News Update
Home » » Tentang Kartini

Tentang Kartini



TENTANG KARTINI

OLEH : ANTON


Kartini, Ibu Kita Kartini bagi mata kecil saya di tahun 1980 tak lebih seperti guru tua yang mengenakan kebaya dan wajah setengah kesepian. Tahun-tahun itu saya melihat sosok Hari Kartini sebagai gadis-gadis cilik berkebaya, lelaki kecil mengenakan blangkon dan beskap sembari bibirnya diberi arang kumis-kumisan yang melintang bagai Pak Raden Suryomentolo Singomenggolo Jalmowono, alias Pak Raden yang jago sakit encok di film Unyil itu. Saya sendiri mengenang hari Kartini dengan perasaan tidak suka, karena saya tidak punya pakaian adat, - entahlah saya lupa, apa karena orang tua saya pelit atau lagi tidak punya uang untuk membelikan pakaian adat anak-anak, yang jelas saya ke sekolah pada waktu itu tidak mengenakan beskap dan blangkon tapi malah baju kurung Batman – kontan saja ibu guru yang tidak suka dengan pesta topeng gaya Kartini saya, mencak-mencak dan menyuruh saya mengganti pakaian, kakek saya yang mengantarkan saya ke sekolah mendiamkan saya supaya. jangan menangis dan menggantikan saya pakaian batik dengan latar belakang hitam, “sudah cukup ganteng” saya inget kata-kata itu, pakaian batik di hari Kartini dan ucapan pujian yang mungkin saja separuh bohong. Pada perjalanan pulang dari sekolah TK dan perayaan Kartini yang menyebalkan, kakek saya malah tidak bercerita tentang sosok Kartini dia malah ndongengi saya tentang kakaknya Kartini, Raden Sosrokartono otak saya yang belum nyampe tentu saja hanya mengangguk-angguk senang mendengar kakek saya bercerita tentang Ndoro Sasrokartono yang sakti mandraguna dan bilang kenapa bukan Sosrokartono yang pahlawan? Tapi ibu Kartini...?

Kartini, Raden Ajeng anak Sosrodiningrat, Bupati Jepara kelahiran Mayong. Sebuah kota kecil di dekat laut, yang oleh tulisan-tulisan Pram kerap digambarkan sebagai tanah jajahan para Priayi dan sumber ketakutan-ketakutan Irrasional antara kekuatan feodal, irrasionalisasi agama dan eksploitasi ekonomi kolonial. Kartini kecil mampu mengucapkan een, tweede, drie atau menyanyikan lagu Wilhelmus dan membaca buku anak-anak Piem en Mien atau Ot en Sien....Sosrodiningrat tidak seperti bupati-bupati Jawa lainnya yang sibuk menindas rakyat seperti kelakuan Bupati Banten di era Multatuli, ia malah sibuk memperkenalkan alam pikiran barat pada anak-anaknya. Kartini dan adiknya Kardinah malah dikenalkan dengan sistem pendidikan modern, saat itu Van Deventer belum teriak-teriak di parlemen tentang politik etis, sementara kaum liberal masih sibuk menghadang kekuatan Marxis di parlemen Belanda, Kartini sudah mampu menembus alam pikiran barat sebagai wanita yang protes, jelas ia tidak mengenal Jane Adams yang menentang peminggiran wanita dalam khasanah sosial dan wacana sosiologi yang digerakkan oleh laki-laki termasuk gaya pikir Weberian, alam pikir Kartini bergerak lamban dan kemudian menembus hanya sampai pada pertanyaan-pertanyaan kenapa saya tidak seperti mereka? Kenapa kami harus berbeda dengan laki-laki? Kenapa mereka menjadikan kami hanya sebagai tempat penantian dan kemudian mencari tempat penantian lainnya, dengan alasan poligami diperbolehkan.

Kartini, bukanlah pejuang yang bertindak. Apa yang dilakukannya hanya sekedar hobinya mengajar, apa yang dituliskannya pada surat-surat kepada suami isteri Abendanoon dan kawan sebayanya Nona Zeehandelaar selintas hanya menguatkan identitas wanita borjuisnya yang mengerang-erang ingin disamakan kelasnya dengan intelektualitas laki-laki borjuis lainnya. Protes Kartini tak lebih dari teriakan garang wanita priayi yang menuntut kepriayiannya, hanya wacana priyayi berubah tidak pada kekuasaan tapi pada derajat pengakuan intelektualitas. Dan memang sekolah formal Kartini berhenti pada tingkat sekolah dasar sementara kakaknya Sosrokartono terus melaju pendidikannya dan menjadi Profesor sastra pertama di dunia yang berasal dari Jawa.

Sosrokartono, adalah kakak Kartini lain ibu. Kartini sendiri merupakan anak kesayangan Sosrodiningrat tapi bukan dari isteri Garwo Padmi (Isteri Utama), ia hanya anak seorang Garwo Ampilan (Isteri Selir) ibu Kartini bernama Ngasirah anak rakyat biasa, ayah Ngasirah, Kyai Modirono dan ibunya Hajjah Siti Aminah adalah rakyat jelata jauh dari gengsi priyayi yang dengan kerja kerasnya mampu menjadi pedagang lumayan kaya dan mempersembahkan puteri mereka pada Bupati Jepara Kanjeng Raden Mas Tumenggung Sosrodiningrat. Dan ketika Ngasirah melahirkan anak-anaknya, ia tidak boleh menyentuh anak kandungnya, ia harus menyembah anaknya sendiri, karena dalam pikiran jeruji penjara Jawa, Anak Ngasirah telah suci dari dosa kemiskinan rakyat jelata dan terlahir sebagai ningrat. Kartini kecil yang disembah-sembah ibunya sendiri jelas mempertanyakan kenapa ibu harus menyembah saya, kenapa mereka tidak sama dengan saya, dan dia bertanya lebih dalam kenapa agama tidak mampu menghancurkan hal-hal busuk ini. Kartini kemudian mengambil sintesanya, bahwa pendidikan-lah yang akan mencerahkan wanita.

Kartini kemudian bersedia dimadu oleh Bupati Rembang, Raden Mas Adipati Ario Joyohadiningrat yang tambun dan berkumis lantang. Ndoro Joyo memiliki anak dari Kartini yang bernama Susalit, pada kelahiran Susalit di Rembang 17 September 1904, Kartini meninggal, seorang pahlawan wanita yang akhirnya mati oleh kodrat paling hakiki wanita...melahirkan anak. Di kemudian hari Susalit ini menjadi Jenderal TKR dan TNI lalu sempat bikin repot Bung Karno karena diciduk oleh pasukan Pro Pemerintah, dan ditengarai terlibat dalam penentangan politik resmi pemerintah. Tapi mengingat Susalit adalah anak Kartini, Sukarno meminta Susalit dibebaskan.

Kartini sempat menceritakan dalam suratnya pada Miss Zeehandelaar seorang anak bernama Salim, yang begitu cerdas tapi tidak dibiayai pendidikannya. Salim ini hanya belajar sendiri lantas ketika ada uluran beasiswa ke Belanda, Salim serta merta menolak. Salim malah berangkat ke Jeddah. Kelak dikemudian hari Indonesia mengenal Salim ini sebagai Agus Salim, pahlawan nasional yang cerdas dan tidak mau menyekolahkan semua anaknya disekolah resmi. Ia mengajari sendiri anak-anaknya seperti Jojet atau Islam Salim tentang bahasa Belanda, Ilmu Ukur, Aljabar dan semua alam pikiran barat. Anak-anak Salim jelas memiliki kemampuan diatas rata-rata. Perlawanan Salim ini sesungguhnya ditujulkan pada formalitas ilmu pengetahuan dan mitologis pengetahuan yang pada substansinya terletak pada gerak pikir rasional, tapi oleh Belanda ilmu pengetahuan dan gelar-gelar barat malah mendorong terciptanya kelas-kelas baru di masyarakat dan memuakkan.Dan Kartini mengenalkan Salim pada dunia....
Kartini, bukanlah pahlawan yang bertindak. Bila pujian kita ditujukan pada beliau tentang jasa sekolah wanita. Maka lebih layak ini dilampirkan pada Hajjah Rangkayo Rasuna Said atau HR Rasuna Said yang mungkin sebagian dari kita mengenal HR Rasuna Said sebagai bujur jalan yang terletak di Kuningan, Jakarta Selatan. HR Rasuna Said bahkan dipenjara karena aktivitas untuk mengajarnya.

Atau mungkin saja kita menoleh pada wanita-wanita yang dipinggirkan dalam arti sebenarnya. Dipinggirkan bukan hanya pada gerak pribadi, sosial atau aktivitas lahiriahnya. Tapi benar-benar ditendang keluar dalam pikiran-pikiran kita. Gerwani, masih ingatkah anda?. Gerakan wanita komunis yang dulu terkenal paling berani menentang ketidakberesan pemerintahan Sukarno, malah dipinggirkan dalam-dalam pada konteks ingatan kita, dan disederhanakan pada sosok Djamilah. Pelacur jalanan yang direkayasa berpesta ‘harum bunga’ ditengah pembantaian para Jenderal dan dibunyi-bunyikan oleh media massa pro Suharto dengan mengatakan bahwa Djamilah dan Para Gerwani melakukan orgy atau pesta seks ditengah ladang pembunuhan. Dan berita itu menjadi sangar lantas mendorong pembunuhan-pembunuhan bukan saja pembantaian fisik tapi juga karakter yang labur sehitam-hitamnya pada sebagian wanita Indonesia, bukankah ini sama saja dengan cerita seorang ibu yang dijebloskan pada kamp kerja paksa dengan mengangkat kotoran-kotoran manusia, dipisahkan dari anak-anaknya dan anak-anaknya dihinakan oleh Bapaknya sendiri, karena ia bukanlah keturunan bersih yang percaya komunisme, Ibu muda dipaksa memprotes kelemahan rezim Mao pada peristiwa korektif Mao dan terjebak pada revolusi kebudayaan...Intinya kekuasaan otoriter atas nama Kiri atau Kanan adalah menghinakan kemanusiaan dan dalam proses penghinaan kemanusiaan kaum wanitalah yang paling menderita....semenderita wanita yang dipaksa menjadi pelacur pada jaman Jepang.

Apakah kaum Kartiniisme bisa melihat sosok wanita dari sisi lain, kecuali keanggunan wanita priyayi Jawa yang berjalannya lenggak lenggok seperti macan lapar? Dan seperti kekecewaan saya di jaman TK. Peringatan hari Kartini tidak lebih pada perayaan kebangsaan dan nasionalisme ala Sukarno untuk menciptakan imej kebangkitan wanita Indonesia. Padahal yang dikenalkan Kartini pada kita hanyalah kekaguman pada pendidikan barat, kekaguman Kartini pada alam pikiran barat yang dianggapnya maju. Terus terang kemajuan dan pembebasan wanita Indonesia, saya punya tokohnya sendiri. Nyai Ontosoroh, Inggit Garnasih atau seorang ibu yang dihinakan karena berdiri di tengah malam dan ditangkap atas nama Perda Pelacuran.

ANTON

0 comments:

Post a Comment