News Update
Home » » Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme

Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme



Tjokroaminoto bukan saja membidani gerakan politik terbesar di
Hindia Belanda, tetapi juga mengenalkan konsep pembebasan bagi
Indonesia dari tangan Belanda. Tjokro mempelajari sejarah
ketertindasan manusia, direnunginya susunan masyarakat Hindia
Belanda dan bagaimana Indonesia ke depan. Kesimpulannya adalah perlu
dilakukan pengkajian yang mendalam tentang Sosialisme. Satu-satunya
jalan melawan penjajahan Belanda adalah menggunakan senjata
Sosialisme. Sosialisme adalah antitesis dari sistem Kapitalisme yang
memperbudak bangsa Indonesia. Kapitalisme telah membawa keberanian
bagi orang-orang Belanda untuk mengarungi samudera dan menindas
bangsa-bangsa lain. Kapitalisme telah meracuni pikiran orang untuk
menjadi kaya dengan cara memperbudak orang lain. Kapitalisme merusak
jiwa manusia dan menjadikan manusia diperbudak oleh benda. Disinilah
lalu Tjokro mencoba menyusun pemikirannya maka lahirlah buku : Islam
dan Sosialisme.

Sebelum lahir buku : Islam dan Sosialisme, Tjokro mempelajari dulu
lebih tekun agama Islam ia membaca : The Spirit of Islam karya Sayid
Ameer Ali, The Ideal Prophet dan Tafsir Al Qur'an karangan Muhammad
Ali, dari kedua buku inilah Tjokro mampu membuat buku `Tarekh
Islam'. Pemikiran-pemikiran Islam ini kemudian direnungi oleh Tjokro
melalui medan dialektika dengan sejarah di jamannya. Ia mencoba
untuk menganalisa sistem Kapitalisme yang menjadi akar penjajahan
bagi bangsanya. Dan ia menemukan untuk merobohkan kapitalisme hanya
dengan sosialisme, seandainya Indonesia merdeka dari Belanda-pun
bila sistem Kapitalisme masih dijalankan dengan sewenang-wenang maka
penjajahan belumlah selesai. Pelaku penjajahan bisa berbeda tapi
intinya sama : Pemilik Modal.

Menjelang kongres Al Islam di Garut, Tjokro menuliskan
artikel : "Apakah Socialisme itu?" dan "Socialisme berdasarkan
Islam". Dari sinilah kemudian Tjokro benar-benar tekun mendalami
Sosialisme dan dari pendalaman itu lahirlah buku fenomenal dari
Tjokro, yaitu : "Islam dan Sosialisme" buku ini menjadi pegangan
bagi anak didik Tjokro dalam memahami makna kemerdekaan terutama
sekali Bung Karno anak didik Tjokro, paling gemilang dan berbintang
terang di masa depan. Untuk meng-upgrade pemahaman kader-kader
partai terhadap kesadaran politik, sosial dan budaya maka dilakukan
kursus-kursus politik bagi kader Partai. Kursus itu bertujuan :
pertama, mempelajari masyarakat Indonesia sendiri dan kedua,
memperdalam pengetahuan mengenai ajaran-ajaran Islam dan mengalami
proses Islamisasi lebih lanjut dan mengetahui lebih baik apa
sebenarnya sosialisme itu. Untuk itu dipanggillah Soerjopranoto
(kakak kandung Ki Hadjar Dewantoro, yang dikenal sebagai `Si Radja
Mogok' karena keberhasilannya mengorganisir pemogokan kaum buruh
untuk memprotes kebijakan pemerintah) untuk mengajarkan sosiologi
bagi kader partai. Lalu ada KH Fachroedin yang membimbing pemahaman
Islam bagi para kader. HOS Tjokroaminoto sendiri memberikan kursus
Sosialisme. Salah satu murid HOS Tjokroaminoto yang kelak menjadi
pemimpin umat besar Islam di Indonesia Buya Hamka mengenang kursus
itu dalam biografi `HOS Tjokroaminoto : Hidup dan Perjuangannnja',
yang disusun oleh Amelz dan diterbitkan Penerbit Bulan Bintang, pada
hal.37 :

"Beliau dalam kursusnya tidak mencela Marx dan Engels, bahkan
berterima kasih pada keduanya, sebab teori Historis Materialisme dan
Engels, -kata beliau-, telah membawa jelasnya bagaimana kesatuan
Sosialisme yang dibawa Nabi Muhammad".

Walaupun dalam buku itu ada pemahaman yang kurang terhadap
Historisme-Materialisme, hal ini karena Tjokro tidak langsung
membaca buku Karl Marx yang saat itu hanya berbahasa asing dan
bahasanya sulit dimengerti. Tjokro membaca dari interpretator-
interpretator Marxian, dalam pendapat Tjokro pemahaman Tjokro bahwa
Historis-Materialisme itu menafikan `semuanya tertuju pada Allah'
dan juga `bertuhankan benda' disini Tjokro agak kurang tepat
memahami Karl Marx tentang apa yang dimaksud Karl Marx. Historis
Materialisme tidak berurusan dengan lapisan-lapisan Metafisika yang
memang di luar pikiran Karl Marx, Marx hanya memusatkan pada sejarah
terbentuknya masyarakat. Metode Materialisme Historis digunakan oleh
Marx sebagai alat analisa untuk memahami hukum-hukum dan realitas
perkembangan masyarakat dari tahap komunal-primitif hingga ke tahap
sosialis berdasarkan postulat bahwa bukanlah kesadaran masyarakat
(yang berwujud paham Metafisik, hukum, negara, dan berbagai
kelembagaan masyarakat) yang menentukan kondisi hidup. Sebaliknya
kondisi masyarakatlah yang coraknya berintikan moda produksi atau
cara berproduksi yang ditandai oleh hubungan sosial dari produksi
(social relation of product) dan tahap perkembangan ekonomilah yang
pada dasarnya menentukan struktur kesadaran masyarakat yang
tercermin pada ideologi mereka.

Tujuan filsafat Marxisme yang terpenting dan berulang-ulang
ditekankan oleh pemikir-pemikir Marxian adalah : Realitas itu ada
karena objektief dan bukan ada karena ide-ide dan kesadaran manusia.
Disinilah titik perseberangan terpenting dengan konsep idealisme
Hegelian yang menentukan ide penentu kesadaran. Dalam Marx :
Realitas-lah yang menentukan ide dan kesadaran manusia.

Tjokro memang agak naif untuk mencampurkan Materialisme Historis ke
dalam sungai Metafisika sehingga menafikan spiritualitas dalam
membentuk sejarah. Bagi Marx sejarah adalah pembentukan masyarakat
dan Marx tidak mencampurkan urusan Metafisika sebagai pembentuk
sejarah karena Metafisika adalah `bangunan atas' masyarakat yang
sama dengan hukum, negara, lembaga-lembaga masyarakat dan segala
bentuk kompartemen-kompartemen pembentuk masyarakat. Yang
diperhatikan oleh Marx adalah bangunan bawahnya. Bangunan bawah dari
pembentuk masyarakat yang pada abad 19 adalah bangunan :
Kapitalisme. Kapitalisme-lah yang melahirkan penindasan dimana
sebagian besar umat manusia diperbudak untuk membuat sekelompok
kecil manusia kaya raya bahkan menguasai dunia. Untuk membebaskan
kapitalisme harus ada sistem alternatif dan oleh Marx sistem itu
adalah Sosialisme. Sistem yang berpihak pada keadilan distribusi,
menolak perbudakan kemanusiaan atas nama benda, dan membebaskan
manusia untuk menemukan kemanusiaannya dimana manusia tidak lagi
terasing dalam lingkungannya sendiri.

Namun harus diakui diantara kelemahan-kelemahan Tjokro dalam
memahami Marx, bahwa beliau sudah memulai memperhatikan sistem
Sosialisme sebagai alternatif. Materialisme yang dipahami Tjokro
juga bukan pengertian Materialisme sehari-hari dimana pemahaman
dangkal Materialisme adalah keserakahan untuk mendapatkan sebanyak-
banyaknya harta benda. Tjokro melihat Karl Marx sebagai pahlawan
dalam menolak keserakahan dan mendukung keadilan distribusi kekayaan
agar tidak lagi terjadi perbudakan antara satu manusia dengan
manusia lainnya sebagai pemilik modal. Sikap terbuka Tjokro dalam
ketekunannya belajar Sosialisme diucapkan sendiri : Wie, goed
Mohammedaan is, is van zelf socialist en wij zijn Mohammedanen, dus
zijn wij socialisten. (Seorang Islam sejati dengan sendirinya
menjadi sosialis dan kita kaum muslimin, jadi kita kaum sosialisten).

Sosialisme, sebagai cita-cita kemasyarakatan, bagi Tjokro sejalan
dengan Islam, sepanjang Sosialisme bertujuan untuk : Memperbaiki
nasibnya golongan manusia termiskin dan terbanyak bilangannya, agar
supaya mereka bisa mendapatkan nasib yang sesuai dengan derajat
manusia."

Islam dan Sosialisme bukan saja dekat tapi merupakan sejalan. Namun
dalam konteks sejarah politik Indonesia kemudian pemikiran
Sosialisme seakan-akan dimonopoli kepada kaum terdidik intelektual
yang paham pemikiran barat, bahkan sepanjang 1960-1965 ajaran Karl
Marx di stelsel hanya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) saja dan
menempatkan kelompok Islam sebagai bagian dari Kapitalis. Penekanan
yang salah kaprah ini bukan saja mengasingkan umat muslim Indonesia
pada konsep Sosialisme juga membangun pengertian bahwa Sosialisme
hanya bagian dari moral Komunisme Marxisme-Leninisme dan kemudian
kaum kapitalisme semakin menipu umat Muslim bahwa ajaran Sosialisme
adalah ajaran Haram. Ini dilakukan oleh Negara Orde Baru. Dimana
sejarah pendirian Orde Baru adalah sejarah penghancuran terhadap
cita-cita bersama Indonesia Raya, membuat segelintir kelompok
menjadi kaya raya dan memegang kekuasaan dengan mengelabui sejarah.
Penipuan yang dilakukan Orde Baru sedemikian efektifnya sehingga
masyarakat Indonesia sulit berpikir terbuka. Karl Marx menjadi salah
satu korban kekejian Orde Baru terhadap intelektualitas. Bukan saja
kalangan akar rumput Islam dan akar rumput bangsa Indonesia yang
diperbodoh oleh kekuasaan Orde Baru dan mengasingkan pada konsep-
konsep Sosialisme, tapi juga kaum intelektualitasnya. Maka tidak
heran kata-kata `kiri, Gerakan Islam, sosialisme, keadilan sosial
dan komunisme' menjadi semacam penyakit dahsyat yang harus dihindari
bukan dipelajari dengan detil. Hatta sendiri di tahun-tahun Orde
Baru mengingatkan agar bangsanya mendalami Karl Marx dan tidak
memusuhinya secara membabi buta, Hatta menulis dalam sebuah
artikel : "Apa yang saya lakukan pada dalam beberapa karangan saya
adalah menganjurkan kepada bangsaku agar terbuka terhadap ajaran-
ajaran Marx dan Engels, karena bangsaku sering mendapat gambaran
yang pincang terhadap Marxisme itu, lewat tulisan-tulisan politik
dan buku-buku pelajaran".

Hatta bukan saja tokoh intelektual besar Indonesia, ia adalah
aktivitis dan ko-proklamator Indonesia. Walaupun kerap dituding
sebagai biang dari penghancuran FDR/PKI pada peristiwa Madiun 1948.
Namun penghancuran itu harus dipisahkan dari konteks Sosialisme.
Penghancuran FDR tahun 1948 hanyalah konstelasi politik dan bagian
dari strategi untuk memendekkan perang kemerdekaan yang
dikhawatirkan berlarut-larut. Hatta dan Musso masih berpanji pada
satu bendera pemikiran Sosialisme, hanya saja memang Musso berdogma
pada Marxisme-Leninisme yang berpusar di Moskow dan dikomandoi
Stalin. Hatta tidak. Ia seperti Tan Malaka, yang menolak kekejaman
Stalin. Hanya saja Hatta jauh lebih moderat untuk tidak terjebak
pada kekerasan dimana memang salah satu jalan mewujudkan Sosialisme
sesuai dengan alur pemikiran Lenin, "Bahwa merubah sejarah harus
dengan Revolusi" dan Revolusi dalam Leninisme bisa berarti `darah
dan besi'. Pada titik inilah split terjadi antara Sosialisme garis
keras dan Sosialisme garis moderat. Hatta bersama Sjahrir berada
paling moderat, Tan Malaka berpihak pada Nasionalisme Indonesia yang
bercirikan masyarakat Komunisme sementara Sukarno bermain untuk
mengatur sirkulasi politik yang terjadi, dia melompat kesana kemari
untuk mengatur jalannya sejarah.

Namun diakui atau tidak tokoh yang paling ahli mendalami Sosialisme
secara ilmiah adalah Hatta. Hatta tidak terjebak pada pemahaman
sosialisme emosional yang kemudian kerap menjadi `Penyakit kekanak-
kanakan' untuk langsung berkelahi dengan kapitalisme pakai cara
kekerasan dan tidak simpatik. Sesungguhnya sosialisme itu juga harus
dan mutlak menggunakan kemanusiaan sebagai prinsip. Tanpa
menggunakan kemanusiaan maka Sosialisme terjebak pada kekerasan yang
kerap melahirkan sejarah tragis. Dan kaum kapitalisme dengan
kekuatan modalnya bisa membangun apa saja untuk menyerang ide-ide
Sosialisme. Ini yang terjadi pada sejarah terbentuknya Orde Baru.
Orde Baru yang merupakan pertemuan kepentingan-kepentingan negara
Imperialisme Amerika, petinggi Angkatan Darat anti Sukarno, dan
kekuatan politik anti PKI terperangkap dalam mainan Amerika untuk
membantai bangsanya sendiri. Namun oleh mesin propaganda
Kapitalisme, pembantaian manusia yang dilakukan Orde Baru dijadikan
alat tudingan bahwa : PKI kejam, PKI-lah yang membantai manusia Di
titik inilah penipuan perspektif sejarah terjadi. Pembantaian
dilakukan oleh pihak yang anti Komunisme tapi seakan-akan dengan
pengelabuan sejarah Komunisme-lah yang membantai manusia Indonesia,
jadi dengan logika yang ngawur ini : Komunisme membantai Komunisme.
Ini sama saja dengan logika ngawur tudingan Orde Baru pada G 30 S
yaitu : Presiden Sukarno mengkudeta dirinya sendiri. Itulah cara
kapitalisme mengelabui sejarah dan membangun doktrin penipuan
terhadap manusia Indonesia.

Dan Hatta sudah mendahului dan membaca sejarah yang akan terjadi
pada bangsanya agar janganlah terlalu menggunakan kekerasan dalam
memaksakan ajaran Sosialisme dan meruntuhkan komunisme, karena ini
bisa menjadi senjata bagi kaum pemodal dalam hal ini Imperialisme
asing untuk merebut dan menghancurkan Indonesia. Namun Sukarno di
tahun 1960-an berani bermain-main di titik ini dan dia menjadi
korban atas Macan yang memang sudah mengintainya.

Sejak muda Hatta mendalami Sosialisme dengan tekun. Pada umur 18
tahun dia sudah membaca empat jilid dari enam jilid buku `De
Socialisten' karangan Quack yang dijadikan referensi utama bagi
Tjokro dalam menyusun `Islam dan Sosialisme'. Baik Hatta dan Tjokro
memahami kesejarahan Sosialisme tidak hanya berhenti pada titik masa
hidup Karl Marx tapi jauh sebelumnya. Ajaran Sosialisme sudah hidup
di jaman Yunani, kemudian timbul pemikiran-pemikiran Sosialisme di
masa-masa Romawi, bangsa-bangsa Yahudi jauh sebelum masa Yesus sudah
mengenal konsep Sosialisme, lalu di Asia Kecil juga tidak asing
dengan Sosialisme. Jadi secara kesejarahan bangsa-bangsa masa lalu
juga menerapkan ajaran Sosialisme, bahkan pada abad pertengahan di
Eropa dikenal sebagai masa Gilden Socialism dimana semua masyarakat
diatur kekayaannya yang kemudian melahirkan pemberontakan
Renaissance untuk melawan ketidakbebasan akibat Gilden Socialism.
Gerak sejarah yang terus melahirkan konflik, kontradiksi dan
dialektisnya sampai pada Revolusi Industri di Inggris pada abad 19,
yang melahirkan sintesa Marxisme. Dengan mempelajari sejarah
Sosialisme yang sudah berlangsung selama puluhan abad maka Tjokro
sendiri berani mengambil kesimpulan bahwa : masyarakat Muslim pada
zaman Nabi Muhammad saw pada dasarnya bercorak sosialis. Karena itu
baik Tjokro maupun Hatta tidak mau terikat pada gagasan Sosialisme-
Marxis saja, tapi mencoba memperluas bagaimana sistem Sosialisme
bekerja.

Perlu dicatat sejaman dengan Tjokro-Hatta juga muncul Paul Tillich,
walaupun besar kemungkinan baik Hatta ataupun Tjokro tidak
mengetahuinya. Paul Tillich adalah seorang teolog Kristen Jerman
yang terkemuka, pada tahun 1933, mengeluarkan teorinya tentang
sosialisme religius berdasarkan ajaran Kristen dalam bukunya `Die
Sozialistiche Entscheidung (The Socialist Decision) yang hingga
sekarang mewariskan masalah hubungan antara Kristiani dan Marxisme
dalam bidang teologi maupun teori sosial dimana salah satunya adalah
Teologi Pembebasan yang banyak dianut pastor-pastor revolusioner di
Amerika Latin.

Namun sayang akar pemikiran Tjokroaminoto jadi kehilangan konteksnya
di kalangan umat Islam sendiri. Sosialisme yang dikumandangkan
Tjokro gagal memasuki medan pemikiran gerakan-gerakan pemuda Islam
yang marak di tahun 1930-an. Jong Islamienten Bond maupun Studenten
Islam Studieclub, yang berdiri pada tahun 1936, tidak serius
menggali ajaran Sosialisme yang berhubungan dengan Islam.

Hatta sendiri pernah menyinggung keterkaitan Islam dengan
Sosialisme. Dikatakan dalam ceramahnya di RRC tahun 1957 dalam
kedudukannya sebagai Wakil Presiden RI, bahwa cita-cita Sosialisme
yang menyemangati seluruh pergerakan nasional di Indonesia mempunyai
tiga sumber :
1. Ajaran Marx yang yang diajarkan oleh kaum sosialis barat,
kemudian diperkuat oleh kejadian besar di Rusia Revolusi Oktober
1917.

2. Ajaran Islam yang menuntut keadilan yang merata ke seluruh
masyarakat dan persamaan serta persaudaraan antara manusia.

3. Masyarakat Indonesia yang asli yang berdasarkan milik
bersama atas tanah sebagai alat produksi yang pada dasarnya adalah
masyarakat kolektivis.


Tentang hubungan Islam dan Sosialisme Hatta menjelaskan lebih
lanjut. "Keadilan Islam adalah keadilan sosial, yang baru tercapai
apabila manusia terlepas dari segala penindasan. Oleh karena
persaudaraan antara sesama manusia dan atas dasar tolong menolong
hanya tercapai di dalam masyarakat Sosialis, maka penganjur-
penganjur Islam berpendapat, bahwa menegakkan suatu masyarakat
Sosialis Indonesia adalah suruhan agama.
(Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II, Idayu Press, Jakarta 1982,
hal.91)
Kenapa kemudian gerakan politik Islam pada masa lalu tidak lagi
giat menyuarakan Sosialisme. Hal ini lebih disebabkan pada sokongan
dana politik Islam lebih pada pengusaha-pengusaha dan pedagang yang
juga terasingkan dari perekonomian rakyat namun musti berhadapan
dengan kapitalisme raksasa asing yang mengintegrasikan Indonesia ke
dalam sistem ekonomi kapitalis, juga peran negara yang sudah
menunjukkan keberpihakannya pada kapitalisme negara tahap awal, lalu
muncul kapitalisme kroni yang dimulai pada tahap nasionalisasi usaha-
usaha Belanda akibat warisan KMB yang gagal diselesaikan. Dalam hal
ini Masyumi sebagai partai terbesar Islam tidak lagi bersuara keras
menggerakkan sistem Sosialisme. Dengan layunya suara Masyumi maka
Sosialisme hanya dikunyah pada partai-partai Sekuler seperti : PKI,
PSI, Murba dan PNI. Padahal dalam kerangka cita-cita Indonesia baik
Islam maupun Nasionalis ataupun partai bercorak sosialisme
menjunjung tinggi konsepsi negara Sosialisme. Tidak ada cita-cita
menjadikan Indonesia ini sebagai negara Kapitalis.

Hal ini diteguhkan oleh Bung Karno setelah membubarkan PSI dan
Masyumi lalu menggerakkan bandul politik Indonesia ke arah kiri.
Walaupun politik Bung Karno didukung Nadhlatul Ulama namun kelompok
Islam eks Masyumi menolak mentah-mentah banting setir Bung Karno ke
kiri. Disinilah kemudian gerakan politik Islam semangkin asing
dengan Sosialisme. Dianggapnya Sosialisme adalah warisan PKI atau
Komunisme Stalin yang anti agama. Namun selain ketakutan-ketakutan
itu yang juga dikompor-kompori oleh Orde Baru ada yang sangat sulit
lepas dari kerangka pemikiran aktivis-aktivis politik Islam dalam
membangun konsep ekonomi alternatif yaitu : ekonomi Islam. Ekonomi
Islam alternatif dibangun dengan tetap menjadikan kapitalisme
sebagai bangunan bawahnya. Hal ini tidak aneh karena setelah
kemenangan mutlak kapitalisme sangat sulit melepaskan diri dari
kerangka berpikir kapitalisme, mengkritiknya-pun menjadi sesuatu
yang rumit. Ini seperti kita melihat kedua belah mata kita tanpa
cermin, karena kita sendiri berada dalam ruang dan waktu
kapitalisme. Saat ini manusia hidup dalam tahapan sejarah, bekerja,
bergerak, serta berpikir dalam kerangka sistem kapitalisme.

Kapitalisme (dalam sistem pemikiran ekonomi yang netral) memiliki
pandangan ekonominya pada tiga gagasan pokok yaitu : usaha untuk
mendapatkan atau memiliki, sikap persaingan dan rasionalitas.
Disini kapital, sebagai hasil dari realisasi kerja secara historis
dipergunakan dengan cara yang khusus yang tujuan utamanya adalah
berkembang dengan sendirinya (Self Expansion), tanpa batas atau
akhir. Dititik inilah akumulasi dan ekspansi merupakan logika dan
watak hakiki dari kapital. Kapital kemudian menjadi suatu yang
kongkrit, terikat waktu dan ruang dari sini kemudian lahir :
Kapitalisme Historis, bahwa kapital berkembang, berakumulasi dan
berekspansi tanpa batas. Kapitalisme memang tidak selalu
menghasilkan watak destruktifnya tetapi juga melahirkan proses-
proses kreatif. Kreatifitas kapitalisme inilah yang melahirkan :
demokrasi, emansipasi dan kenyamanan-kenyamanan hidup. Namun untuk
mendapatkan kenyamanan tadi manusia harus bertarung dalam tiga
syarat-syarat kapitalisme tadi : usaha untuk mendapatkan atau
memiliki, sikap persaingan dan rasionalitas. Ketiga syarat pokok
tadi secara licik diakali oleh penguasa yang berhasil menghancurkan
pergerakan rakyat dan merekayasa bentuk-bentuk kapitalisme untuk
keuntungan dirinya sendiri. Salah satunya adalah lewat pintu
Friedman yang pada dasawarsa 70 dan 80-an menginginkan lahirnya
negara-negara demokrasi di dunia ketiga namun justru melahirkan
pemerintahan yang represif dimana-mana termasuk Indonesia dengan
komplotan Mafia Berkeley-nya dimana para ekonom dibawah komando
Widjojo Nitisastro sembah sungkem dihadapan Prabu Suharto tanpa bisa
merasionalisasi langkah-langkah pembaharuan ekonomi bila bertabrakan
dengan kepentingan kapitalis kroni Suharto.

2 comments:

  1. Ini buat perbandingan saja:

    Semaun sebagai murid kesayangan Sneevliet telah mengerti sosialisme bertujuan meniadakan kelas-kelas sosial dengan tugasnya terletak pada proletar. Agus Salim yang memahami sosialisme Islam memandang Islam bukan bertujuan meniadakan kelas-kelas sosial yang tidak mendasarkan tugasnya pada kelas tertentu. Banyak orang Islam hingga detik ini memandang kaya-miskin adalah takdir.

    Pertemuan antara Sosialisme Marxis dan Sosialisme Islam bahkan Kristen hanya dapat diselesaikan dengan satu prinsip; Apakah mereka semua ingin bercita-cita meniadakan kelas-kelas sosial. Nama suatu ideologi, nama suatu organisasi boleh apa pun, boleh siapa pun, tetapi yang terpenting dari semuanya apakah cita-cita mereka? Apakah meniadakan kelas-kelas sosial atau tidak. Sebab dari cita-cita setiap orang akan tercermin caranya meraih cita-cita itu. Sehingga dari cara mereka, harus sepakat siapakah yang dapat mengawal ketiadaan kelas-kelas sosial? Apakah borjuasi atau proletariat? Mungkinkah borjuasi bercita-cita meniadakan kelas-kelas sosial sedangkan di zaman modern mereka yang paling menikmati keberadaan kelas-kelas sosial itu. Berapa banyak borjuis seperti Engels dan Robert Owen dari jutaan kaum borjuis di dunia? Mereka orang-orang kaya yang berjuang bukan karena ingin dipandang lebih baik dari yang lain-lainnya, bukan semata beramal untuk prestise tetapi melahirkan sistem komunal. Bahwa mereka orang-orang kaya yang membenci kaya-miskin itu sendiri.

    ReplyDelete