuatan di luar Nasionalisme yaitu : Gerakan Islam Modern.

Di luar itu dunia politik Internasional bergulir cepat. Saat ini yang menjadi isu terbesar bukan lagi bipolarisme Komunis dan Demokrasi Liberal, tapi adalah pertarungan peradaban. Peradaban Sekuler gaya Amerika dinilai telah melahirkan dunia yang tidak adil. Telah terbukti kekuasaan bangsa Anglo-American telah menjadi kekuasaan terbesar di muka bumi sepanjang sejarah. Kapitalisme yang menjadi senjata mereka menganggap dunia Islam merupakan ancaman, karena dunia Islam memiliki independensinya sendiri dalam membentuk sejarah dan kemudian tertimbun dalam kebekuan pikiran setelah gerakan sufisme memenangkan pertarungan dalam dunia Islam setelah invasi Mongol. Namun dunia Islam kini bangkit bukan dari gerakan sufisme tapi dari gerakan penyadaran sejarah dan kritik terhadap kapitalisme. Gerakan ini sama saja dengan Gerakan Revolusioner yang muncul di Paris tahun 1830 dan meledak tahun 1848. Hanya saja gerakan revolusioner itu melahirkan sistem Sosialisme yang kemudian malah berkembang menjadi Komunis-Leninis-Stalinis yang melahirkan penjara terbesar di dunia dan mematikan kreatifitas kemanusiaan.

Dunia Islam kini bergerak dan diandalkan sebagai alat ideologi alternatif dari gaya hidup sampai sistem ekonomi yang berseberangan dengan Kapitalisme. Amerika yang senang bermain dengan Israel untuk menguasai minyak Arab kini mendapat buah dari ketidakseriusannya untuk mengatur dunia yang adil. Gaya hidup Amerika kemudian diklaim merupakan aksi pencurian besar-besaran dari kebodohan dunia ketiga yang banyak dipimpin oleh kroni mereka kaum Nasionalis Sekuler.

Kemenangan Kapitalisme atas Komunisme Russia merupakan juga kemenangan kaum Nasionalis kanan terhadap kelompok-kelompok lain di dunia ketiga. Suharto merupakan barang usang mainan Amerika sudah disingkirkan hanya saja meninggalkan nama buruk bagi nasionalisme yang berpijak pada kultur Amerika. Indonesia dinilai sebagaimana halnya dengan negara-negara blok barat lainnya telah memberikan konsesi keuntungan ekonomi yang maha besar untuk negara-negara barat dan melakukan kejahatan kemanusiaan. Sementara Komunisme sendiri juga dianggap telah gagal menjalankan tujuannya sebagai sistem yang membebaskan kemanusiaan dan tujuan akhir menyelesaikan sejarah sebagaimana dipikirkan oleh Karl Marx dan Lenin. Maka kekosongan itu adalah ideologi yang sekarang ini menjadi angin segar bagi perubahan politik.

Apa yang terjadi di Lebanon dan Palestina, sesungguhnya bukanlah masalah Israel semata tapi merupakan pertarungan ideologi. Kelompok Hamas di Palestina menginginkan terbentuknya negara Islam sementara di luar itu mempertahan ideologi sekuler seperti yang diusung kaum Fatah dibawah Hamas. Yang mengejutkan saat ini adalah kekalahan Pemilu untuk Parlemen di Turki bagi kaum Nasionalis Sekuler (yang didirikan Bapak Bangsa Turki, Kemal Attaturk) oleh Partai Islam terbesar disana. Turki yang merupakan benteng sekuler terbesar di beranda negara-negara mayoritas Islam, dan merupakan pengusung fanatis sekularisme telah memilih ideologi alternatif yang sesungguhnya bukan menolak sekulerisme itu sendiri tapi lebih merupakan kebencian terhadap sistem kapitalisme yang digawangi Amerika Serikat dan Inggris yang nyata-nyata telah merugikan negara-negara lemah.

Apakah Indonesia akan mengikuti efek domino Turki-Palestina ini mengingat Indonesia sangat rentan sekali terhadap percaturan dunia Internasional. Dan apakah kekuatan Islam modern saat ini bisa memenangkan pemilu di Indonesia, mengingat sepanjang sejarah tidak pernah ada satu Partai Islam pun yang sanggup memenangkan Pemilu di Indonesia? Apakah gerakan Islam di Indonesia mampu menjadi alat ideologi alternatif gerakan melawan sistem kapitalisme dunia?. Dibalik kelemahan-kelemahan Partai Islam yang dirasa cukup signifikan untuk memenangkan pertarungan politik di Indonesia namun ada yang cukup menggetarkan yaitu : bersatunya akar Nasionalisme Sukarno dan Suharto yang memang bibitnya dimulai dari Nasionalisme gaya Sukarnoisme. Dan pertanyaan ke depan apakah persekutuan politik ini merupakan persekutuan buah dari pergerakan jaman?atau hanya ambisi sesaat dari Paloh dan Kiemas?

Yang terpenting dari kaum Nasionalis sekarang adalah menggerakkan Angkatan Mudanya, sudah cukup lama Gerakan Muda Indonesia berbasis Nasionalisme dimatikan oleh Orde Baru. Gerakan-gerakan resmi kepemudaan berbasis Nasional hanya bertujuan untuk mengejar kekuasaan, prestise dan tidak dilembagakan sebagai agen perubahan seperti jaman Sukarno, Hatta, Tan Malaka di tahun 20-an. Gerakan Muda Indonesia yang berwatak Nasionalisme dimanipulir menjadi gerakan mencari kekayaan dan masa depan pribadi, bukan gerakan perjuangan hidup mati bangsa. Bangkitnya PKS sebagai partai besar dan berpengaruh merupakan pelajaran bagi kaum muda Nasionalis, bahwa mereka mampu membangun kekuatan lewat gerakan dakwah kampus, bergerilya tak henti-hentinya langsung di kancah masyarakat, mengerti persoalan masyarakat. Sementara kaum muda Nasionalisme hanya berjalan di awang-awang, mengejar jabatan dan kekuasaan, membangga-banggakan keturunan anak pejabat, turun ke masyarakat kalau sudah dekat Pemilu dan hanya rajin menggelar panggung-panggung dangdut dan bukannya menyelesaikan persoalan masyarakat. Sementara kaum muda yang terpesona dengan gerakan sosialis kiri lebih suka bertarung di Jalanan, dan tidak melakukan koordinasi yang kuat karena memang ada halangan infrastruktur politik yang menghalangi mereka. Jika kaum muda Nasionalis tidak bangkit dan tidak membuang watak oportunisnya. Maka jangan terpana bila di tahun-tahun mendatang PKS menjadi Partai nomor dua di Indonesia.

ANTON