Revolusi Memakan Anak Kandungnya Sendiri
Oleh : ANTON
Sejarah mencatat sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sekelompok pemuda dengan nekat menculik Sukarno dan Hatta, berikut Fatmawati dan bayinya Guntur dibawa ke Rengasdengklok untuk dipaksa memproklamirkan kemerdekaan. Peristiwa ini sebenarnya bermula pada kunjungan sekelompok pemuda menemui Sukarno dan Hatta di suatu tempat. Orang itu adalah : Wikana (ketua), DN Aidit, Soebadio Sastrosatomo, Suroto dan Yusuf Kunto.
Pada pertemuan itu sekelompok pemuda itu ngotot agar kemerdekaan Indonesia di proklamasikan secepatnya sebelum ada keputusan resmi dari sekutu tentang status Indonesia, artinya masa vakum kekuasaan akibat kalahnya Jepang ibarat ‘Golden Time’ bagi orang kena serangan jantung sebelum diselamatkan dokter atau mati ditengah jalan. Sukarno menolak ia takut kalau proklamasi dilakukan tanpa menyertakan Panitia Kemerdekaan yang notabene buatan Jepang maka bisa terjadi penangkapan-penangkapan yang tidak perlu dan korban dari pihak rakyat karena kebrutalan Jepang. Tapi para pemuda itu bilang mereka sudah siap, dan revolusi tinggal tunggu pelatuknya. Jakarta akan terbakar api perang kemerdekaan. Sukarno tetap menolak permintaan pemuda itu. Akhirnya salah seorang dari mereka dalam suasana panas mengancam bila Bung Karno tidak mau memproklamirkan maka akan ada pertumpahan darah dalam pertemuan ini. Bung Karno yang terkenal nggak mau ngalah, malah balik mengancam sambil pegang lehernya dan berteriak. “ini leher saya, seretlah saya ke pojok itu, dan sudahilah nyawa saya sekarang juga, jangan tunggu besok!” Hatta yang lebih berkepala dingin menengahi suasana yang sudah memanas itu, dia bilang “Sudah jangan diteruskan...kalau kalian sanggup proklamasikan saja sendiri” Hatta meminta pemuda lebih sabar menunggu keadaan.
Jelas suasana ini membuat para pemuda yang memaksa Bung Karno kecewa apalagi Wikana yang sudah sangat yakin bahwa Kaigun (Angkatan Laut Jepang) pasti bisa membantu Indonesia, ia kenal dengan petinggi-petinggi Kaigun yang memang agak bersimpati atas kemerdekaan Indonesia. Peristiwa inilah yang kemudian mencetuskan ide gila untuk menculik Sukarno dan Hatta.
Lalu bagaimana yang terjadi dengan nasib orang-orang yang terlibat pada pertemuan itu setelah Indonesia merdeka?.
Sukarno menjadi Presiden Indonesia pertama, namun diakhir hidupnya ia dikarantina akibat peristiwa G 30 S yang nggak jelas siapa yang main. Akhir hidupnya menderita sakit lever dan wajahnya bengkak-bengkak, dokter yang merawat Bung Karno bukan lagi dokter Mahar Mardjono tapi dokter hewan dan ia tidak boleh baca koran, menerima tamu bahkan kerap menerima perlakuan kasar dari pengawal yang diperintahkan Junta Militer Orde Baru untuk menjaga beliau. Orang yang terakhir menjenguk beliau adalah Hatta. Sukarno yang dalam keadaan koma tiba-tiba tersadar ketika Hatta datang, dengan suara pelan dia berkata “Hatta kau disini?”.Hatta menanggapinya dengan menjawab “Bagaimana keadaanmu, No?” Hatta memanggil Sukarno dengan nama kependekan seperti yang sering ia kalau ia memanggil Bung Karno di jaman pergerakan sampai awal kemerdekaan. Bung Karno menjawab sama dengan apa yang ditanyakan Hatta dalam bahasa Belanda “Hoe gaat het met Jou?”. Hatta menangis sambil memegangi tangan Bung Karno.
Tokoh yang paling tragis dari kisah orang-orang yang hadir dalam pertemuan itu adalah DN Aidit alias Bang Amat. Ia yang diawal kemerdekaan tertangkap Belanda dan dipenjarakan di Pulau Onrust lalu setelah dibebaskan ia bergabung dengan gerakan Musso, akibat peristiwa Madiun 1948, ia bersembunyi dan baru muncul di awal tahun 50-an. Ia juga dicari-cari Rezim Sukiman pada Razia Agustus 1951, kemudian PKI mendapat pengakuan politik oleh Sukarno, dan DN Aidit merevitalisasi PKI, lalu membesarkan partai ini menjadi partai paling menakutkan bagi lawan-lawan politiknya. Akibat peristiwa G 30 S ia dituduh sebagai dalang utama dan kabarnya ia dihabisi oleh prajurit RPKAD di sebuah tempat di Solo. Pembunuhan terhadap karakternya paling brutal dalam kisah sejarah Indonesia, ia bukan saja dibantai kehidupannya tapi juga dibantai namanya, DN Aidit menjadi nama paling mengerikan baik di buku-buku pelajaran maupun film atau kisah-kisah di masa Orde Baru.
Soebadio Sastrosatomo juga mengalami nasib yang kurang baik dalam hidupnya setelah Indonesia merdeka. Pada awalnya ia masa-masa manis berpolitik. Pada saat pemerintahan Amir Syarifudin jatuh akibat mosi tidak percaya terhadap perundingan Renville, Amir yang juga tadinya satu partai dengan Badio alias Kiyuk..berkata pada Badio dalam sebuah rapat mendadak “Ik leg mijn ambt neer. Saya sudah kalah, Badio..wordt jij maar Perdana Menteri. Daar is the plane, ga jij maar Jakarta om meet de Belanda te spreken..(Saya letakkan jabatan saya, saya sudah kalah Badio, kau saja jadi Perdana Menteri.Disana ada pesawat terbang, kau pergilah ke Jakarta untuk berunding dengan Belanda). Saat itu umur Badio baru 30 tahun. Namun Badio menolak tawaran Amir.
Saat Sukarno mengusulkan supaya Badio diangkat menjadi Jaksa Agung pada bulan November 1945 Hatta menolak dengan berkata “Soebadio is the jong” (Soebadio terlalu muda) jadilah Badio seumur-umur tidak pernah menerima jabatan resmi pemerintah. Malah ia keluar masuk penjara. Di jaman Demokrasi terpimpin Badio masuk penjara Madiun karena dianggap menentang Sukarno. Lalu di jaman Orde Baru tanpa proses pengadilan ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara selama 888 hari. Hidupnya sangat sederhana, Pak Badio ini tinggal di Jalan Guntur No. 49 Jakarta. Rumahnya merupakan bangunan tua yang lapuk di makan usia. Badio ini termasuk anak didik Sjahrir, Ia benci sekali dengan Suharto namun ia menyenangi Bung Karno walaupun ia pernah dipenjara pada saat jaman Bung Karno. Di jaman Orde Baru Megawati berkali-kali datang ke rumah Badio dan kalau Megawati datang, Badio selalu tanya “Apa kata Bapak?” Badio yakin Megawati mampu berdialog dengan arwah Bung Karno.
Wikana adalah tokoh yang paling tidak dikenal dalam sejarah Indonesia. Padahal pada peristiwa pencetusan Proklamasi 1945 peran beliau yang paling penting karena berkat koneksinya di Angkatan Laut Jepang atau Kaigun, Proklamasi 1945 bisa dirumuskan di rumah dinas Laksamana Maeda di Menteng yang terjamin keamanannya. Lalu Wikana mengatur semua keperluan Pembacaan Proklamasi di rumah Bung Karno di Pegangsaan, ia juga tegang saat melihat Bung Karno sakit malaria pagi hari menjelang detik-detik pembacaan Proklamasi. Wikana kasak kusuk ke kalangan militer Jepang untuk tidak mengganggu jalannya upacara pembacaan teks proklamasi. Setelah kemerdekaan jalan hidup Wikana sangat rumit, ia dianggap terlibat peristiwa Madiun 1948, namun berhasil lepas dari kejaran tentara. Bersama dengan pejuang-pejuang dari Nasionalis sayap kiri ia menghilang dan baru kembali setelah DN Aidit melakukan pledoi terhadap kasus Madiun 1948 yang mulai digugat oleh Jaksa Dali Mutiara pada 2 februari 1955. Namun revitalisasi PKI ditangan DN Aidit membuat Wikana tersingkir dan dianggap bagian dari golongan tua yang tidak progresif, ini sama saja dengan kasus penyingkiran kaum komunis ex Digulis oleh anak-anak muda PKI, karena tidak sesuai dengan perkembangan perjuangan komunis yang lebih Nasionalis dan mendekat pada Bung Karno. Terakhir Wikana tinggal di daerah Simpangan Matraman Plantsoen dalam keadaan miskin dan sengsara karena tidak mendapat tempat di PKI dan diisolir oleh Aidit. Beruntung Waperdam Chaerul Saleh pada tahun 1965 menarik Wikana menjadi anggota MPRS. Pada saat penangkapan-penangkapan setelah kejadian GESTAPU, Wikana hilang begitu saja. Sampai sekarang tidak jelas juntrungannya.
Lalu bagaimana dengan Hatta?, Hatta menjadi Wakil Presiden dan dilantik bersama Bung Karno. Hatta memiliki peran besar pada revolusi bersenjata 1945-1949 karena Bung Karno tidak disukai Belanda sangat membenci Bung Karno, dan dianggap Bung Karno tak lebih dari Quisling, tokoh kolaborator Norwegia yang berkhianat dan membantu Nazi, Bung Karno dianggap membantu rezim fasis Jepang selama pendudukan militer Jepang 1942-1945 namun Hatta dan Sjahrir disukai Ratu Belanda karena itulah kedua tokoh ini yang paling sering berunding dengan Belanda. Hatta melakukan restrukturisasi partai-partai politik dan militer. Restrukturisasi militer Hatta memiliki dampak paling luas terhadap perkembangan sejarah Indonesia, terutama sekali berjaraknya militer rasional ciptaan Hatta-AH Nasution dengan sentimentalisme patriotik Sukarno. Selain itu restrukturisasi militer Hatta memunculkan peristiwa politik paling kontroversial sepanjang era revolusi kemerdekaan, peristiwa Madiun 1948. Orang-orang komunis menuduh Hatta terlibat pada perjanjian rahasia red drive proposal antara pemerintah AS dengan RI untuk membendung komunisme di Indonesia, dengan imbalan AS akan mendukung perjuangan diplomatik Indonesia baik di PBB maupun forum-forum perundingan dengan Belanda. Red Drive Proposal ini dianggap sebagai awal mula munculnya peristiwa Madiun yang berakibat dibunuhnya tokoh-tokoh politik penting dari garis kiri seperti : Amir Sjarifudin, Musso, Suripno dll.
Setelah penghancuran PKI dan Front Demokrasi Rakyat, karir politik Hatta semakin cemerlang ia dipercaya pemerintah RI menjadi penandatangan perjanjian KMB 1949 dan pengakuan kedaulatan RI atas Indonesia 27 Desember 1949. lalu Hatta dengan baik mengatur formasi kabinet, bersama dengan Sri Sultan HB IX, Hatta memodernisir TNI. Setelah Pemilu 1955, karir politik Hatta menurun, ini berbanding terbalik dengan karir politik Bung Karno yang menanjak ditunjang mulai kuatnya PKI revitalisasi Aidit 1954 dan mulai mendapatnya dukungan militer terhadap Bung Karno seiring tidak puasnya kerja parlementer. Hatta menolak konsep-konsep politik Bung Karno, lalu hubungan itu merengang, pada tahun 1956 Hatta mengundurkan diri, awalnya Bung Karno menolak pengunduran diri Hatta, tapi akhirnya ia menandatangani surat pengunduran diri Hatta. Mundurnya Hatta membuat kecewa banyak perwira militer non Jawa yang notabene juga anti PKI. Protes terhebat adalah ketika PRRI mengultimatum agar Dwitunggal Sukarno-Hatta kembali lagi dan pemerintah Jakarta jangan sampai jatuh ke tangan komunis, atau pemberontakan pecah. Akhirnya pemberontakan PRRI pecah diikuti dengan gerakan Permesta. Kolonel Ahmad Yani yang menyelesaikan kasus PRRI dengan operasi 17 Agustus-nya. Praktis setelah PRRI nama Hatta hilang dari peredaran, ia hanya disebut dalam upacara proklamasi sebagai ko-proklamator. Nasibnya sebagai ko-proklamator menyelamatkan nasibnya karena dengan itu rezim Sukarno tidak berani menjebloskan Hatta ke penjara, ini berbeda dengan nasib Sjahrir. Konon kabar yang beredar dari versi buku-buku sejarah (Versi PKI terlibat dalam Gestapu) Hatta dimasukkan ke dalam tokoh yang harus dibunuh pada malam jahanam 30 September 1965. Namun DN Aidit menolak Hatta dijadikan sasaran pembunuhan. Mungkin Aidit sungkan pada Hatta, walaupun Aidit pernah mendakwa habis-habisan Hatta pada pengadilan kasus Madiun tahun 1955. Hatta tetap dipandang sebagai guru politiknya, karena Hatta sering mengajar anak-anak muda pergerakan pada Markas Pemuda Menteng 61.
Setelah PKI dihancurkan oleh Orde Baru dan Bung Karno digerogoti karir politiknya pelan-pelan. Hatta sempat dimunculkan sebagai calon kuat Presiden RI, bersama dengan AH Nasution. Tapi Hatta tetap menolak sebelum kasus G 30 S jelas, ia bahkan menantang Junta Militer Orde Baru untuk membawa Sukarno ke pengadilan agar peristiwa ini jelas dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Mental Hatta adalah mental khas didikan Belanda, yang menempatkan hukum diatas segalanya. Bersama Deliar Noer Hatta ingin mendirikan PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia) tapi ijin pendirian ditolak Orde Baru. Ketika kekuasaan Suharto mulai mapan setelah peristiwa Malari 1974 menyusul ditangkapinya tokoh-tokoh PSI dan aktivis mahasiswa, muncul kasus aneh Sawito Kartowibowo, eks pegawai Departemen Pertanian yang mengeluarkan dokumen ‘Menuju Keselamatan’ dimana dia mendapat wangsit membenahi Indonesia. Dalam dokumen itu Sawito mengkritik habis-habisan Suharto dan keluarganya, kritik itu disetujui oleh banyak tokoh nasional termasuk Hatta dan Hamka yang menandatangani persetujuannya terhadap isi dokumen itu. Dalam dokumen itu juga Sawito menunjuk Hatta sebagai tokoh yang harus menggantikan Suharto sebagai Presiden RI demi keselamatan bangsa Indonesia. Suharto marah bukan main, kasus Sawito dihantam habis-habisan, tapi kemujuran Hatta terhadap bencana politik lagi-lagi terjadi, Suharto tidak berani menyentuh Hatta. Tahun 1980 Hatta meninggal dan Iwan Fals menciptakan lagu yang sampai saat ini masih banyak dihapal oleh generasi muda Indonesia, lagu itu berjudul ‘Hatta’. Bait dalam lagu itu yang menakutkan rezim Suharto adalah : “Terbayang nama seorang sahabat yang tak pernah lepas dari namamu” nama yang dimaksud itu adalah : Sukarno.
Sukarno juga yang menjodohkan Hatta dengan Rachmi Hatta, Hatta bersumpah menolak menikah sebelum Indonesia merdeka. Sumpah ini merupakan reaksi terhadap November Belofte 1918, dimana pemerintah Hindia Belanda menjanjikan kemerdekaan Indonesia pada tahun itu. Pernikahan Hatta sekaligus legitimasi pribadinya terhadap Proklamasi 1945. Beda dengan Sjahrir dan Tan Malaka yang masih ragu pada proklamasi 1945 sebelum melihat dukungan rakyat.
Banyak orang mengenang Hatta sebagai pribadi yang disiplin waktu, gila buku, memiliki humor kering bahkan Bung Karno pernah mengejek Hatta sebagai pribadi yang membosankan, bukan seperti dirinya yang womanizer dan gampang buat suasana meriah. Tapi dari semua yang dikenang akan pribadi Hatta adalah kesederhanaan, baik kesederhanaan hidup maupun kesederhanaan hati. Anaknya Meutia Hatta baru tahu bahwa Bapaknya pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI, setelah ia diajari sejarah Indonesia di sekolah waktu SD. Sepulang dari sekolah dia bertanya “ Papa, dulu pernah jadi wapres RI, ya? Saya tahu dari guru sekolah” hal ini bisa digambarkan betapa tidak melebih-lebihkan Hatta pada peran sejarah, sampai anaknya sendiri tidak pernah tahu apa yang dilakukannya untuk negara. Hatta dikenal tokoh yang anti korupsi, dia pernah ditugasi oleh Suharto memberantas Korupsi lewat komisi GAK (Gerakan Anti Korupsi) –macam KPK jaman sekarang - saking bersihnya dan hati-hati dalam mencari harta, ia menjadi sangat miskin secara keuangan. Bayar listrik saja sudah berat, uangnya hanya dari uang pensiun Wapres yang nilainya nggak seberapa. Mendengar Hatta kesulitan bayar uang listrik dan air, Ali Sadikin gubernur Jakarta pada waktu itu membebaskan Hatta untuk membayar listrik dan air PAM. Keinginan Hatta yang tidak keturutan saat usia senjanya ialah membeli sepatu Bally dari kulit hitam.
Hatta tidak mau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata. Karena disitu ada koruptor Pertamina baru saja dimakamkan Haji Taher- yang harta korupnya jadi rebutan antara pemerintah RI dengan keluarganya, pemerintah RI diwakili LB Moerdani -, dan menurut Hatta banyak koruptor lain dimakamkan disana, ia tidak mau bergabung bersama Koruptor. Hatta ingin dimakamkan dekat dengan rakyat di Tanah Kusir, Jakarta. Kota dimana ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
ANTON
PS. Untuk Yusuf Kunto dan Suroto saya tidak punya referensinya.....
0 comments:
Post a Comment