PENDIDIKAN kesarjanaan Bung Karno sebetulnya adalah Teknik Sipil, yang diraihnya di Institut Teknologi Bandung. Namun, perhatiannya terhadap dunia perancangan arsitektur sungguh luar biasa. Pandangannya sangat jauh ke depan, lebih jauh ketimbang tokoh-tokoh lain pada zamannya. Banyak sekali karya arsitektur di Jakarta yang sekarang menjadi kebanggaan bangsa, sebagai tetenger atau landmark, yang bersumber dari gagasan-gagasannya yang brilyan. Memang, bukan Bung Karno sendiri secara pribadi yang merancang, tetapi cetusan idenya yang orisinal dan otentik itulah yang menjadi jiwa atau semangat dari karya-karya arsitektur yang bermunculan. Siapa yang tidak kenal dan tidak kagum dengan Monas atau Monumen Nasional, yang sudah menjadi trademark dan landmark-nya Jakarta, bahkan bisa disebut sebagai tetenger-nya Indonesia. Mirip seperti Eiffel-nya Kota Paris (Perancis), Patung Liberty-nya New York (Amerika Serikat), atau Open House-nya Sydney (Australia).
Sampai saat ini, Monas
dan lingkungan atau ruang terbuka di sekitarnya masih juga terlihat
sebagai kawasan yang amat bermartabat, menumbuhkan rasa bangga sebagai
warga (civic pride). Sebagai suatu ruang publik yang dapat
dinikmati oleh segenap warga kota maupun pendatang, menyiratkan suasana
demokrasi dan keterbukaan. Monas dengan Lapangan Merdekanya yang luas
dapat disebut sebagai oase, bahkan mungkin malah surganya kota, mengacu
pada pendapat seorang pakar bahwa park is urban paradise.
Arsitek-seniman
Sepanjang pengetahuan
saya, Bung Karno adalah seorang insinyur sipil yang memiliki jiwa
arsitek dan seni budaya dengan kadar yang tinggi. Bahkan bisa dikatakan
lebih arsitek ketimbang arsitek yang sesungguhnya. Sangat jarang
pimpinan negara yang memiliki perhatian besar pada dunia arsitektur.
Boleh saja George Pompidou dari Perancis bangga dengan Pompidou Center-nya di Kota Paris, yang dikenal sebagai salah satu karya arsitektur berciri Post-Modern.
Namun, ditilik dari
keberagaman karya yang digagas oleh Bung Karno, tampak jelas bahwa Bung
Karno jauh lebih unggul sebagai negarawan yang juga arsitek dan seniman
sekaligus. Bukan hanya karya arsitektur yang berupa gedung-gedung atau
monumen-monumen saja yang menjadi bidang gulat dan perhatiannya.
Patung-patung, taman-taman, kawasan, bahkan sampai-sampai skala kota pun
digagas dan direalisasikan.
Patung Pembebasan
Irian Ja-ya, Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Patung
Pancoran, Patung Pak Tani di Menteng dan lain-lain, semua itu dibangun
pada zaman Presiden Soekarno. Dari kacamata perkotaan, kehadiran
patung-patung yang beraneka ragam itu betul-betul menyiratkan keindahan
kota sebagai suatu karya seni sosial (a social work of art). Bisa menjadi titik referensi agar kita tahu sedang ada di mana, supaya tidak kehilangan arah.
Taman Merdeka di
seputar Monas dan kawasan pusat olahraga dengan ruang terbuka yang
begitu luas di Senayan, merupakan warisan Bung Karno yang layak kita
syukuri bersama. Dalam skala yang lebih makro, sebagai seorang presiden
yang berwawasan nasional, tidak berpikir sempit, memikirkan kemungkinan
memindahkan ibu kota negara kita dari Jakarta ke luar Jawa. Kalau tidak
salah lokasi Palangkaraya di Kalimantan Tengah yang dipilih sebagai
salah satu alternatif, dan kemudian mulai dirancang serta terus
dibangun. Sayang sekali, karena berbagai kendala gagasan terobosan yang
inovatif itu tidak terlaksana. Kendati begitu, toh, Kota Palangkaraya
ternyata berkembang dengan baik sampai sekarang.
Senang sayembara
Yang tidak kalah
menarik dari Bung Karno dalam kiprahnya sebagai seorang arsitek adalah
bahwa beliau sangat senang dengan karya-karya unggulan yang dihasilkan
melalui sayembara.
Monas yang terbangun
sekarang pun semula adalah hasil sayembara. Menurut tokoh arsitek senior
Prof Ir Sidharta, pemenang pertamanya dulu tidak ada, pemenang kedua
adalah arsitek Friedrich Silaban (sudah almarhum) dan pemenang ketiga
adalah tim mahasiswa dari ITB. Rancangan yang memenangkan sayembara
tersebut kemudian dikolaborasi oleh tim arsitek Istana (kalau tidak
salah di bawah pimpinan Soedarsono) dengan beberapa perubahan sehingga
terbangun seperti yang tampak sekarang ini.
Prinsip bahwa karya
terbaiklah yang dipilih dan disetujui untuk dibangun, antara lain
melalui proses sayembara, merupakan suatu prinsip yang dewasa ini banyak
ditinggalkan oleh para pejabat. Tidak heran bila yang banyak
bermunculan di kota-kota besar di Indonesia adalah bangunan-bangunan
yang termasuk kategori junk architecture atau arsitektur
sampah. Orang-orang itu lupa bahwa kaidah paling dasar dari suatu karya
arsitektur masih tetap saja seperti yang dicanangkan Vitruvius ratusan
tahun yang silam, yaitu utilitas (fungsi atau kegunaan), firmitas (konstruksi atau kekokohan), dan venustas
(estetika atau keindahan). Nah, aspek terakhir yang menyangkut estetika
atau keindahan itulah yang tak pernah dilupakan oleh Bung Karno.
Begitu pula ketika
muncul gagasan Bung Karno untuk menyelenggarakan Conference of the New
Emerging Forces (Conefo) lantas dirancang gedung pertemuan yang sekarang
menjadi Gedung MPR/DPR, dengan perancang dan pembangun antara lain Ir
Sutami, Ir Soejoedi, dan Ir Nurpontjo.
Dari kisah itu
terlihat bahwa gagasan dan pemikiran Bung Karno sejak dulu sudah
mengglobal. Globalisasi baginya bukan sekadar slogan kosong, melainkan
sudah diaktualisasikan dalam kiprahnya sehari-hari.
Tak berpikir sempit
Mengenai perencanaan
atau arsitek yang dipilihnya, asal memang kompeten, tak peduli dari mana
asalnya atau apa agamanya, selalu ada peluang dia pilih untuk
mengaktualisasikan gagasan-gagasannya dalam wujud nyata. Manakala
Friedrich Silaban terpilih untuk merancang Gedung Pola, barangkali
bukanlah berita. Tetapi, kalau Silaban yang sama, notabene seorang
Kristen, terpilih untuk merancang Masjid Istiqlal kebanggaan kita semua,
bukankah itu merupakan berita yang mestinya mengejutkan?
Gedung Hotel Indonesia
sebagai gedung jangkung pertama di Kota Jakarta, saya dengar dirancang
oleh Sorensen, seorang arsitek Swedia. Patung Tani di Menteng juga bukan
karya seorang pribumi melainkan karya pematung mancanegara. Artinya,
Bung Karno bukanlah tokoh yang primordial, chauvinistic
berpikir sempit, melainkan sebaliknya. Dan, yang tidak kalah
membanggakan adalah bahwa pemikiran dan gagasannya pun dipakai juga di
mancanegara.
Ketika saya menunaikan
ibadah haji pada tahun 1996, saya memperoleh informasi bahwa bangunan
dua lantai tempat para jemaah haji melakukan sai (berjalan dan berlari
dari bukit Safa ke Bukit Marwah pulang-pergi) dibangun atas saran Bung
Karno. Semula bangunannya tidak bertingkat. Begitu jemaahnya setiap
tahun bertambah, semakin berjubel padat, akibatnya sangat menyulitkan
dan menyengsarakan bagi para jemaah. Usulan Bung Karno sebagai seorang
insinyur sipil sungguh sangat tepat untuk mengatasi kesumpekan itu.
Dalam suasana
hiruk-pikuk perpolitikan yang penuh dengan manuver-manuver pertarungan
kekuasaan yang amat keji dan mencekam seperti yang kita lihat dan kita
rasakan akhir-akhir ini, sungguh amat kita rindukan tokoh negarawan
seperti Bung Karno. Pemimpin negara yang tidak hanya tinggi kadar
nasionalismenya, tetapi juga memiliki jiwa sebagai arsitek dan seniman
yang berbudaya, menciptakan karya-karya nyata yang bermanfaat bagi
bangsa.
* Eko Budihardjo Ketua Dewan Pembina Persatuan Sarjana Arsitektur Indonesia dan Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Jawa Tengah
0 comments:
Post a Comment