Sebaliknya, kataku dalam pidato itu, ambil seorang penyapu jalan. Penyapu jalan di sana, di Jalan Thamrin atau jalan Sudirman atau jalan-jalan lain, nyapu jalan, Saudara-saudara. Pada waktu kita enak-enak tidur waktu malam, dia menyapu jalan, tangannya menjadi kotor oleh karena dia menyapu segala ciri-ciri dan kotor-kotor dari jalan itu, tetapi Saudara-saudara, dia mendapat nafkah dari kerjanya itu dengan jalan jang halal dan baik. Dia dengan uang jang sedikit yang dia dapat dari Kotapraja, Pak Gubernur Sumarno, Saudara-saudara, ya mendapat gaji daripada Kotapraja uang jang sedikit, dia belikan beras, dan dia tanak itu beras, dan dia makan itu nasi dengan istri dan anak-anaknya, bukan di atas kursi yang mentul-mentul, bukan di atas permadaniy tebal, bukan dari piring yang terbuat daripada emas, tidak dengan sendok dan garpu, dia makan makanan yang amat sederhana sekali, dan dia mengucapkan syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT: “Ya Allah ja Rabbi, terima kasih, bahwa Engkau telah memberiku cukup makan bagiku, bagi istriku, bagi anak-anakku. Ya Allah Ya Rabbi, aku terima kasih kepadaMu”. Orang yang demikian ini, menyapu jalan, dia adalah orang mulia dihadapan Allah SWT.
Sumber: Kongres Persatuan Pamong Desa Indonesia, 12 Mei 1964.
0 comments:
Post a Comment