Essay : Hari-Hari Terakhir Bung Karno
Oleh Anton Djakarta
Dalam mimpi yang pudar jaman tak akan bergetar seperti dulu ketika aku masih memimpin revolusi yang gelegar. Aku disini sebagai orang yang lunglai dan tak tahu apa-apa mengenai dunia, dunia yang pernah membesarkanku ..... lalu lelaki gemuk tua itu berdiri. Kaos singletnya basah oleh keringatnya yang mengalir deras.
Wajahnya membengkak, dan bibir yang dulu paling dikenal dalam sejarah merdekanya Indonesia, kini menjadi paruh betet yang tak lagi menarik, hidungnya sebesar tomat dan hidung tomat itu bukan lagi hidung tomat yang membuat takut kaum imperialis, hidung itu tak lebih dari tomat yang bolong-bolong.
Si bung itu duduk kembali dan matanya basah.
Matahari masih sembunyi dalam alam jingga, dulu ia bisa mengesankan pagi yang indah dengan serbuan kata-kata. Kini dia hanya diam kata-kata tak lagi berteman. “Bapak segera mandi!” bentak seorang tentara. Dia hanya menoleh. Lalu berdiri dan menurut perintah tentara. Jalannya lunglai, dan ginjalnya tak lagi normal. Seorang pemimpin besar yang dulu pernah menaklukkan dengan telunjuk mengacung-acung dan seribu batalyon bisa membakar jiwa revolusi, kini hanya seonggok daging tua yang tak memiliki nyali.
“Aku tak ada apa-apa, tapi aku adalah bangsa itu sendiri” gumam lelaki tua bertubuh gemetar. Ia berjalan pelan terseok-seok di sebuah ruangan besar yang kotor, membawa handuk dan perlengkapan mandi. Seorang yang dulu begitu rupawan menggoda jutaan wanita dan menginspirasi jutaan pemuda memindahkan gunung dan membakar samodera. Memerintah puluhan Jenderal dan dipuja ratusan juta rakyatnya. Ia adalah dewa, tapi kini tak lebih bandit yang dilabur hitam dalam sejarah.
“Dunia ini seperti nasib yang berputar-putar, kita dipaksa bermain dadu.... tapi kita juga dipaksa memerahkan dadu sehingga dadu tak lagi berupa apa-apa” ia terus berjalan menuju kamar mandi. Dunia ini mimpi dan mimpi tak pernah mengubah sejarah.
Deburan air menghantam gayung, tubuh tua gemuknya tak lagi kuat menahan dingin, sementara air hangat sudah kosong. Ia tak boleh manja. Dalam sakitnya yang parah, dia tahu dia akan dibunuh oleh penyakitnya pelan-pelan. Dia tak boleh manja apalagi meminta sedikit pil untuk jaga ginjal, ia tahu yang ia tenggak hanyalah plasebo murahan, tapi ia tak boleh manja karena dirinya toh sudah hancur agar karyanya tak bisa dipecah-pecah oleh Amerika........ Ia tak boleh manja.
Hitam sudah cakrawala pagi, tak ada lagi Cakrabirawa, tak ada lagi orkes Asal Bapak Senang, yang ada hanya pagi sunyi. Dan Bapak sudah mau pergi.
Bulan Juni ini aku lahir dan mimpi terus menerus memerkosa sejarah, aku ndak paham mimpi apa yang berlangsung bagi negeriku, mimpi apa yang sedang dimainkan para Jenderal-Jenderalku, aku tak paham dan tak tahu, tapi aku bukan siapa-siapa. Mimpi tak lagi punya cakrawala. Dan bangsaku tak lagi punya mimpiku .....
Lelaki tua gemuk dengan wajah bengkak keluar dari kamar mandi. Kepalanya botak dan matanya tak lagi setajam elang banten yang menguasai hutan revolusi. Lelaki tua botak itu hanya meringis pelan sembari mencoba tersenyum pada seorang tentara yang bukan lagi menjaganya tapi menahannya. Tentara itu tidak tersenyum. Tentara itu tahu bahwa Bapak bukan lagi orang yang ia puja, tapi seorang tahanan. Si Bung Besar itu berjalan dan ginjalnya tak lagi mampu meremas-remas aliran energi didalam tubuhnya.
Aku lemah.
Aku tak tahu, apakah aku lemah...apakah aku kuat. Aku tak tahu....aku hanya diam .... diam dan diam.... tiba-tiba aku berada pada lorong yang gelap. Matahari pagi tadi tak lagi sunyi, ia menjadi warna ceria, pagi sudah menjadi baskom yang menyenangkan.
Ia seperti ada di Endeh, pada surga perak yang tumbuh dibawah pohon Kenari, ia berjalan pelan. Dia tertawa dan suaranya yang terkenal menggelegar. Tiba-tiba datang Tjokro. Dia heran, Pak Tjok datang. “Kusno, ikutlah bersamaku” Sapa Tjokro dengan tangan menjulur. Ia melihat banyak orang dibelakang Tjokro .... Alimin, Muso, Tan Malaka, Thamrin, Dharsono, Amir, Haji Misbah. Ia lihat ibunya, ia lihat bapaknya, ia lihat kakeknya dan ia juga kaget saat lihat DN Aidit.Tapi ia hanya bisa diam. Saat Tjokro memegang tangannya, Thamrin menghampiri... Bung Ikutlah bersama kami.
Dan pagi hanya punya diam. Ia diam sampai seseorang membangunkannya. “No...No.... bagaimana keadaanmu, No?” Hatta memegang tangan Bung Karno. Dan matanya basah. “No...no...”Hatta memanggil sekali lagi. Ia ingat kawannya ini, ia ingat pribadinya yang hangat, yang menyenangkan yang suka tertawa dan doyan sekali bergurau. Ia ingat kebaikan hatinya kawannya ini yang menggoda Hatta untuk segera menikah. Ia ingat semua mimpi-mimpi lelaki yang banyak ulah ini, ia ingat semuanya. Dan mata Hatta berubah menjadi sungai air mata. “No...No” kata Hatta lagi.
Thamrin melepaskan tangannya, ia tahu akan menjemput sahabatnya di waktu yang sudah tentu. Tjokro tersenyum dan mengusap-usap mata lelaki itu. “Kusno, aku jemput nanti, lihatlah sahabatmu datang....” Kusno tercekat. Ia bangun lagi. “Hatta.... Hoe gaat het met Jou?” bahu Hatta lemas, ia tak tahan melihat penderitaan Sukarno. Ia meradang tapi seperti ia biasa ia mempu menghantam kemarahannya. Hatta hanya menangis.
Dan beberapa hari kemudian lelaki itu meninggal. Rakyat secara implisit dilarang untuk melihat, tapi rakyat tahu bahwa orang itu yang memerdekakan bangsanya. Rakyat tahu dan jutaan rakyat berjajar lalu....21 Juni 1970 Semua orang Indonesia berhati hampa.
Jakarta, 5 Juni 2009
Menjelang Ulang Tahun Bung Karno.
0 comments:
Post a Comment