News Update

Irian Barat : Antara Bingungnya Kennedy dan Keras Kepalanya Sukarno


-->


Irian Barat : Antara Bingungnya Kennedy dan Keras Kepalanya Sukarno
Setelah selesai perjanjian KMB 1949 yang ditandatangani dengan cara terburu-buru oleh Hatta dan manut sama rayuan Washington untuk memperpendek perang, ada ganjalan kecil yang masih bikin Sukarno pusing. Perjanjian pengalihan wilayah Hindia Belanda adalah keseluruhan ,tidak boleh sepotong-potong sementara dalam satu pasal perjanjian KMB yang tebelnya segede bantal itu tentang wilayah Irian Barat. Disana tercatat Belanda masih bisa menguasai wilayah Irian Barat, sebuah wilayah paling timur dari negeri yang dulunya bernama Hindia Belanda. – Itung-itungan geopolitik Sukarno : kalau Irian Barat nggak dikuasai, maka Irian Barat akan jadi pangkalan militer terpenting NATO di Asia Pasifik, atau setidak-tidaknya Amerika Serikat dan Belanda bisa bersekutu untuk membangun pangkalan militer bersama”. Untuk itu sejak 1950 Sukarno menjadikan Irian Barat sebagai masalah terpenting untuk diselesaikan.

Setelah kegagalan ekspedisi militer Belanda 1947 dan 1948, Belanda mengambil pelajaran terpenting “jangan terlalu percaya pada Amerika Serikat sekutunya sendiri”. Kegagalan menguasai Indonesia adalah langkah mundur sejarah bagi Belanda untuk itu harus dibangun benteng baru, “Sebuah Pelabuhan Banten baru seperti jaman Cornelis de Houtman tapi letaknya di timur”. Sesungguhnya Irian Barat adalah markas mereka sebelum mereka kembali akan berhadapan dengan Indonesia di sebelah barat. Di kalangan konservatif, menguasai Hindia Belanda adalah tugas sejarah dan merupakan tanggung jawab generasi muda untuk menghidupkan kembali kejayaan Hindia Belanda seperti di jaman kuno.

Semangat seperti itulah yang membuat Irian Barat adalah pertaruhan terakhir bagi Belanda, setelah mereka menyadari kegagalan Van Mook dalam menguasai Indonesia, di Belanda muncul satu rezim pemerintahan baru di mana Joseph Luns orang yang jauh konservatif ketimbang Van Mook muncul ke permukaan dan menjadi pemain politik paling penting dalam melobi jaringan politik di Amerika Serikat untuk kepentingan Belanda di Irian Barat.
Sementara sepeninggal Harry S Truman, politik luar negeri Amerika Serikat dilanda kekacauan. Truman mengambil politik setengah-setengah, sikapnya yang selalu ragu terhadap Cina Komunis bikin Truman kehilangan kekuatan politik luar negerinya, gara-gara politik pengecut saat berhadapan dengan Mao, Presiden Truman kehilangan Jenderal Douglas MacArthur orang yang paling paham geopolitik Asia Pasifik dan juga pahlawan Amerika dalam perang pasifik. –MacArthur ini akan divisi-kan oleh para senator Amerika Serikat untuk jadi Presiden Amerika Serikat berikutnya, karena bagi Amerika masalah Asia Pasifik sangat penting mereka takut Komunis akan masuk ke Asia Pasifik dengan cara menunggangi negara-negara nasional. Bagi Truman menjaga kesatuan Cina itu akan lebih mudah ketimbang Cina yang terpecah, padahal banyak analis politiknya saat itu menekan “biarlah Cina terpecah dan kelompok Komunis hanya menguasai wilayah utara, suatu saat wilayah utara bisa ditaklukan” Tapi pertimbangan Truman lain, bila Cina terpecah maka kondisi keamanan di wilayah Asia akan sangat terganggu.

Karena politik terlalu hati-hati inilah akhirnya Tentara Merah pimpinan Mao berhasil menguasai seluruh daratan Cina, dan menjadi penerus kekaisaran Cina lama, sementara para kaum Nasionalis disingkirkan ke Taiwan. Di kalangan deplu AS kegagalan ini sangat mencoreng mereka, dan dijadi’in pelajaran penting untuk langkah-langkah selanjutnya di Asia Tenggara, -satu satunya wilayah penting Asia yang masih tersisa dan belum jatuh ke tangan kuasa Komunis-.

Sedianya pengganti Truman itu mustinya Jenderal MacArthur, tapi setelah Truman memarahi MacArthur soal perang Korea dimana MacArthur mau maen perang dengan Cina, MacArthur ngambek dan bicara di depan kongres AS “Old Soldier never die, he just fade away, seorang serdadu tua tak akan pernah mati, dia hanya berlalu”- ucapan yang banyak bikin nangis anggota senat dan selama 10 menit mendapatkan standing ovation dari senat. MacArthur lalu turun dari podium dan menolak untuk dicalonkan jadi Presiden AS.
Mundurnya MacArthur semakin memperjelas posisi Dwight Eisenhower alias Ike yang dikatakan sebanding kepahlawanannya pada Perang Dunia II. Ike ini adalah Jenderal Salon, dia hanya perwira tinggi militer yang nggak pernah pegang pasukan sebelum kejadian Perang Dunia II. Namun rangkaian kejadian di Eropa saja yang bikin karir Ike naik. Ike adalah seorang komunikator yang tangguh, ia berpikiran dangkal, tidak memiliki visi, dunianya hanya film koboy, ia mencerminkan pragmatisme Amerika dalam warna sesungguhnya. Saat itu ada pertarungan ambisi di antara Jenderal-Jenderal Amerika Serikat dan Inggris untuk tampil dalam panggung sejarah di Eropa, sebuah medan tempur yang amat teatrikal. Disana ada Jenderal Inggris bernama Montgomery jagoan perang Al Amien, Mesir dan sangat paham perang di Afrika Utara, hanya Monty yang berhasil menghajar pasukan serigala gurun Rommel, di sisi lain ada Jenderal serampangan bergaya Amerika seperti Jenderal Patton yang jago maen tank di medan-medan berat, ada juga Jenderal Buttler dan banyak Jenderal, bahkan Perancis yang sudah dipecundangi Jerman-pun masih belagak ingin jadi pemimpin perang Eropa, De Gaulle ampe berkali-kali tidak mau hadir dalam rapat sekutu apabila bukan dirinya yang ditunjuk dalam memimpin pendaratan pasukan sekutu di Perancis. Roosevelt akhirnya minta nasihat Churchill, saat itu Churchill sedang duduk-duduk sore dan mendapatkan telpon dari sohibnya FDR. Lalu FDR curhat soal penentuan Jenderal ini, dengan tertawa Churchill berkata : “Tuan FDR....kau tau Monty, dia orang amat kaku....hanya bisa dikalahkan oleh orang yang justru lebih lemah daripadanya, dia nggak mau dikalahin. Kita tidak mencari ‘Rommel’ disini tapi kita disini mencari seorang dirijen pengatur perang, carilah Jenderal yang jago administrasi bukan jagoan tempur” kata Churchill yang awalnya memang kepengen Jenderal Inggris pimpin perang, tapi ia akhirnya ngerasa nggak enak dengan Amerika yang kirim pasukan paling banyak dalam konfigurasi pasukan sekutu. – Akhirnya dipilihlah Ike, yang dinilai FDR adalah jenderal Salon tapi bisa dimanfaatkan untuk merobohkan ego para Jenderal-Jenderal perang-.

Jenderal Salon itupun jadi Presiden AS, sifat Ike yang paling ketara adalah ia tidak mau berpikir dalam-dalam, apabila ia sudah percaya sama staf atau Jenderalnya ia tidak mau ambil keputusan, semuanya diserahkan para bawahannya. Di masa perang Eropa 1941, ia jadi komandan tertinggi sekutu, kerjanya hanya mendengarkan omongan para Jenderal-jenderal lalu mencatat dan memberikannya pada asistennya untuk dibuat notulen, lalu setelah itu staf lingkaran intinya disuruh ngumpul dan baca notulen laporan Jenderal-Jenderal, staf intinya ini yang disuruh mikir, setelah dapet keputusan ia sendiri yang akan berdiri depan teater brifing untuk memutuskan hasil keputusannya. Jadi ia bukan mengendalikan situasi atas otaknya. Inilah yang terjadi ketika Ike memimpin AS, dia melakukan politik luar negeri bukan atas kendali pemikirannya tapi atas kendali pikiran anak-anak buahnya. Terutama munculnya Dulles bersaudara yang akan banyak berpengaruh terhadap masa depan Indonesia.
Tahun 1951 di Amerika Serikat, ada senator yang naek daon namanya Joseph MacCarthy, ini orang kerjanya tiap hari membangkitkan ketakutan-ketakutan atas bahaya komunisme. Tindakan MacCarthy – yang mungkin sekarang agak-agak mirip Geerd Wilders ini – ternyata dapet dukungan banyak dari rakyat AS. Ketakutan MacCarthy ini meluas sampe pada ketakutan-ketakutan yang aneh, pemerintahan Roosevelt-Truman dianggap bertanggung jawab soal kejatuhan Cina ke tangan Mao, dan mengatakan bahwa “Sebentar lagi akan berduyun-duyun orang Kominis akan datang ke kota-kota kita, karena bagaimanapun Cina adalah pintu terdepan AS” orang AS sejak lama menganggap Cina adalah sekutunya yang paling setia, tapi setelah Mao, Cina rupanya gagal disetir. “Politik Ketakutan” pada bahaya laten komunis inilah yang bikin agenda politik luar negeri dibawah Ike Eisenhower menginginkan Indonesia terpecah.

Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia yang pertama adalah Hugh S Cumming. Ia dipilih atas rekomendasi Direktur CIA Allen Dulles yang ia berikan memo referensinya ke kakaknya sendiri Menlu AS, John Foster Dulles. Lalu John membawa memo itu ke Ike. Tak lama kemudian Hugh S Cumming dipanggil ke Washington. Saat makan siang di gedung putih, di Red Room (Ruang Merah Cina), Hugh dipesankan oleh Allen Dulles “Hugh kamu harus hati-hati jangan terpengaruh keadaan di Indonesia, tolong jangan ikatkan dirimu ke dalam suatu kebijakan untuk menjaga kesatuan Indonesia”. Hugh mengangguk dan berkata “Ia setuju Indonesia terpecah-pecah dan tidak dibawah komunis, lalu kita bisa menyatukannya lagi”

Pandangan Dulles yang punya visi untuk mecahin Indonesia ini akhirnya juga didengar oleh Sukarno. Tapi Sukarno mendengarnya agak terlambat, sampai pada tahun 1957 Sukarno masih amat percaya dengan Amerika Serikat. Di tahun 1952 kondisi di tubuh militer memanas, Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang dipercaya menjadi Menteri Pertahanan berkonsultasi dengan Hatta, saat itu tentara di Indonesia jumlahnya 200.000 sementara Sultan pengen tentara kita ramping tapi kuat dan profesional, menurut perkiraan Sultan jumlah tentara 100.00 itu cukup efektif. Ide ini didukung oleh Nasution dan TB Simatupang. Perwira-perwira di luar daerah banyak yang marah dengan ide ini karena kalo ide ini dijalankan mereka bakalan kehilangan banyak pasukan, sementara mereka paham bahwa anak buahnya juga dulu berjasa berperang lawan Belanda.

Sukarno yang dapat laporan ide Sultan ini menolak rencana Sultan, sebab ia tak ingin ada kejadian ‘Madiun kedua’. Di beranda Istananya Sukarno bicara dengan Ali Sastroamidjojo dan beberapa pemimpin politik “Aku tak ingin melihat lagi, Amir-Amir lain yang dibawa dari benteng Vredenburg dan ditembak mati di satu wilayah sepi, aku tak ingin bangsa ini terpecah lagi” . Pikiran Sukarno ini kemudian didukung PNI , PKI dan beberapa partai sekuler garis keras. Sementara ide Rasionalisasi didukung oleh Menteri Pertahanan, Komandan Militer Pusat dan Partai-Partai yang bersahabat dengan Angkatan Darat. Akhirnya muncul ide dari kelompok perwira Angkatan Darat yaitu : Membubarkan Parlemen dan memaksa diadakannya Pemilihan Umum. Nasution sendiri datang ke Istana dan meminta Presiden Sukarno membubarkan parlemen, jawab Sukarno “Apa aku sudah gila kau suruh aku bubarkan Parlemen, jangan paksa aku jadi Diktator, Nas...jangan paksa aku” lalu Sukarno mendengar ribut-ribut diluar, ia melihat banyak massa dateng, tak lama kemudian massa dateng. Sukarno melihat barisan tank yang ternyata dipimpin komandan artileri Siliwangi Mayor Kemal Idris yang mengarahkan meriam-nya ke Istana. Sukarno marah besar dengan pengarahan meriam itu, demo dan tuntutan itu gagal total karena opininya sudah bergeser ke arah “Pengarahan Meriam Tank tepat ke Muka Sukarno”.

Akhirnya Sukarno memecat Nasution, TB Simatupang ngamuk-ngamuk dan membanting pintu kerja Sukarno, tak lama Sim juga pensiun. Pemecatan Nasution ini sesungguhnya berdampak amat fatal bagi Indonesia, karena ketika Nas berpakaian sipil ia mendirikan Partai bernama IPKI (Ikatan Pejuang Kemerdekaan Indonesia), IPKI inilah yang kemudian menjalin jaringan dengan Partai-Partai Politik sipil, sejak kejadian 1952 Militer Indonesia tidak steril lagi dari pengaruh sipil dan ini amat berbahaya bagi masa depan Indonesia. Di kemudian hari Hatta kerap marah bila ia dituduh turut mencampurkan militer ke dalam pengaruh sipil, Hatta selalu berkata “Silahkan tanya ke Nasution soal itu”.

Menjelang hajatan besar KTT Non Blok di Bandung 1955, Sukarno sudah mulai membaca arah sejarah. Ia mendapatkan banyak laporan tentang kemana sesungguhnya Amerika Serikat ini berdiri – yaitu : memecah Indonesia jadi potongan-potongan kecil agar bisa membendung komunisme- tapi kecurigaan itu disimpan Sukarno sampai ia melihat buktinya sendiri. . Di tahun 1954, Sukarno menunggu perkembangan Internasional, ia melihat sebuah langkah prospektif yang dilakukan Ali ketika Ali berhasil dalam konferensi Kolombo, Konferensi ini akan mengikatkan suatu gabungan negara-negara Internasional untuk meredusir taktik intervensi Amerika Serikat dan Sovjet Uni ke negara-negara baru. Akhirnya di tahun 1955 KTT Nonblok diselenggarakan, pidato Gandhi menjadi acuan : “Merupakan suatu kehinaan bagi bangsa Asia dan Afrika apabila mereka menjadi pengikut suatu blok kekuasaan di dunia”. Martabat bangsa-bangsa Asia saat itu bisa jadi hitungan politik yang lugas untuk menghadapi Amerika Serikat, inilah yang ada dalam pikiran Sukarno.
Tapi keadaan terus berkembang. Ike Eisenhower terus menekan untuk segera membereskan Indonesia dari incaran Sovjet Uni, Tahun 1956 Menlu John Foster Dulles akhirnya memutuskan ke Djakarta. Disana ia dijamu Sukarno dan ngobrol berdua di ruang kerja Sukarno yang juga penuh dengan buku-buku “Tuan banyak membaca juga?” kata Dulles

“Ya, sama banyaknya saya nonton film Amerika” kata Sukarno tertawa

“Tuan Sukarno, apakah anda lupa Amerika Serikat adalah negara yang mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, kami terpaksa juga harus agak mengkhianati sekutu penting kami di Eropa yaitu : Belanda”......
Lalu Sukarno mengambil wine-nya dan memutar-mutarkan gelas wine. Sukarno tidak meminum wine itu, karena ia langsung menaruh “ Anda merokok?” kata Sukarno kepada John F Dulles. “Tidak, terima kasih”
Setelah menghisap rokoknya tiga kali Sukarno berkata pada Dulles dengan pandangan menerawang “ Tuan Dulles, masalah bangsa-bangsa Asia bukanlah masalah pro atau anti kominis, tapi masalah nasionalisme, seluruh panggung Asia saat ini terbakar api nasionalisme. Oke, Tuan Dulles saya berterima kasih pada anda soal anda bilang bantuan Amerika Serikat saat kami perang dengan Belanda tahun 1945-1949, tapi saya masih ingat Tuan...masih ingat sekali ...posisi waktu itu ‘posisi Amerika sama sekali tidak jelas’ dukung Belanda atau Indonesia?....dan posisi yang ambigu itu masih diperlihatkan sekarang, sementara bagi Komunis mereka jelas mendukung kemerdekaan negara-negara baru di Asia”

John Foster meradang mendengar jawaban Sukarno yang dianggap tidak tau terima kasih ini, tapi sebagai diplomat ia harus bersikap santun. “Tuan datanglah ke Amerika Serikat, rakyat kami ingin mengenal anda”

Sukarno bergembira ketika ia diundang resmi ke Amerika Serikat. Ia langsung teringat masa kecilnya yang seneng mengumpulkan gambar-gambar bintang film hollywood dari korek api. Dan sembari tertawa memamerkan gingsulnya Sukarno berkata pada John Foster Dulles “Saya mengagumi negeri Tuan, kebudayaan Tuan, gedung-gedung yang tinggi itu, dan dulu ketika saya masih kecil saya selalu berkhayal tentang Amerika, saya kenal baik dengan Jefferson, Lincoln dan Washington, saya catat mereka sebagai teman di dalam membaca buku”

Sebenarnya ucapan Sukarno ini apabila ditilik merupakan jawaban bahwa “Amerika Serikat janganlah bersikap sombong!..perhatikan Sukarno”. Tapi Ike Eisenhower memang bukan pemimpin yang cerdik membacai arah politik.

Akhirnya 16 Mei 1956 Sukarno datang ke Amerika Serikat, seluruh negeri itu dipenuhi berita-berita tentang siapa Sukarno. Rakyat mendengarkan radio dan membaca koran. Hari kedatangan Sukarno ditanggapi meriah oleh rakyat Amerika, di Washington berbondong-bondong orang Amerika ingin tau Sukarno dan menyambutnya di pinggir-pinggir jalan mereka mengibar-ngibarkan bendera. Di New York, Sukarno disuruh naik ke podium di sebuah Gedung depan jalan yang dulu sempat dijadikan pesta kemenangan besar Amerika Serikat pada Perang Dunia II, rakyat New York menyambut Sukarno dengan parade Pita. Rakyat New York berbaris-baris mengelu-elukan Sukarno, yang tertawa-tawa melihat sambutan rakyat negeri Paman Sam itu. Dimana-mana Sukarno dianugerahi doktor honoris causa dari Universitas-Universitas ternama di Amerika Serikat. Namun sambutan paling mengesankan bagi Sukarno justru ketika ia diberikan kesempatan bicara di depan Kongres.
Ide bicara di depan kongres sebenarnya dari beberapa asosiasi jurnalis Amerika Serikat yang kagum dengan cara pidato Sukarno, dulu wartawan-wartawan senior perang sekutu terpesona dengan gaya Sukarno bahkan Richard Straub wartawan BBC saat mendengarkan pidato Sukarno berkata “Abraham Lincoln masih hidup di dunia..!” pesona pidato Sukarno inilah yang kemudian dijadikan kasak kusuk para anggota senat, mereka ingin tau apa yang ada dalam pikiran Sukarno. Dan bagi Sukarno ini sama saja memberikan makanan lezat, karena bila pidato ia laksana dewa yang mampu membuat diam seluruh angkasa raya.

Sukarno naik podium dan membuka pidatonya dengan bahasa sejarah yang mencengangkan “Saudara-saudara, tembakan yang pertama diperdengarkan di Lexington pada tanggal 19 April 1775 terdengar sampai ke seluruh penjuru dunia. Bunyinya masih bergaung di hati semua bangsa yang baru saja memenangkan kemerdekaan mereka, bunyinya itu menggetarkan kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika....di pelosok-pelosok bumi, orang-orang yang merasa terjajah membacakan sejarah tembakan Lexington sebagai penggugah untuk bangun dari tidur mereka, tidur yang ditindih oleh kesakitan-kesakitan, Dan apa yang terjadi di Amerika adalah pelajaran penting untuk membebaskan dirinya, Ya...Ya....inilah Asia dan Afrika bangkit kembali”............
Selesai pidato selama 45 menit, seluruh anggota senat berdiri, wartawan-wartawan berteriak “Bravo...Bravo...Mr. Sukarno” saat itu seseorang memperhatikan Sukarno dengan cermat ia adalah John F Kennedy. Pesona Sukarno telah membangkitkan kesadaran bagi Senator muda ini......

Beda dengan Sukarno yang cerdas dan mampu memikat massa, Ike Eisenhower lebih memilih sebagai orang tua yang nggak pedulian. Ia mengundang Sukarno untuk nonton film Amerika. Sukarno bertanya pada Ike “Tuan nonton film-film apa selain koboy, saya suka film sejarah seperti Ben Hur” kata Sukarno.

“Tidak saya tak suka film selain film koboy, dar der dor...seru” kata Ike dengan senyum kocaknya.

Sukarno mengernyitkan dahi, lalu ia berkata “Tuan saat ini bangsa-bangsa Asia bergolak, kami tak ingin negara-negara Asia dijajah terus oleh negara-negara Eropa” disisi ini Ike tampak nggak mau mendengarnya. Ia terus memperhatikan film. Sukarno amat tidak suka dengan kelakuan Ike.

Sepulang dari Amerika Serikat perkembangan politik di Indonesia memanas, beberapa kelompok yang anti KMB seperti Partai Murba mulai melakukan move politik, mereka mendesak pembatalan KMB. Sementara pihak Parlemen menyambut usulan Murba dan akhirnya diutus delegasi ke Belanda untuk melakukan negosiasi ulang KMB soal Irian Barat, Belanda malah marah-marah dengan usulan negosiasi ini. Inilah yang kemudian menjadikan isu politik penting untuk segera merobek-robek perjanjian KMB 1949.

Akhirnya KMB 1949 dibatalkan, Hatta mundur karena ia yang menandatangani KMB 1949 dan kemudian muncullah semangat baru untuk membentuk satu sistem politik yang kuat. Setelah pulang dari AS semakin jelas bagi Sukarno bahwa agenda terpenting Amerika dibawah Ike Eisenhower adalah memecah-mecah Indonesia, dan menyatukannya kembali apabila perlu asal tidak kemasukan Komunis. Demokrasi Liberal amat rentan dengan kepentingan ini, sehingga keutuhan wilayah menjadi pertaruhannya”.

Sukarno harus bertindak cepat menyelamatkan Indonesia dari perpecahan, setelah mundurnya Hatta. Sukarno mendapatkan banyak laporan tentang korupsinya para politikus-politikus baik di Parlemen maupun Partai. Suatu saat ia memanggil beberapa menterinya sambil menendang kaki meja dan terdenger keras Sukarno menyatakan kegeramannya terhadap para koruptor yang tak paham arah bangsa Indonesia dan hanya mengganggu saja kerjanya. Di tanggal 30 Oktober depan Konferensi Perhimpunan Guru, Sukarno berpidato : “Aku, Sukarno....nggak ingin jadi seorang diktator Saudara Saudari....itu berlawanan dengan semangat saya, dengan jiwa saya...!!Saya adalah seorang demokrat. Saya benar-benar seorang Demokrat...!! tetapi demokrasi saya bukanlah demokrasi liberal, Yang ingin saya lihat ini demokrasi terpimpin, demokrasi yang mengarahkan, tapi ya tetap demokrasi”..........

Akhirnya Sukarno mengakhiri pemerintahan parlementer yang gonta ganti terus, ia memanggil Djuanda untuk bikin kabinet kerja (zaken kabinet). Disitu ia juga menarik Semaun yang dimintanya langsung untuk datang ke Indonesia, Semaun disuruh Sukarno menjadi penasihat bagi Djuanda, begitu juga dengan Chaerul Saleh. Hampir tiap sore Semaun datang dengan sarungan ke tempat Djuanda dan bicara serius soal pembangunan dari Semaun inilah kemudian Sukarno mendapatkan kontak-kontak penting di Moskow, Sukarno perlu modal Moskow untuk mulai gertak Amerika Serikat. Lalu di suatu hari Sukarno memanggil juga Subandrio untuk bantu soal-soal luar negeri terutama yang terpenting adalah soal Irian Barat.

Statemen demokrasi terpimpin Sukarno pada Oktober 1956 inilah yang kemudian dijadikan basis penting untuk melancarkan pemberontakan bagi para politisi-politisi yang kecewa dengan Sukarno. – Sementara Ike yang masih kebelet menguasai Indonesia disarankan agar tidak main kasar, jangan keliatan Amerika Serikat intervensi langsung ke Indonesia, mereka harus menggunakan orang dalam agar ‘Sukarno bertempur dengan Jenderal-Jenderalnya sendiri’.

Sukarno berhadapan pada situasi pelik, ia akhirnya memanggil Nasution untuk kembali pegang militer. Nasution punya anak buah yang amat berani dan bisa diandalkan, dialah Ahmad Yani yang langsung oleh Nasution dikirim ke luar Jawa untuk menggebuk pemberontakan daerah. Banyak bukti Amerika Serikat bermain atas pemberontakan daerah PRRI dan Permesta di tahun 1957-1958. Termasuk tertembaknya pilot pesawat Allen Pope.

Dubes Hugh Cumming diganti oleh Allison. Pesan Ike Eisenhower tetap sama saja, ‘Jangan dekati Sukarno” tapi Allison ini orang yang punya hati, masa akhir jabatannya di Indonesia ia menulis dalam memoarnya “Sukarno adalah orang dari Asia yang paling mengesankan yang pernah saya temui dalam hidup saya”. Allison heran dengan laporan-laporan bahwa orang Indonesia brutal-brutal, ia menemui fakta bahwa Isterinya senang di Indonesia dengan orang-orangnya yang ramah. Allison tidak memuaskan Ike Eisenhower.
Tahun 1960 Nixon, Wakil Ike Eisenhower kalah tarung Pemilu di Amerika Serikat dan sejarah mencatat nama John F Kennedy menjadi Presiden AS. Kennedy ini beda dengan Ike yang hanya mengandalkan otak anak buahnya, JFK lebih kepada mengandalkan otaknya sendiri, tapi memang JFK terlihat belum berpengalaman dalam politik luar negeri, ia juga masih terlalu bersemangat soal mimpi ‘Perdamaian dunia’. Sebelumnya JFK pernah datang ke Indonesia tahun 1957, ia belajar soal Indonesia. Sama seperti Kahin yang mengambil kesimpulan bahwa Indonesia bukanlah negara komunis, Indonesia diisi oleh para intelektual berbakat besar. Bersahabat dengan Indonesia adalah rekomendasinya yang utama. Kennedy memilih besahabat dengan Sukarno ketimbang tetangganya sendiri, Castro.

Di awal pemerintahannya JFK mendapatkan malu luar biasa karena ia gagal ekspansi militer ke Kuba. Gara-gara info penting berhasil disadap wartawan, penyerangan Kuba gagal total. Para pendarat jadi makanan empuk tembakan pasukan Castro. Begitu juga dengan peristiwa adu tank di Berlin yang hampir saja meletuskan perang dunia ketiga. Dengan Irian Barat, Kennedy harus hati-hati karena bila Sovjet Uni menurunkan pasukannya di Asia Tenggara maka perang di kawasan ini akan pecah. Setelah mempelajari situasi Kennedy lebih suka Irian Barat jatuh ke tangan Indonesia ketimbang ke tangan Belanda kemudian dijadikan alasan pihak Komunis untuk membebaskan Irian Barat.

Sikap JFK ini kemudian dibaca oleh banyak pihak yang berkepentingan. Pertama kali bulan februari 1961, Perdana Menteri Robert G Menzies Australia datang ke Washington untuk meyakinkan Kennedy jika Belanda dibiarkan pergi dari wilayah Nusantara, maka keseimbangan politik bagi Australia akan berbahaya. “Indonesia akan jatuh ke tangan kominis” kata Menzies, namun JFK menanggapinya dengan dingin. Dalam hal ini JFK masih memilih netral dalam soal Irian Barat. Ia pengen tau arahnya kemana? Tentu saja Belanda marah-marah, di depan parlemen Belanda di Den Haag Menlu Luns diteriaki anggota Parlemen “Apa-apaan ini sekutu kita sendiri malah asyik bermain dengan Sukarno”

Desakan parlemen Belanda itulah yang kemudian memaksa Menlu Luns dengan diantara dubes belanda untuk Amerika Serikat Van Roijen datang menemui Presiden Kennedy. Mereka marah pada JFK ini soal sikap diamnya tidak membela sekutu Belanda dalam menghadapi Indonesia. Bahkan ditengah kemarahan ini, Menlu Luns menunjuk-nunjuk ke hidung Kennedy. JFK diam saja namun ia dongkol juga, setelah Roijen menekan ingin tau sikap Amerika Serikat, dengan tidak sopan JFK berdiri dan langsung ke belakang, dia diteriaki Luns “Mau kemana” JFK menjawab seenaknya “Saya mau maen baseball”.

Sukarno mendapat kabar posisi Kennedy merasa gembira, ia memerlukan datang ke Washington juga membujuk agar Kennedy memihak kepada Sukarno. Saat kunjungan itu Sukarno diperlakukan amat hormat oleh Kennedy, ia dibawa ke ruang kamar pribadi JFK, lalu JFK menunjukkan koleksi foto-fotonya. Pertemuan itu dilukiskan sebagai pertemuan dua sahabat lama. Sukarno terkesan dengan anak muda tampan ini yang mengingatkannya sewaktu ia masih muda dulu.

Di tengah obrolan antar teman itu JFK nanya “Apa sih yang bikin Tuan Sukarno ingin dari Irian Barat, ras melanesia beda dengan ras melayu”

Sukarno menjawab sambil memainkan tongkatnya “You tau, wilayah itu adalah bagian dari negara kami, Irian Barat harus segera dilepaskan”. Lalu Kennedy membalas “Tetapi orang Papua adalah ras yang berbeda”.....
Sukarno menjawab lagi “Tuan Kennedy, jangan lupa di Amerika Serikat itu lebih rupa-rupa lagi ras-nya. Kelak bisa saja Amerika punya Presiden Kulit Hitam atau Menteri Pertahanan ras Arab. Sebuah negara tidak ditentukan oleh ras, sebuah nation tidak dibangun dari prasangka-prasangka rasial, tapi sebuah negara dibangun dari keinginan bersama untuk membebaskan dirinya untuk masa depan lebih baik”.......

Akhirnya Kennedy mengerti jalan politik Indonesia, tapi ia punya posisi terkunci. Sukarno akhirnya bermain-main taruhan modal untuk menggebuk Belanda sendirian, sebenarnya Bandrio sudah memberi usul “Baiknya total diplomasi saja, Amerika tidak mau perang disini” tapi kata Bung Karno “Saya tau watak orang Belanda, kalau tidak diserang militer, mereka itu bisa memainkan fakta, orang Belanda takut dengan perang beneran”....

Kemudian Sukarno memanggil Adam Malik untuk membantu permodalan militer Indonesia. Adam Malik meminta Nasution memaintain pinjaman militer besar-besaran dari Moskow, sekejap Indonesia mendapatkan duit Moskow. Lalu Indonesia membangun pertahanan militer terbesar di Asia. Kapal-kapalnya siap bertempur dan membuat Belanda gemetar.

Ada satu hal yang terlupa disini, adalah Sukarno terlalu ceroboh meminjam hampir 1 milyar dollar sementara devisa Indonesia belum cukup, kondisi ini kelak akan memicu inflasi. Ini sudah diperhitungkan bagi intel-intel CIA. Justru mereka menunggu dulu sikap JFK yang masih saja membela Sukarno.

Ternyata lewat jalan berliku Irian Barat direbut Indonesia, Belanda marah besar pada Amerika Serikat bahkan perebutan itu tanpa duit sama sekali seperti kejadian KMB 1949. Tapi ada hal paling penting disini, Indonesia udah kebanyakan pinjaman, Sukarno akan rapuh secara ekonomi, inilah yang diperhitungkan maka langkah intelijen Amerika Serikat yang amat tidak suka Sukarno adalah : Menetralisir Kennedy dan membuat Sukarno terjebak dalam perang baru...............

Lalu Inggris mendapatkan bola untuk mempermainkan Sukarno soal Malaysia.

Akhirnya John F Kennedy ditembak, Sukarno mati di Wisma Yaso. Hati-hati dengan persoalan Irian Barat, karena inilah pulau dimana Amerika Serikat juga memiliki kesejarahan historis yang amat kuat. Jangan sampai terjebak provokasi, seperti cerita Kolonel Lubis soal tawaran CIA untuk meledakkan pangkalan minyak milik Caltex agar pasukan Marinir ada alasan untuk menjaga investasinya. Persoalan Irian Barat sekarang amat pelik, mungkin hanya satu penyelesaiannya : “Mengembalikan Kesadaran Nasional dan Tujuan Bangsa ini ke depan, tanpa ini justru rasa kasihan kita bila Papua lepas maka itu akan memancing satu persatu Pulau di Indonesia merdeka. Hentikan politik kekerasan di Papua, karena ini adalah fase awal dari pemecahan Indonesia sesungguhnya”.

Kisah 9 Juli di Oranje Boulevard



Kisah 9 Juli 1942 di Oranje Boulevard

Ada kisah yang banyak orang lupa tentang bagaimana sejarah kepemimpinan negeri ini bermula sehingga melahirkan negara terbesar nomor lima di dunia. Kisah ini dimulai pada suatu senja sekitar jam 18.30 saat itu di rumah Sukarno yang baru saja ia tempati di Jalan Pegangsaan, datanglah Gatot Mangkupradja yang membawa kabar bahwa Sjahrir akan melakukan politik penolakan terhadap Jepang dan lebih memilih berjuang secara illegal.

"Kabarnya ia sudah punya tempat di Cipanas sebagai pusat kegiatannya, tapi saya tak tau pasti apakah itu benar" kata Gatot di depan Bung Karno.
"Lalu bagaimana dengan Hatta?"
"Inilah bung yang saya kuatirkan, andai Hatta ikut nanti kelompok Illegal kebanyakan, kalau mereka kalah atau ditangkap kempetai kita akan banyak kehilangan pemimpin, Amir sudah bangun kelompoknya sendiri di Surabaya dia nggak bakal mau muncul ikut-ikutan Dai Nippon"
"Ya...ya aku paham maksud kau Gatot...aku paham kita memang terpaksa harus kerjasama dengan Dai Nippon, itu sebuah keterpaksaan, karena aku tak mau rakyat kehilangan pemimpinnya dan kemudian Nippon mengangkat pemimpin boneka yang akan menyulitkan banyak orang nantinya".

"Gatot makanlah dulu, nanti habis sholat Isya aku coba ke rumah Hatta" kata Sukarno sambil menyuruh salah seorang pelayannya menyiapkan makanan. Saat Gatot makan malam, Sukarno shalat Isya. Dalam sholat itu Sukarno berdoa dalam-dalam agar kepemimpinan negeri ini bisa terjaga, setelah Sholat selesai Sukarno agak lama merenung air wudhu-nya belum mengering.

Jam 20.30 Sukarno dengan masuk ke dalam mobil Studebaker-nya yang disetiri Arif. "Rif, kita ke rumah Hatta di Oranje Boulevard" mobil itupun berjalan ke arah rumah Hatta di Oranje Boulevard (sekarang Jl. Diponegoro, Menteng). Saat itu Hatta sedang membaca buku di ruang perpustakaannya yang rapih. Tau ada mobil memasuki halamannya Hatta keluar teras. Tak berapa lama Sukarno keluar dari mobil.

"Oh, No...masuk-masuk...." seru Hatta menyambut Sukarno.
Hatta membawa Sukarno ke ruang tamunya. "Sedang apa kau Hatta?" tanya Sukarno kepada Hatta. "aku lagi baca buku...wah ini gara-gara Sjahrir bawa anak asuhnya, tiga peti buku-ku terpaksa aku tinggalkan di Banda" kata Hatta seraya menyesali bukunya yang tertinggal.

"Oh, begitu hahahaha....Sjahrir...Sjahrir" Sukarno tertawa keras. Tak lama kemudian muncul asisten Hatta menyajikan minuman. Setelah selesai asisten itu menyiapkan minuman Sukarno berdehem. "Hatta...."
"Ya" jawab Hatta menyambut panggilan lirih Sukarno.
"Aku dengar Sjahrir akan melakukan gerakan bawah tanah?"
"Ya, dua hari yang lalu ia bilang begitu, ada bungalow bibinya di Cipanas yang akan jadi pusat gerakannya"
"Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya Sukarno lagi.
"Aku belum bisa memutuskan, No...."
"Begini Hatta, aku tau kau dan aku bukanlah jenis sahabat yang cocok, kau berbeda total dengan aku dari sisi apapun. Tapi kita dihadapkan pada situasi amat genting, pertaruhan terbesarnya adalah bila kita tidak muncul Jepang akan mempersiapkan pemimpin-pemimpin boneka yang hanya semata-mata mencari keuntungan kekuasaan dan materi. Ya...aku akui memang aku bertaruh saat ini, tapi bagaimanapun Dai Nippon adalah realitas"
"Bagaimana menurutmu bila kita tampil ke muka?" kata Hatta lagi sambil menerawang wajah Sukarno.
"Kita menjawab tanggung jawab terhadap negeri ini. Dan memang dunia ini aneh Hatta....aneh, kau yang dulu terus menerus menyerangku tapi anehnya aku hanya percaya sama kau untuk memimpin negeri ini".

Seperti yang diketahui sebelumnya pada tahun 1932 Hatta menulis tentang kisah Sukarno yang meratap-ratap minta ampun pada Pemerintah Hindia Belanda. dan sejak saat itu Hatta juga banyak mengeritik Sukarno. Tapi Hatta juga yang kemudian berusaha menyelamatkan keberadaan Partai Sukarno saat Sukarno dibawa ke penjara oleh Pemerintahan Hindia Belanda.

Hatta diam, ia berpikir dalam-dalam. Hatta tak suka pada Jepang, tapi rasa tak suka ini mau tak mau harus disingkirkan, sebab bila Sukarno ditinggal sendirian, Sukarno malah bisa menjadi makanan sekutu nantinya apabila Jepang kalah. Dan apabila Jepang menang, Sukarno malah bisa terjebak menjadi pemimpin boneka. Ia harus menjaga irama perjuangan ini, Hatta dipercaya oleh elite intelektual, sementara Sukarno sudah amat dikenal oleh bangsanya, sulit membayangkan negeri ini merdeka tanpa melihat Sukarno. Sejak tahun 1922 sampai 1942, sekitar 500 artikel tulisan Sukarno di Koran-koran menjadi bacaan masyarakat luas, seluruh rakyat bangsa ini seakan selalu menunggu tulisan Sukarno yang bernas itu.

“Baiklah, aku akan mendampingimu memimpin negeri ini, No….” kata Hatta ia paham sahabatnya ini tak akan mampu berjalan sendirian, ia adalah orang yang bergelora tapi kadang-kadang ia sering terjebak pada gelora yang membawa isi hati.

“Lupakan semua perbedaan kita dimasa lalu, kita harus bertanggung jawab terhadap masa depan negeri ini” Hatta mengulurkan tangan ke Sukarno, dan mereka bersalaman. Lalu berpelukan “Sekarang kita satu, disatukan dalam perjuangan yang sama”

“Setuju” sejak itulah Sukarno dan Hatta tak pernah pisah lagi. Setelah selesai kemerdekaan Sukarno selalu meminta Hatta menulis pidato-pidato resminya, atau setiap pidato resmi yang ditulis Sukarno dibaca Hatta dulu.

Tapi persahabatan bukanlah soal cerita romantika pertemanan, persahabatan punya caranya sendiri mengembangkan sayap pikiran-pikiran. Di tahun 1956 Hatta mengundurkan diri karena Parlemen membatalkan persetujuan perjanjian KMB 1949. Di tahun 1957 Sukarno karena alasan mulai intervensinya Amerika Serikat, ia mengutarakan ide Demokrasi Terpimpin. Hatta marah atas ide Sukarno lalu ia menuliskan artikel “Demokrasi Kita” di tahun 1960 menanggapi dibubarkannya konstituante dan pembubaran dua partai politik besar : Masjumi dan PSI.

Kemarahan antara Sukarno dan Hatta adalah sebuah kemarahan yang aneh, hanya mereka berdua yang tahu.

Namun kemarahan dua orang yang paling bertanggungjawab terhadap pendirian Republik ini menjadi luntur menguap oleh waktu, saat di tanggal 16 Juni 1970 Hatta menulis surat dengan air mata yang menetes. Surat itu adalah permohonan kepada Presiden Suharto agar ia bisa bertemu dengan Sukarno sahabatnya yang diinternir Suharto di Wisma Yaso. Setelah kondisinya gawat ia dirawat di RS Gatot Subroto, itupun setelah Suharto dipaksa oleh Rachmawati untuk membawa ayahnya ke RS.

Tanggal 19 Juni 1970, utusan Suharto datang dan mengabarkan Hatta bisa menengok Sukarno. Diantar puterinya Hatta ke kamar Sukarno yang bau dan pengap, kaleng ada dimana-mana, ada sebuah Koran bekas, dan baju-baju lusuh bergelantungan. Hatta diam saja melihat keadaan ini dia terus menahan gejolak di hatinya, seorang yang sepanjang hidupnya bermimpi mendirikan Negara ini, dipenjara untuk bangsa ini berakhir pada kamar yang amat kumuh, ditempatkan pada ruang perawatan kelas miskin.

Hatta memegang bahu Sukarno, lalu Sukarno yang sedang tertidur membuka matanya “Ah, No” kata Hatta.
“Hatta…Hatta” air mata Sukarno keluar dan membasahi bantal. “Hoe gaat het met jou?” Hatta diam saja tangannya memijiti tangan Sukarno yang panas, tapi tak lama kemudian tangis Hatta meledak. Sukarno minta dibangunkan dan diambilkan kaca mata lalu memandang Hatta lama.

………lama sekali dan kemudian dua orang yang pernah melahirkan bangsa ini menangis pada sebuah kamar yang pengap.

Inilah tangisan sejarah, tangisan masa depan. Dan masa depan itu adalah kini. Sukarno-Hatta menangis, karena di masa depan Indonesia pejabat hanya berfoya-foya makan duit yang seharusnya dibangun untuk kesejahteraan bersama, karena wakil rakyat seperti tak punya hati, saat dikritik soal hidup mewah, malah balas menjawab ‘kenapa kau jadi munafik…” seakan-akan pembenaran harta benda menjadi ukuran segala-galanya, inilah sebuah keadaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, sebuah amoralitas dan kebangkrutan sebuah idée atas nasionalisme kita.

Seandainya Sukarno atau Hatta mau mereka akan lebih memilih ke Australia daripada memimpin dengan resiko digantung Jepang, mereka aman dengan Belanda. Sjahrir juga akan lebih memilih hidup nyaman di Australia daripada harus bertarung nyawa tiap waktu untuk menggerakkan gerakan bawah tanah. Tapi kita tau mereka bukanlah pemimpin boneka, mereka lahir dari Lumpur sejarah, mereka memimpin karena dirinya memang berkualitas, bukan karena mereka anak siapa, atau punya mertua siapa.

Kepada kisah Sukarno dan Hatta kita banyak belajar bagaimana sebuah tanggung jawab kepemimpinan harus dijalankan.

Sukarno dipenjara untuk Kemerdekaan Bangsanya




Setelah Sukarno membaca Indonesia Menggugat hakim tetap memutuskan Sukarno bersalah dan ia harus dipenjara di Sukamiskin. Sukarno adalah seorang Sarjana Teknik Arsitektur, saat itu Kota Bandung sedang menggeliat menjadi kota besar bahkan Bandung mendapat predikat kota kolonial terbaik di dunia pada perlombaan tata ruang kota di Afrika Selatan pada tahun 1928. Profesi Arsitektur saat itu booming, Sukarno ditawari menjadi pegawai pemerintah untuk mendesain bangunan-bangunan pemerintah, sarana umum seperti jembatan dan desain taman kota. Tapi Sukarno menolak, walaupun ia ditawari gaji : 5.000 gulden, namun Sukarno berkata pada orang yang menawarinya "Saya memang akan hidup enak dengan gaji seperti ini, saya bisa menyenangkan orang tua saya, saya bisa bahagia membangun rumah tangga tanpa kekurangan sedikitpun. Tapi bila saya terima ini, bangsa saya tidak akan berubah. Dan mimpi-mimpi saya seperti akan menjadi tergadaikan hanya untuk kesenangan pribadi. Bagi saya Tuan, perjuangan untuk bangsa ini, diatas segala-galanya. Saya hidup diatas landasan mimpi saya, dan dengan begitu saya tidak mengkhianati mimpi-mimpi saya dan mimpi jutaan orang dari bangsa ini, bangsa yang bermimpi memiliki kebebasannya".


Ia yang berjuang demi bangsanya, rela masuk bui pada sel kecil sempit dan bau, ia rela mengorbankan kesenangan-kesenangan pribadinya. Dia hanya bisa berolahraga menghangatkan dirinya dengan matahari hanya satu jam lalu dikurung lagi. Inilah watak manusia sesungguhnya, ia berjuang demi mimpi dan Sukarno hanyalah satu dari representasi ribuan manusia Indonesia yang rela dikurung badannya demi sebuah bangsa. Mereka menolak kesenangan dunia, mereka bersatu menderita demi mimpi yang mereka inginkan.

Lalu kemanakah bangsa yang diimpikan Sukarno ini? Bangsa yang sudah didirikan dengan pengorbanan bui, buang dan bunuh ini. Puluhan tahun setelah Sukarno mati, puluhan tahun setelah apa yang diimpikannya berhasil, rakyat negeri ini hanya melihat dagelan-dagelan politik yang isinya pembohongan semua. Dari Presiden sampai pegawai sekecil-kecilnya memamerkan cara terampil berkorupsi, tak ada gairah perjuangan, gairah hidup menderita demi terwujudnya mimpi, semua senang-senang menghamburkan uang rakyat, uang yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan umum.

Pada diri Sukarno, pada ribuan orang yang hidup di Digoel, Pada kematian-kematian di masa Orde Baru yang berjuang menggulingkan pemerintahan fasis, hendaknya Presiden SBY merasa malu, bahwa negerinya berjalan seolah tanpa etika.

Kelahiran Sukarno



Kelahiran Bayi Kusno dan Kelahiran Sukarno

Pagi setelah Subuh, Pada 6 Juni 1901 di satu jalan sempit perkampungan Surabaya, telah lahir seorang bayi lelaki yang dinamakan Kusno dari seorang ayah bernama Sukemi Sosrodihardjo. Sukemi memberikan nama anak ini singkat saja : Kusno, lalu beberapa jam setelah kelahirannya, ia menuliskan surat kepada saudara-saudara isterinya yang berada di Singaraja, Bali :"Telah lahir anakku yang kuat dan sehat, berwajah bersih dan menawan. Semoga kelak dia akan berguna untuk bangsa ini dan kebaikan kita semua" Setelah menerima surat Sukemi, saudara-saudara Nyoman Rai langsung beribadah di Pura memohon agar bayi ini diberi perlindungan dewata, di Surabaya Kusno kecil juga di adzani sesaat setelah dilahirkan. Sejak bayi, Sukarno memang ditakdirkan tidak hanya direstui satu jenis doa saja. Ia dilahirkan dalam situasi-situasi penuh perbedaan.

Beberapa bulan kemudian ia tumbuh menjadi bayi yang ringkih, ia sakit-sakitan. Lalu Sukemi mengganti nama Kusno menjadi nama Sukarno. Dan entah kenapa penyakit panasnya kontan sembuh.

Sukarno kecil tumbuh menjadi anak yang lincah, ia amat suka bermain. Dan dalam permainan ia ingin selalu menjadi pemenang. Jika tidak maka lawan akan dihantamnya atau mainan kawannya dibuang ke kali, dan kelak di masa tuanya Sukarno bercerita pada Cindy Adams "Aku ingin selalu menjadi pemenang, bila kawanku memiliki gasing yang lebih baik dan lama berputarnya, dan aku gagal mengalahkannya maka gasing itu kuambil lalu kubuang. Itulah cara-cara Sukarno dia tidak boleh dikalahkan".

Perjalanan hidup Sukarno tak bisa dilepaskan dari dua hal : Buku dan Mimpi. Perkenalannya dengan dunia buku pertama kali adalah saat ia sudah bisa membaca di umur 6 tahun. Ayahnya pulang mengajar dan membawa buku cerita tipis tentang cerita-cerita anak Belanda. Sejak itu Sukarno suka sekali membaca. Suatu saat ayahnya mengajak ke perpustakaan di tengah kota dan Sukarno melihat sebuah buku yang amat menarik judulnya "David Copperfield" karangan Charles Dickens, buku inilah yang kemudian membawa Sukarno pada kesukaan membaca dunia sastra, dan entah kenapa penderitaan David Copperfield justru mengilhami dirinya Pertama, ia selalu mengindentifikasikan dirinya sebagai David Copperfield dan kedua, ia mulai belajar tentang susunan masyarakat berdasarkan kelas-kelas sosial. Disini Sukarno mulai mengerti tentang situasi penindasan, setidaknya penindasan satu manusia dengan manusia lainnya.

Sukarno selalu bermimpi menjadi pembebas, ia seorang sembrono dalam memutuskan sesuatu, sama ketika saat ia pulang sekolah dan melihat beberapa sinyo bermain bola lalu ia ikut bermain di tengah lapangan dan sinyo-sinyo tersebut mengusirnya lalu Sukarno dihajar habis-habisan, atau Sukarno tanpa seijin ayahnya memacari wanita Belanda dan kemudian diusir ayah pacarnya itu, sakit hati Sukarno inilah yang kemudian menjadi dasar pembentukan dirinya di masa depan. Sukarno sedikit-sedikit mulai paham bahwa bangsanya dijajah oleh bangsa lain.

Suatu hari Sukarno sedang menumbuk beras di pelataran, lalu ia melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan rumahnya. Ia melihat seorang lelaki berusia 30-an, langsing dan berkumis baplang. Ia memanggil Sukarno dan bertanya "Apa ini rumah Pak Sukemi?" Sukarno mengangguk, ada getar di hatinya saat melihat wajah orang itu. Sukarno seakan melihat masa depannya. Orang itu adalah HOS Tjokroaminoto.

HOS Tjokroaminoto adalah bidan yang melahirkan watak-watak Sukarno, dan pertemuan dengan Tjokro inilah yang kemudian menjadi kelahiran kedua bagi diri Sukarno melihat dunia.


Anton Djakarta, 6 Juni 2011

Pancasila itu Rumah Kita, Bukan Ideologi Kita




Pancasila Itu Bukan Ideologi Kita, Tapi Pancasila Adalah Rumah Kita

Di tanggal ini 66 tahun yang lalu pada sebuah komite persiapan kemerdekaan, Sukarno sebagai ketua bicara kepada banyak anggota yang terdiri dari perwakilan masyarakat, tokoh agama, birokrat dan perwakilan militer Jepang yang saat itu menguasai Indonesia. Bung Karno berpidato tentang bagaimana sebuah negara berdiri, bagaimana sebuah negara memiliki tujuannya, apa dasar-dasar dari tujuan itu. "Itulah yang kusebut sebagai Philosofische grondslag (dasar filosofi) dari Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi".

Sebuah bangsa harus berdiri dengan konsep. Tanpa itu ia menjadi hampa. Sebuah bangsa harus menyadari sejarahnya, karena dengan sejarahnya ia tahu siapa dirinya. Maka Sukarno berkata pada tahun 1960-an, "Pancasila bukanlah sebuah penemuan raksasa seperti yang ditemukan Marx pada meja-meja perpustakaan London, bukanlah sebuah hasil pergesekan pemikiran-pemikiran seperti yang ditemukan para pemikir Perancis, atau perdebatan-perdebatan dari pendiri Amerika Serikat tapi Pancasila adalah persoalan bagaimana sebuah bangsa bisa mengenang masa lalunya, tau siapa dirinya dan bagaimana dirinya bekerja di tengah masyarakat dan hadir untuk masa depan dunia".

Pancasila adalah "Kumpulan kesadaran Kita" maka apabila kita asing dengan Pancasila, itu bukan kita terasingkan dari ideologi atau hapalan-hapalan Pancasila tapi kita terasingkan pada diri kita sendiri, kita terasing dari kesadaran kita. Disadari atau tidak Pancasila adalah definisi dari manusia Indonesia itu sendiri. Baik sebagai impian, sebagai cita-cita dan sebagai manusia yang merumuskan hidupnya.

Manusia Indonesia senang bercerita, mendongeng, mencari, beribadah dan amat percaya pada Iman KeTuhanan. Manusia Indonesia pada hakikatnya adalah orang yang mencari Tuhannya. Orang yang mencari bagaimana suasana kebatinan itu bertemu dengan Tuhan, se Atheisnya pun dia, Se Sekulernya pun dia, dia pasti dilandasi pada ajaran-ajaran agamanya, pada dasar-dasar dia punya do'a. Seperti DN Aidit pemimpin PKI, sejak kecil dia khatam mengaji Al Qur'an, sejak muda ia disiplin shalat bagaimana kemudian kehidupannya menjadi amat percaya dengan materialisme yang menafikan nilai-nilai paramateri tapi sebagai manusia Indonesia DN Aidit sekalipun akan berdoa ketika ia menemukan kesulitan dalam hidupnya, karena itulah watak manusia Indonesia sesungguhnya. Ia merupakan gambaran Iman yang naik turun, ia merupakan epos manusia menemukan dirinya dalam gambaran Tuhan. Seperti yang digambarkan Hamka dalam Tasawuf Modern "Manusia harus menciptakan keseimbangan jasmani dan rohani, antara materi dan non materi, lebih dari itu manusia harus aktif di dunia ini" Konsepsi keTuhanan disini adalah KeTuhanan yang aktif, ia punya sejarah di muka bumi sebagai sebuah bentuk kesadaran bahwa manusia mencari Tuhannya. Dan ketika manusia mencari Tuhan, manusia memiliki pengalaman pribadi, pengalaman ini dihargai oleh masyarakat sebagai pengalaman keTuhanan baik itu menggunakan disiplin agama, spiritual atau ritual-ritual yang tidak menyimpang nilai-nilai kemanusiaan. Rumah Ibadah di tengah-tengah masyarakat yang hidup dengan damai adalah sebuah harmoni dasar bahwa Manusia dihargai Kemanusiaannya dalam Mencari dan menemukan Tuhannya.

Manusia yang sudah menemukan Tuhan, sudah menanamkan nilai-nilai KeTuhanan dalam dirinya maka ia mendapatkan nilai kemanusiaan. Dari kemanusiaan maka lahirlah hukum-hukum yang beradab, hukum-hukum yang adil. Konsepsi keadilan ini harus mempertimbangkan dengan detil. “Bahwa Keadilan adalah proses membacai Kemanusiaan, keadilan adalah membangun peradaban, membangun hukum yang tahu tatanan”.

Dengan tatanan itu maka manusia diarahkan untuk bersatu. “Persatuan Indonesia” bukanlah kata singkat, ia adalah proses pembentukan peradaban baru, Indonesia Baru, dimana manusia yang jumlahnya terdiri ratusan suku, beratus-ratus bahasa dilebur menjadi “Manusia Indonesia”. Konsepsi Manusia Indonesia inilah yang digadang-gadang Bung Karno sebagai manusia yang akan berhadapan dengan “Manusia Liberal Ekonomistis model Amerika Serikat”, “Manusia Fasisme” seperti Jerman (apa yang terjadi di Jaman Hitler), “Manusia Komunisme” (Seperti yang diproyeksikan Leninisme). Manusia Indonesia akan menjadi model dari pertumbuhan sejarah lingkungan yang mempengaruhi jiwa manusia itu dalam menanggapi perkembangan lingkungan. Jadi Persatuan Indonesia adalah Peradaban kita sendiri, konsepnya bukan saja persatuan wilayah NKRI tapi bersatunya tubuh dengan pikiran terhadap Konsepsi-Konsepsi dasar manusia dalam berbangsa.

Manusia Indonesia adalah Manusia yang bermusyawarah, ia senang berdialog, ia senang membangun komunikasinya lewat nada-nada harmoni, ia tidak dilahirkan dari persaingan, tidak dilahirkan dari definisi-definisi ruang “main benar sendiri”. Manusia Indonesia adalah definisi dari manusia yang senang merumuskan satu hal dengan mendengarkan suara yang lain dan suara masyarakatnya. Inti dari Musyawarah adalah “Terciptanya Harmoni, situasi dimana tidak ada perdebatan-perdebatan yang menyakitkan hati dan menghasilkan kemarahan”.

Keadilan Sosial adalah tujuan dari bangsa ini berdiri. Manusia menemukan keadilannya bukan dari apa yang ia butuhkan tapi dari situasi apa yang ia rasakan kemudian perasaan itu menemukan hukum-hukumnya, menemukan apa yang berkembang di tengah masyarakat. Keadilan Sosial adalah situasi dimana kita bisa mendirikan bangunan penting yaitu : Kesejahteraan Umum.

Jadi Pancasila itu adalah diri kita sendiri, proyeksi manusia Indonesia menemukan dirinya. Itu adalah karakter dasar dan bukan ideologi yang harus dicekoki. Apabila di hari-hari ini kita lihat ada gerakan agama yang mau menang sendiri, membakari rumah ibadah itu akan berhenti dengan sendirinya karena tidak sesuai dengan karakter bangsa ini, bila juga kita lihat beberapa orang yang berlagak menjadi barat, berlagak mengalami transformasi intelektual kebarat-baratan kemudian menafikan adanya bangsa, adanya nasionalisme, mentertawakan Sukarno, mentertawakan Sosialisme yang dipikirkan para pendiri bangsa, mengatakan modal asing dan persaingan pasar bebas adalah dewa, maka itu juga akan hancur dengan sendirinya, karena karakter dasar kita akan menolaknya.

Pancasila itu adalah sejarah diri kita, sejarah nilai-nilai kita dia bukan ideologi yang dipaksakan karena Pancasila adalah Rumah Kita Sendiri.

Anton Djakarta, 2011.

Perjalanan Dinas Pejabat Jaman Dulu


Perjalanan Dinas Para Menteri

Pada awal kemerdekaan RI, para menteri bekerja keras untuk menjangkau semua pemimpin-pemimpin di daerah sampai ke Udjung Timur Djawa. Mereka melakukan penataan sistem koordinasi pemerintah agar semua berpihak pada Kelompok Proklamasi Pegangsaan Djakarta. Mereka menggunakan sarana transportasi kereta untuk mengunjungi banyak wilayah di pedalaman Jawa.

Mereka menunggu di peron tanpa ruang tunggu VIP, tidak berlagak menjadi pedjabat, tidak menggunakan uang dinas macam Studi Banding DPR yang milyaran untuk mempelajari etiket merokok di ruangan. Hidup mereka dibaktikan untuk Negara Indonesia Raya. Bagi kejayaan masa depan.

Mengukur Imajinasi Sukarno


Mengukur Imajinasi Sukarno

Mempelajari Sukarno adalah sebuah imajinasi, sebuah degup yang mungkin tidak akan pernah berhenti. Sukarno dibesarkan oleh ilmu pengetahuan cara barat, tapi ia selalu berpikir dan bertindak dengan cara-cara Jawa. Orang Jawa tidak pernah menggunakan rasio-rasio yang terukur untuk membangun tindakan, mereka lebih mengedepankan insting-insting yang dipercayainya, mereka membangun tindakan dari rangkaian insting itu. Mustahil mempelajari Sukarno dan apa yang dilakukannya tanpa kita melibatkan banyak unsur kultural, sejarah kekuasaan Jawa, psikologis kekuasaan Jawa, cara orang Jawa melihat masa depan, cara orang Jawa mendalami siklus jaman dan yang terpenting dialektika jaman yang bekerja.

Puncak kerja Sukarno adalah tahun 1960-an, yang oleh sejarawan Orde Baru dilabur sebagai tahun kebangkrutan Indonesia. Tapi sadarkah kita? di tahun-tahun itu Indonesia berada pada puncak sejarahnya. Puncak keagungannya? Militer kita terbesar nomor lima di dunia, pengaruh diplomasi kita meliputi hampir separuh dunia. Di luar Amerika Serikat dan Sovjet Uni, Indonesia-lah yang paling berperan dalam dunia politik internasional.

Kemiskinan di masa Sukarno yang diberitakan oleh media-media barat ini tak lebih antrean minyak tanah pada masa SBY, bahkan PKI yang kerap memprotes tindakan pemerintah oleh sejarawan Orde Baru dianggap sebagai penyebab lesunya ekonomi. Analisa ini menjadi lucu karena PKI berada diluar struktur pemerintahan. Ekonomi Indonesia tidak morat-marit sama sekali di Jaman Bung Karno, bahkan bila kita melihat secara EVA (Economics Value Added) rangkaian kinerja Sukarno tahun 1960-1965 memiliki nilai tinggi di masa depan, yaitu apa? -adanya penguasaan secara penuh modal nasional-. Sukarno dengan tahapan-tahapannya mengarahkan negara untuk menguasai modal nasional secara utuh. Dengan penguasaan modal nasional maka ia bermimpi : Biaya kesehatan dibiayai gratis, sekolah anak-anak bangsa gratis, dia bisa membiayai anggaran militer yang kuat dan seluruh Indonesia dibangun pelabuhan-pelabuhan dagang yang kuat serta ramai dan menjadi jalur penting perdagangan dunia. Tapi ekonom cupet, sejarawah tolol banyak melihat sesuatu hanya satu scoupe, satu dimensi, gagal melihat sesuatu dengan gairah keseluruhan.

Di jaman Sukarno ketimpangan kekayaan nyaris tak ada. Anak Menteri dan anak rakyat biasa bersekolah di tempat yang sama, naik sepeda dengan merek yang sama, korupsi kalaupun ada jelas penyelesaiannya. Tidak ada kelompok atau orang yang berani korupsi dalam skala raksasa, karena kalau itu terjadi maka beresiko dihadapkan ke regu tembak.

Tapi masa Sukarno mungkin sudah lama berlalu, kita melewati sedemikian lama pengelabuan sejarah Orde Baru, dan sekelompok orang sekarang yang tak percaya bagaimana dunia sosialisme bekerja. Kita dipaksa untuk percaya bahwa Mall-Mall, Ruang Perbelanjaan Kapitalis, Rumah Sakit Mahal, Universitas Mahal adalah masa depan Indonesia, kita dipaksa percaya untuk itu.

Mimpi-mimpi Sukarno menjadi hantu yang menakutkan bagi mereka.............

Rapat Raksasa Lapangan Ikada


Mengungkap Rapat Ikada : Ketika Tan Malaka Menguji Kekuatan Sukarno

Peristiwa Lapangan Ikada 19 September 1945, bukan semata-mata sebuah demo biasa, atau sebuah acara kumpul bareng yang melibatkan ratusan ribu orang, sebuah gerakan terorganisir awal dalam sejarah Indonesia modern untuk membentuk jaringan perlawanan terhadap kemungkinan datangnya Belanda yang membonceng sekutu, sekaligus sebuah statemen kepada pihak luar bahwa Indonesia telah memiliki pemerintahannya sendiri.

Rapat Ikada 19 September 1945 ini bermula di Bogor, pada sebuah gang sempit di rumah Pak Karim, seorang penjahit dimana di belakang rumahnya itu ada seseorang paling legendaris dalam pergerakan perjuangan Indonesia di tahun 1920-an dan merupakan orang yang paling inspiratif bagi para pemuda agar mereka keluar dari rumah nyaman mereka lalu membentuk sebuah bangsa Merdeka. Tan Malaka menulis dua buku yang amat berpengaruh kepada banyak para orang pergerakan :”Massa Actie dan Naar de Republiek”. Kemunculan Tan Malaka pertama kali ke permukaan publik banyak diragukan orang, selain itu Tan Malaka masih dihinggapi perasaan curiga kepada siapapun, sebagai akibat selama lebih dari 20 tahun dikejar-kejar untuk dibunuh oleh intel-intel Belanda dan Inggris. Tan Malaka pertama kali bertemu dengan seseorang bernama Achmad Soebardjo di Djakarta, tapi Soebardjo merahasiakan pertemuan ini, nama Tan Malaka belum keluar dulu, karena Soebardjo sendiri masih belum bisa menentukan siapa lawan siapa kawan, begitu juga dengan Tan Malaka. Soebardjo adalah kawan lama Tan Malaka yang bisa dipercaya, mereka berkawan akrab sewaktu di Belanda.

Di kalangan gerakan pemuda ada dua kelompok : kelompok pertama dipimpin Erie Soedewo, yang amat moderat, pilihan politiknya berunding melulu tapi karena mereka terpelajar dan bagian dari elite mahasiswa waktu itu, mereka memiliki akses kuat ke Sukarno dan Hatta. Kelompok dibawah Erie Soedewo ini dikenal sebagai kelompok Prapatan 10. Sementara kelompok lain adalah pemuda-pemuda otodidak, pemberani, dididik langsung dari situasi kegelisahan rakyat, mereka adalah kelompok yang dulunya banyak ngumpul-ngumpul di Pasar Senen. Mereka ini sangat radikal dalam memilih jalan politik mereka, mereka pengen adanya perang sehingga Indonesia bisa berdiri secara utuh, mandiri dan tidak bergantung pada kepentingan asing. Kelompok ini disebut Menteng 31, dalam jalur Menteng 31 ini dibuatlah sebuah Komite, bernama Komite Van Actie

Komite Van Actie ini terdiri dari 11 orang salah satunya adalah Maruto Nitimihardjo (orang yang paling dituakan di Kelompok Menteng 31), Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Sayuti Melik, Wikana dan Chaerul Saleh. Mereka juga punya lingkaran dua untuk menggerakkan ini salah satunya adalah DN Aidit. Kelompok Menteng 31 ini kemudian menjadi kekuatan penggerak dalam Revolusi Djakarta pada jam-jam pertama. Suatu hari Maruto dikabari akan kedatangan Tan Malaka. Pandu yang mendengar ini berkata “Tan Malaka sudah sering bertemu dengan Bung Karno” Maruto menjawab : “Apa benar itu Tan Malaka asli?, jangan-jangan itu Tan Malaka palsu yang membuat langkah-langkah pemuda menjadi salah arah dan membuat pemuda hanya jadi kepentingan Jepang”. Esoknya Maruto didatangi seseorang dan mendapatkan sebuah alamat Tan Malaka tinggal. “Dia tinggal di Bogor, pada sebuah gang sempit di rumah seorang penjahit bernama Pak Karim”. Kata seseorang kurir. Lalu Maruto mencari beberapa kawannya untuk mengetahui kebenaran itu. “Apa benar ini Tan Malaka?” kata Maruto kepada Pandu, Adam Malik dan Sukarni dan beberapa orang tokoh pemuda Menteng 31. Lalu salah seorang dari mereka mengusulkan “kita cari saja orang-orang yang mengenal Tan Malaka langsung, di Pasar Senen banyak orang Minang yang dulu kenal Tan Malaka”.

Lalu dibawa beberapa orang yang mengaku kenal Tan Malaka asli sewaktu Tan Malaka masih di Bukittinggi, selain itu disiapkan pertanyaan-pertanyaan soal Massa Actie yang merupakan hasil pemikiran politik penting Tan Malaka. Ketika bertemu mereka semuanya terpesona dengan Tan Malaka yang saat itu dikenal dengan nama Iljas Hussein. Tan Malaka menguraikan Massa Actie dengan amat detil dan membuat mereka mulai ngeh, selain itu Maruto menggeret salah seorang yang kenal dengan Tan Malaka tadi ke luar rumah “Apa benar itu Tan Malaka asli?” tanya Maruto. “benar”...jawab orang itu. “dasarnya apa?”

“Di dunia ini hanya satu orang yang saya pernah lihat orang punya daun telinga besar, ya sebesar Tan Malaka itu” Maruto menahan tawa mendengar jawaban keluguan orang yang mengaku kenal Tan Malaka.

Lalu Maruto masuk kembali ke dalam rumah dan menanyai pada Tan Malaka “Apakah Bapak Tan bersedia untuk bertempur dengan Djepang?” jawab Tan Malaka. “Bukan hanya bersedia tapi harus!..Djepang harus diperangi, begitu juga nanti Belanda atau Inggris atau siapa saja pasukan asing harus diperangi”. Detik itu juga Maruto tersadar inilah Tan Malaka asli, karena Tan Malaka palsu tak mungkin mau bila disuruh melawan Djepang. Maruto bersikap sangat hati-hati karena sebelumnya memang banyak muncul Tan Malaka palsu, yang disuruh Jepang pidato di tengah rakyat. Bahkan di Bukittinggi, Tan Malaka palsu sempat di elu-elukan rakyat banyak.

Di dalam pertemuan Bogor itu pula Tan Malaka menguraikan efektifnya sebuah gerakan. Tan Malaka lalu menguraikan dengan detil konsep perjuangannya. “Saya ingin tahu kepada kalian apa tujuan kemerdekaan itu?” para pemuda diam saja, karena mereka tau ini pertanyaan retoris.

“Tujuan kemerdekaan itu adalah pembebasan, kesejahteraan dan total kita lepas dari kepentingan-kepentingan asing yang memperbudak bangsa ini. Di dalam memperdjoangkan kemerdekaan”

“Apa ada strategi ke depan dalam perdjoangan ini, kita harus berperang atau berunding dengan musuh?” kata seseorang yang kemudian disorakin temannya “kayak anak Prapatan 10 saja berunding” Seluruh ruangan tertawa. Namun selanjutnya ruangan menjadi sunyi ketika Tan Malaka berdehem.

“Kalahnya Djepang saat ini belum merupakan penyelesaian dari seluruh akhir perang. Perang besar akan diikuti perang-perang kecil. Banyak dari bangsa-bangsa di dunia ini akan menuntut kemerdekaan baru, mereka Atlantic Charter sebagai acuan kemerdekaan, tapi sayangnya negara-negara penjajah walaupun mereka teken Atlantic Charter, mereka tak mau buru-buru lepaskan negara jajahan, negara mereka sudah hancur akibat digempur Jerman, mereka akan memeras habis-habisan negara jajahan, mereka akan terus memperbudak rakyat di negara jajahan atas persoalan dimana negara jajahan itu tak mengerti”

Lalu Tan Malaka berdiam sejenak dan memandang lurus ke arah pintu. Ia berdiri dan masuk ke biliknya lalu keluar kembali membawa sebuah buku. Entah apa maksudnya, buku itu ditaruh saja di meja kecil yang penuh dengan debu sisa rokok. “Aku sudah mempelajari ini semua dalam perkiraan-perkiraan sejarahku, dalam pikiranku, semuanya...inilah masa depan itu sesungguhnya. Tapi masa depan itu tak mudah untuk kita begitu saja, masa depan itu harus direbut satu persatu. Melihat kejadian saat ini saya yakin Belanda akan masuk ke Indonesia, mereka akan mengincar kota-kota yang kaya, mereka akan masuk ke daerah yang banyak kilangnya, mereka masuk ke daerah perkebunan karena itu sumber logistik mereka, lalu mereka akan menggunakan kekuatannya untuk mempengaruhi banyak orang Indonesia untuk membatalkan kemerdekaan, mereka akan mengadu domba antar orang Indonesia sendiri. Mereka menggunakan orang-orang Indonesia yang pro Belanda untuk berunding sehingga mengesankan bahwa di dalam wilayah ini persoalannya bukan intervensi asing tapi sebuah konflik antar manusia di dalamnya, sebuah konflik internal bangsa, diatas itulah Belanda akan menguasai Indonesia kembali”.

“Lalu dengan apa kita harus melawan” tanya Sukarni dengan mata melotot.

“Caranya Belanda harus digempur terus menerus, jangan sampai mereka bisa mengekspor hasil-hasil perkebunan yang mereka kuasai. Kita mungkin kalah senjata tapi kita menang orang, orang kita banyak, semakin luas wilayah kita kuasai Belanda tidak akan mampu melawan, mereka habis berperang, sumber dana mereka tiris, mereka tidak punya dana besar untuk melakukan perlawanan amat luas ini, itulah kemenangan kita, kita harus melakukan perjuangan menyeluruh. Di dalam perjuangan itu harus juga ada langkah taktis, yaitu : pengakuan hukum dari negara lain. Bangsa-bangsa Kapitalis tak akan mungkin mau mengakui, kita butuh pengakuan negara-negara Islam dan negara-negara Sosialis. Sementara dengan kelompok Islam kalian jangan memusuhi, justru mereka amat penting terhadap pergerakan perjuangan ini, di Indonesia Islam itu ibarat darah dalam tubuh manusia, sekarang giliran kalian mampu tidak menggerakkan semua itu?....kalian harus melakukan krachtproef, suatu uji kekuatan. Bagaimanapun pemerintahan Indonesia memang sudah ada, tapi kenyataannya apa? Seluruh jajaran administrasi kenegaraan, kepolisian dan birocratie functie masih di tangan Djepan. Ini artinya bila tak ada gerakan dari kalian, maka Djepang akan segera menandatangani pengalihan inventaris Indonesia ini ke tangan sekutu sebagai bagian dari pampasan perang. Inikah yang kalian mau?”

“Jadi kita harus perang?” tanya Sukarni lagi.

“Itulah jalan satu-satunya, dan kamu buktikan dulu apakah massa rakyat mau ikut kalian hei pemuda? Kalian harus bakar itu massa rakyat, buat mereka berkumpul, dengan begini kalian akan mengukur kekuatan kalian, dan ketaatan itu akan dibuktikan di depan banyak orang asing di Indonesia sehingga mereka akan paham siapa yang memerintah rakyat sesungguhnya”.

Pertemuan itu berlangsung berjam-jam sampai akhirnya rombongan Menteng 31 pulang dengan membawa kesepakatan akan diadakan rapat besar.

Satu minggu sesudah pertemuan itu kelompok Menteng 31 berkunjung ke Prapatan 10, sebelumnya mereka bertengkar karena soal Djohan Noer yang maunya perang total, dan kemudian anak-anak muda Prapatan 10 memilih Erie Soedewo tokoh pemuda yang lebih moderat, aleman dan dekat dengan Sukarno-Hatta. Anak-anak Menteng 31 memaksa Prapatan 10 untuk segera melakukan rapat besar “Paksa itu Sukarno untuk mau berpidato di depan rakyat”. Setelah melalui perdebatan panas akhirnya anak-anak Prapatan 10 menyetujui untuk pengaruhi Sukarno.

Tanggal 15 September 1945, sekutu melakukan penerjunan payung beberapa marinir Inggris, selain itu sekutu sudah mendaratkan lima kapal perang di Tanjung Priok. Pendaratan sekutu ini memicu dikeluarkannya surat oleh Jenderal Nagano untuk seluruh pihak agar jangan ada pertemuan-pertemuan besar yang membuat marah sekutu. Surat pengumuman ini dibawa Pandu ke meja sekretariat Menteng 31. Sukarni yang membaca surat selebaran itu langsung merobek dan menggebrak meja “benar kata Tan Malaka kita harus mengumpulkan massa rakyat” Malamnya ada kabar Tan Malaka yang masih dikenal sebagai Iljas Hussein bersedia pidato di bioskop Maxim, Cikini. Beberapa orang menjaminkan pertemuan Tan Malaka ini akan aman. Di depan bioskop Maxim, Tan Malaka berpidato luar biasa “Kita harus membangun kekuatan sendiri untuk bertempur, berani menegakkan kepala untuk sebuah kehormatan Indonesia. Kemerdekaan harus dicapai dengan tangan sendiri” begitu salah satu isi pidato Tan Malaka sambil ia mengangkat tangannya terlihat jam-nya diikat di tengah lengan, bukan hal yang biasa.

Setelah pertemuan di Bioskop Maxim, ada seseorang bernama Gatot Tarunomihardjo datang ke Prapatan 10 dengan membawa uang 35.000 rupiah, tolong diberikan kepada Erie Soedewo, Kemal dan Piet Mamahit. Mereka bertiga terperanjat setelah dilapori ada kiriman duit Tan Malaka. Kiriman duit itu adalah sumbangan Tan Malaka untuk anak muda yang akan segera membentuk pasukan perang. Dan perlu dicatat inilah modal awal pembentukan angkatan bersenjata Republik Indonesia, duit dari Tan Malaka. – Kelompok Prapatan 10 akhirnya mengirim Soejono Judodibroto menemui Tan Malaka di Bogor. Cerita tentang Gatot ini kelak dikemudian hari menimbulkan banyak pertentangan, namun yang jelas adalah Gatot memperoleh banyak uang dari Bank-Bank Jepang dan kemudian dengan royal diberikan kepada sekutu.-.

Tanggal 17 September, Sukarno mengumpulkan anggota kabinetnya. Di mejanya ia sudah menerima dua surat : Rencana rapat raksasa oleh Pemuda dan kedua adalah Surat edaran Jenderal Nagano untuk mengadakan larangan demonstrasi. Sukarno kemudian memutuskan di depan kabinet membatalkan ini, rapat berlangsung alot bahkan sampai jam 5 pagi. Ketika subuh datang, pertemuan kabinet dibubarkan. Tanggal 18 September 1945 jam 9 pagi, juru bicara pemerintah : Sukardjo Wirjopranjoto akan berdialog dengan wartawan, tapi kemudian Sukardjo meminta kepada Achmad Soebardjo. Soekardjo berpikir di depan anak-anak muda wartawan berhati panas ini tentunya akan menimbulkan kemarahan apabila isi dari surat pemerintah adalah melarang demonstrasi. Lalu Achmad Soebardjo tampil di depan wartawan, singkat saja ia bicara tentang pembatalan kumpul-kumpul di Koningsplein dan menolak surat Jenderal Nagano. Sontak saja wartawan-wartawan yang baru kemaren merebut kantor-kantor berita Jepang itu mengamuk dan membuat pertanyaan panas. Tapi Soebardjo terus bersikukuh atas keputusan pemerintah. Namun desakan begitu kuat, hingga akhirnya Soebardjo menuruti maunya pemuda agar disampaikan pada Sukarno.

Di lapangan, Sukarni dan kawan-kawannya sudah mengumpulkan massa, mereka menemui jaringan yaitu kepala-kepala desa, jago-jago lokal dan kyai-kyai untuk mengumpulkan massa, ternyata massa yang datang ratusan ribu. Pagi itu tanggal 19 September 1945 orang-orang datang berduyun-duyun membawa bendera merah putih, bapak ibu sekeluarga menggendong anaknya, anak-anak kecil tertawa gembira, “Lebaran...lebaran kita” kata salah seorang penduduk yang dengan ketawa sambil pake jas yang kedodoran dateng ke Lapangan Ikada. Beberapa orang bahkan menertawai tentara Jepang, dan mengolok-olok mereka. Seorang anak kecil dilaporkan melepaskan celananya dan memamerkan pantat di depan serdadu Jepang. Lainnya bersorak gembira “Merdeka....merdeka...kami ingin lihat Sukarno, kami ingin lihat Sukarno”. Di lapangan para pemuda sibuk mengatur barisan.

Jam 10 pagi tiba-tiba ada rombongan besar dari Karawang, gerobak-gerobak juga datang dari Bekasi, banyak yang datang dari luar Djakarta, seluruh penduduk Kebon Sirih sampai Cikini sudah berkumpul. Orang-orang dari Tanjung Priok membawa bambu runcing, beberapa orang Bugis membawa badik dan orang Jawa membawa kerisnya. Semuanya menunggu pidato Sukarno. Puluhan Ribu rakyat bernyanyi-nyanyi di siang yang panas menunggu Sukarno.

Sementara itu Sukarno mencak-mencak di gedung KNIP, ia marah-marah setelah dapat laporan banyak juga anak kecil yang datang. Seluruh menteri rapat untuk memutuskan apa pemimpin Republik memunculkan diri mereka di depan publik dengan ancaman tembakan Jepang dan puluhan ribu rakyat dipertaruhkan, sebuah korban nyawa yang sia-sia menurut pendapat sebagian menteri. Awalnya sidang berlangsung alot cuman untuk memutuskan keluar menemui rakyat apa tidak. Memang saat itu pertaruhannya adalah nyawa para menteri itu sendiri, banyak ketakutan. Mereka takut ada penembak gelap, mereka takut adanya serbuan pasukan Jepang sementara panser-panser sudah disiapkan di seluruh lapangan, tapi rakyat seperti tak takut lagi. Dokter Samsi Sastrawidagda mondar mandir sambil mulutnya terus meracau : ‘Het wordt en bloedbad en onnodig bloedvergiten. Hei is onzinnig om toe te geven aan di jonge heethofden.’ (wah, ini akan terjadi pembantaian dan tertumpah darah sia-sia. Ini semangat pemuda yang keterlaluan....!”). Sidang berlangsung amat lama dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore, mereka tidak makan siang karena suasana amat tegang. Beberapa kali menteri-menteri itu mendongak ke atas saat mendengar suara pesawat. Seseorang menyenggol kawannya dan berbisik “mungkin itu pesawat sekutu”. Ada juga menteri yang cuek dan ngantuk berat karena dua hari yang lalu tidak tidur karena sidang sampai pagi membahas soal Jenderal Nagano. Sukarno terus menimbang-nimbang seraya ia mendapatkan laporan terus menerus perkembangan di lapangan. Sukarni yang mengatur semua kegiatan lapangan datang ke gedung KNIP dan mengetuk pintu “Gimana sudah kelar keputusannya”

Beberapa menteri berteriak pada Sukarni “Sabar dulu” lalu Sukarni menutup pintu. Dua jam kemudian Sukarni membuka pintu lagi dan melongokkan kepala ke arah meja kabinet dan para menteri itu “Bagaimana putusan?” seorang menteri menoleh kepada Sukarni sembari menjawab ogah-ogahan “Belum” lalu Sukarni menutup pintu dengan suara amat keras “Brakkkk....!!!” semuanya kaget, nampak benar kemarahan Sukarni. Menteri Penerangan Sukardjo Wirjopranoto langsung nyeletuk kesal “Kayaknya Sukarni mau bunuh kita ini”........Rapat terus berlangsung tapi belum ada keputusan para menteri, Iwa Kusumasumantri sampai tertidur dan berkali-kali dibangunkan Sukarno. Iwa mengusap matanya dan melihat pada Sukarno “Gimana, No sudah ada putusan” jawab Sukarno “Belum” lalu Iwa melanjutkan tidurnya lagi.

Jam 3 sore tidak ada keputusan. Waktu terus berdetak. Rakyat sudah kelelahan menunggu Sukarno. Sudah ada yang mulai berteriak-teriak. Lalu Sukarno berdiri sendirian dan berkata karena semua menteri tampaknya banyak yang takut maka ia pasang badan, biarlah ia yang ditembakin Jepang, mati di depan rakyatnya. Karena ini adalah pertaruhan untuk masa depan Indonesia : “Saudara-saudara Menteri dengarkan putusan saya, Saya akan pergi ke lapangan Rapat. Untuk menentramkan rakyat yang sudah berjam-jam menunggu, saya tidak akan memaksa saudara-saudara untuk ikut saya, yang mau tinggal di rumah boleh, yang mau ikut saya terserah”.

Langsung jam setengah tiga sore keputusan rapat sudah diambil. Sukarno akan berbicara di depan rakyat sebagai simbol pemimpin dan pemerintahan. Banyak menteri yang lebih memilih ikut Sukarno dan beresiko nyawa mereka ditembaki Jepang. Di lapangan Tan Malaka sudah menunggu, sementara Sukarno akan datang dari gedung KNIP, rombonganpun datang. Di dalam lapangan rombongan dihentikan orang Jepang, seorang perwira Kolonel Miyamoto. Sukarno marah dengan penghadangan ini, sementara Hatta terus mencoba berdebat. Tiba-tiba dari arah belakang Tan Malaka berteriak keras dengan bahasa Minang :”Eh, Hatta Engkau debat ini bertele-tele, hentikan debat rakyat sudah gelisah...”

Akhirnya perwira itu didorong salah seorang pemuda Indonesia bersenjata dengan muka siap tempur, perwira itu mengalah lalu Bung Karno berjalan menuju podium dan berpidato singkat “Saudara-saudara, saudara-saudara......saya tahu bahwa saudara berkumpul disini untuk melihat Presiden kalian dan mendengarkan perintahnya. Apabila saudara-saudara masih mempercayai ini maka dengarkanlah perintah saya yang pertama kepada saudara-saudara : bubarlah, pulanglah dengan tenang ke rumah masing-masing tunggu perintah dari pemimpin-pemimpin ditempatmu masing-masing ...”

Serentak puluhan ribu orang membubarkan diri, ini yang membuat pengamat dan intel-intel asing tercengang. Bahkan Van Der Post intel Inggris yang mengirimkan anak buahnya untuk mencatat kejadiannya mendapatkan laporan sedemikian dramatis : “Ada seorang Ambon yang pro Belanda berdiri ditengah orang banyak dan menunggu, kegemparan luar biasa menghanyutkan dirinya dan semua orang yang disana. Pada saat Bung Karno datang, jantungnya berdegup keras dan ia hampir semaput. Apa yang dilakukan Bung Karno itu adalah memerintahkan agar semua orang pulang, dan suasana masih bergetar, oleh kegemparan luar biasa. Orang Ambon itu pergi bersama rakyat, dan belakangan ia melaporkan ‘peristiwa itu adalah pengalaman paling hebat dalam hidupnya’.

Pertemuan Lapangan Ikada adalah pertemuan batin, pertemuan rasa cinta dalam membentuk sebuah bangsa. Disini bertemu berupa-rupa kepentingan. Tan Malaka yang ingin mengetest kekuatan Sukarno dan efektifitas pemuda, Sukarno yang dengan berani gantung leher demi sebuah pemerintahan yang dipimpinnya, kenekatan pemuda mengadakan sebuah keputusan yang amat berani dan para intel-intel asing yang sedang memperhatikan perkembangan sebuah pemerintahan.

Rasa mengharukan Rapat Ikada ini bisa digambarkan oleh Pramoedya Ananta Toer yang saat itu juga hadir dan menangis melihat berdirinya sebuah bangsa. Di Pulau Buru pada sebuah kamp kerja paksa Orde Baru ia mengirimkan surat pada anaknya :

Et,

Kalau orang tidak pernah atau tidak mau ceritai kau tentang Revolusi Indonesia, biar aku yang mendongeng untukmu. Siapa tahu cerita itu bisa jadi imbangan bagi kondisi kesehatanmu yang kurang menguntungkan. Siapa tahu, ya siapa tahu! Tak sekurang-kurangnya orang yang mendapat kekuatan dari sebuah cerita.

Pada waktu Proklamasi diucapkan, tak ada yang menduga, di Indonesia bakal meletup suatu revolusi, menjamah daratan dan perairan. Pengucapnya, Soekarno, ideolog, brahmana, mewakili para ideolog, para Brahmana Indonesia, dari ujung rambut sampai telapak kaki, menyuarakan Proklamasi itudengan keraguan – ragu terhadap masa lewat rakyatnya yang dikenalnya belum cukup mewakili kekuatan dan kemauan politik, ragu terhadap masa mendatang yang diwakili oleh kemungkinan tindakan kekerasan dari pihak bala tentara Jepang lain yang mendukung Proklamasi, lebih lagi pada Sekutu, pemenang Perang Dunia II.
Proklamasi kemerdekaan diucapkan. Kenyataannya: seperti dalam dongengan, suatu krisi revolusioner mendadak menyingkap didepan mata, seperti tabir itu tiba-tiba terbuka dan panggung terpampang. Belum, Et, belum revolusi itu sendiri. Krisis revolusioner itu adalah titik puncak keadaan sosial, ekonomi dan politik. Orang sudah tak lagi lebih lama dapat menenggang keadaan yang morat-marit, kemelaratan yang sudah menghalau orang ke lubang atau tepian kuburan, dan di bidang politik dan kekuasaan ada terjadi vakum. Pendeknya, pada waktu itu, barang siapa jadi melihat keadaan dan berani tampil memimpin, dia akan jadi pemimpin. Dan, Et, krisis revolusioner yang menjadi puncak keadaan ini, sayang, bukan karena faktor subyektif Indonesia, dia berjalan secara sosial-alamiah, karena dimungkinkan oleh vakum kekuasaan kolonial. Sayang. Ya, sayang. Sekiranya pendorong utamanya faktor subyektif Indonesia, perkembangan akan menjadi lain, lebih jernih, lebih terpimpin. Apa daya, justru pare ideolognya sendiri ragu sudah pada titik awal.

Waktu Soekarno-Hatta hendak bicara di hadapan rapat raksasa di Lapangan Ikada (lapangan Gambir bagian tenggara) kami bertiga sudah siap mendengarkan di lapangan itu. Yang kumaksud dengan kami adalah Abdul Kadir Hadi, Soekirno dan aku sendiri. Kami memasuki lapangan dari jalan raya di selatannya. Waktu itu di pinggir kanan jalan telah berderet beberapa tank dan panser Jepang. Di antarab dua kendaraan baja itu kami masuk, ke lapangan. Tanpa kecurigaan. Tanggal berapa waktu itu? 19 September 1945!
Lapangan itu benar-benar sudah penuh dengan barisan yang bersaf-saf. Setiap padanya membawa papan nama kesatuannya – Barisan Pelopor dan Banteng seluruh Jakarta. Juga pada luarnya di belakang barisan ini berjubel orang-orang seperti kami, tanpa ikatan organisasi. Sorak-sorai dan pekikan semua barisan di depan dan tengokan kepala mereka kearah selatan, tiba-tiba membuat kami bertiga menjadi sadar: gelora suara yang membelah langit itu ternyata ditujukan kepada tentara Jepang. Mereka pada bersenjata bambu runcing, parang, dan mungkin juga belati atau keris. Dengan sendirinya kami bertiga, yang tidak bersenjata, terbungkuk-bungkuk mencari batu. Aku sendiri mendapat tidak lebih dari tiga yang kumasukkan ke dalam kantong celana. Satu tetap dalam genggaman.

Rasanya begitu lama kami menunggu dalam ketegangan. Yang diharap-harapkan tak kunjung muncul. Nah, waktu iring-iringan memasuki jalan tepian bagian selatan lapangan – bukan yang kami lalui waktu masuk – dari kejauhan nampak mobil-mobil itu dihentikan oleh serdadu Jepang. Rasanya kami tak habis-habis menunggu. Barisan-barisan semakin riuh-rendah mengelu-elukan Soekarno-Hatta, Presiden dan Wakil Presiden RI pertama. Insiden itu membikin suasana semakin tegang. Tak ada yang bisa mendengar pembicaraan diantara mereka. Sesuatu yang tidak beres terasa mengawang di udara. Dan di geladak panggung tinggi, seperti sebuah menara pengintaian, berdiri beberapa serdadu Jepang bersenjata. Pengeras suara yang memberitakan kedatangan Presiden dan Wakil Presiden tak berdaya menghadapi sorak-sorai dan pekik-jerit. Akhirnya iring-iringan berjalan terus. Dan waktu Presiden tampil, keadaan menjadi senyap. Di podium suaranya terdengar lunak: tenang, pulanglah dengan tenang. Kemudian rombongan meninggalkan tempat. Takkan ada tambahan pada kata-kata lunak tersebut. Hanya protokol menunjukkan jalan keluar lapangan – jalan yang baru ditinggalkan iring-iringan Soekarno-Hatta.

Barisan demi barisan, tanpa membubarkan diri, meninggalkan lapangan melalui jalan yang telah ditentukan. Sorak-sorai, pekik-jerit, dan debu membubung memenuhi jalanan yang menjadi sempit. Di pinggiran jalan berjajar pohon palma, di bawahnya deretan truk terbuka dengan serdadu Jepang di geladaknya, semua bersenjata senapan bersangkur terhunus. Di tubuh jalanan: barisan-barisan yang berjejal. Serdadu-serdadu itu menghalau setiap orang yang dianggapnya terlalu dekat pada truknya. Menghalau dengan bedilnya dari atas geladak truk. Mula-mula tidak terjadis sesuatu. Tetap jalanan semakin mejadi padat. Barisan-barisan semakin melebar. Para serdadu Jepang semakin sibuk menghalau. Sembari memekin dan bersorak-sorai orang mulai membela diri dari ancaman bayonet dengan bambu runcing mereka. Massa yang gusar karena gagal mendengarkan Presidennya, mabuk oleh pekik, sorak-sorai, dan anggar laras senapan berbayonet dengan bambu runcing ….. dan itulah untuk pertama kali aku saksikan, bagaimana orang Indonesia sama sekali tidak lagi takut pada Dai Nippon dengan militernya yang mahsyur akan kekejaman dan kekejiannya. Krisis revolusioner sedang berkembang. Dan aku lihat, Et, seseorang dari barisan menghunus pedang dan menebas tangan salah seorang serdadu Jepang. Beberapa dari jarinya putus. Tetapi insiden tak berkembang lebih lanjut. Mereka tidak terprovokasi.

Inggris, atas nama Sekutu, mendarat. Dari R. Moedigdo, pamanku, seorang redaktur Domei, yang telah menjadi Antara, kudengar salah seorang rekannya, Sipahutar, salah seorang pendiri kantor berita itu pada tahun 30-an, berniat mendirikan panitia penyambutan. Tantangan, caci-maki dan penolakan dari rekan-rekannya membikin niat itu buyar. Tentara Inggris mulai membebaskan orang-orang Eropa tawanan Jepang dari kamp-kamp di wilayah Jakarta. Para bekas tawanan itu sebagian mereka persenjatai dan mulai menembaki penduduk. Juga serdadu-srdadu Jepang. Para pemuda Jakarta mulai menjaga keamanan lingkungannya masing-masing. Masa ini biasa dinamai “jaman siap”. Gelombang teriakan “siap” melanda lingkungan yang dimasuki oleh serdadu atau bekas tawanan yang mengamuk.

Sekarang krisis revolusioner itu beralih menjadi Revolusi yang sebenarnya. Kalau tadinya para pemuda mempersenjatai diri dan menjaga keamanan lingkungannya dari amukan Jepang dan bekas tawanan, di Medan Senen para paria sudah meninggalkan lingkungannya dan mulai menyerang. Mungkin ada orang Indonesia yang sudah jadi merah mukanya mendengar dongengku ini: Revolusi Indonesia dimulai oleh para paria Medan Senen. Apa boleh buat, itulah justru kesaksian yang dapat kuberikan. Yang menggerebak mukanya boleh punya dongeng sendir, sekiranya punya kesaksian lain. Dalam Abad ke-13 pun seorang paria yang mengawali babak Jawa-Hindu, meninggalkan Hindu-Jawa. Orang itu tak lain dari Ken Arok. Suksesnya menyebabkan sang paria ini diangkat menjadi putera Brahmana, Syiwa dan Wisynu sekaligus. Orang melupakan kenyataan: sebagai paria dia berada di luar semua kasta Hindu yang ada.

Hanya saja paria Medan Senen tak mampu mengangkat diri jadi pimpinan.