Memahami Pidato Bung Karno
Kemerdekaan tidak menyudahi soal-soal, kemerdekaan malah membangun soal-soal, tetapi kemerdekaan juga memberi jalan untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidak-kemerdekaanlah yang tidak memberi jalan untuk memecahkan soal-soal ... Rumah kita dikepung, rumah kita hendak dihancurkan .... Bersatulah Bhinneka Tunggal Ika. Kalau mau dipersatukan, tentulah bersatu pula.
Soekarno, 17 Agustus 1948
Pidato Bung Karno selalu memberikan nuansa filosofis yang tinggi bagaimana bernegara dan berbangsa. Ia bukan saja menyodorkan kepada alam pemikiran bangsa Indonesia tentang bagaimana menyusun masyarakat tapi membentuk masyarakat baru. Bung Karno bukan saja seorang pembebas bagi bangsanya, tapi ia memberikan bangsanya sebuah jalan untuk menjadi bangsa terhormat.
Simaklah pidato Bung Karno didepan massa rakyat yang berdujun-dujun mendengarkan perkataan beliau pada 17 Agustus 1950. :
"Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan turunnya sitiga warna. Selama masih ada ratap tangis digubuk-gubuk, belumlahpekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat."
Bung Karno menghendaki jati diri bangsanya dan menjadikan rakyat terhadap subjek daripada negara bukan objek :
Simaklah pidato Bung Karno didepan massa rakyat yang berdujun-dujun mendengarkan perkataan beliau pada 17 Agustus 1950. :
"Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan turunnya sitiga warna. Selama masih ada ratap tangis digubuk-gubuk, belumlahpekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat."
Bung Karno menghendaki jati diri bangsanya dan menjadikan rakyat terhadap subjek daripada negara bukan objek :
Sepuluh tahun telah kita Merdeka, tetapi masih ada saja orang-orang yang dihinggapi minderwaardigheids complexen terhadap orang asing, masih ada saja orang-orang yang lebih mengetahui dan mencintai kultur Eropa dari pada kultur sendiri. Sehatkanlah kehidupan polltik kita dengan jalan Pemilihan Umum itu. Engkau bisa, hei Rakyat, sebab engkaulah yang menjadi hakim-bukan aku, bukan Bung Hatta, bukan Angkatan Perang, bukan Kabinet. (Pidato Bung Karno yang berapi-api 17 Agustus 1955). Perjuangan merubah nasib suatu bangsa terletak pada kekuatan tangan dan pikiran manusianya yang bertindak. Bung Karno mengajak bersama-sama untuk mengubah dengan kerja keras, demikian pidato Bung Karno : Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi pula gitamu: "Innallaha la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim" yang artinya saudara-saudara"Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa, sebelum bangsa itu merobah nasibnya.
0 comments:
Post a Comment