Ada sebuah buku yang aku suka sekali dan ini banyak menjadi drive ke sumber-sumber sejarah, judulnya "In Memoriam" dan ini karangan Rosihan Anwar. Cian, begitulah panggilan akrabnya adalah seorang pencatat waktu, bahkan mungkin satu-satunya orang di jaman kita ini yang mengenal begitu banyak orang dalam kronika republik. Ia pencatat kemanusiaan, banyak orang bilang dia arogan tapi faktanya ia disukai banyak orang. Ia mengenal Sukarno dan Sukarno sangat sayang padanya walaupun kemudian di satu waktu ia menyerang Sukarno setelah kematian bung besar itu. Tapi bagaimanapun Sukarno sudah mengajarinya bagaimana lekuk tubuh perawan atau yang bukan perawan hanya dari perspektif garis imajiner dua tangan dan dada.
Rosihan mengenal Suharto, bahkan pernah ikut dalam perjalanan hampir 8 jam dengan Suharto dan satu hal yang dicatat Rosihan adalah sikap diam yang luar biasa dari Suharto, Suharto bukan orang yang banyak bicara dan ini menjadi catatan Rosihan. Menjelang kematian Suharto, pernah minta pada Bob Hasan agar Rosihan datang, karena Suharto ingat saat mengunjungi Jenderal Sudirman di Wonosobo tempat gerilya sang Panglima itu. Namun Suharto pernah membredel koran Rosihan, "Pedoman" dan itu koran yang paling dicintai Rosihan, saat Ali Murtopo bertanya tentang nasib koran Rosihan, Harto menjawab singkat " Wis Pateni wae". Dan Rosihan selalu mengingat-ingat ucapan ganas Suharto ini.
Tapi sejarah tetaplah sebuah kenangan, pahit manis atau getir bak buah busuk selalu diingat dengan keadaan penyadaran, hanya orang yang bijak sajalah yang bisa mengingat masa lalu dan menjadi bahan kenangan yang baik, dan inilah yang dilakukan Rosihan. Ia bisa mengenang Pram dengan amat baik, bagaimana Pram bersikap kaku saling melotot tanpa bicara pada sebuah perpustakaan, atau saat Pram dengan tiba-tiba secara ramah merangkul Rosihan pada sebuah pertemuan, ini menunjukkan bahwa manusia tidak terpenjara oleh sikap kaku, ada kalanya ia berubah. Ada kalanya ia menyadari bahwa hubungan tak selalu dibuat beku.
Suatu saat Rosihan berjalan di depan jalan Surabaya dan menyaksikan banyak orang berkerumun di depan Kantor PDI pada sabtu yang kelam 27 Juli 1996, ketika penyerbuan Rosihan mundur ke belakang, ia menangis kerna bangsanya tak pernah jera untuk menghentikan kekerasan, kekerasan akar dari segala bentuk mundurnya peradaban.
Rosihan adalah manusia yang hidup dalam kehidupan, ia pandai menulis, ia pandai bertutur dan ia pandai berlagak di depan kamera. Ia pernah main film Jakarta The Big Village, ia selalu tertawa beradu akting dengan kawannya, ia juga pernah berperan di film Tjoet Nyak Dien, hanya saja kawannya bilang, Rosihan tak pernah bisa mengeluarkan karakter Rosihannya untuk menjadi karakter pemerannya, apa yang dilihat ya itulah Rosihan.
Bagi sebagian orang Rosihan Anwar adalah seorang PSI, Partai Sosialis Indonesia, partai elite intelektual yang selalu jadi jarum tajam bagi Sukarno juga Suharto. Ia sangat mengagumi Sjahrir dan Hatta tapi dilihat dari semua tulisannya, ia sesungguhnya pengagum Sukarno luar dalam. Yah, karena ia anak sejarah, yang dibesarkan jamannya, yang mengalami bagaimana lampu mati pada perayaan satu tahun republik ini merdeka pada sebuah istana tua di Yogya kemudian mencari senter memperbaiki sekering, Ia adalah sebuah saksi bagaimana Republik ini didirikan sekaligus ia menjadi saksi bagaimana bangsa ini ingin dibangun. Saat ini jiwanya telah terbang ke angkasa,menyatu dengan kawan-kawan lamanya, mungkin disana ia disambut Han Resink ataupun Pramoedya Ananta Toer, atau Usmar Ismail dan sahabatnya Chairil Anwar, tapi ia akan tetap menjadi memori..karena ia in memoriam selamanya bagi republik ini.
~Seorang wartawan bukanlah hanya pencatat fakta, ia juga mencatat manusia-manusia dan Rosihan telah melakukan dengan baik. Terima Kasih Pak Rosihan, Bangsa ini menangisi kepergianmu~
ANTON
0 comments:
Post a Comment